"Aaaahhhh.." Dengan cepat, Abian merunduk dan melumat bibir Flora dengan liar dan brutal.
Pria itu memagut bibir sang wanita dengan sensual, juga menggigitnya kecil hingga membuat tubuh Flora mengejang tak terkendali setelah berhasil mendapatkan klimaksnya yang entah ke berapa kalinya dalam penyatuan malam ini.Abian benar-benar luar biasa, hanya pria itu yang bisa membuat Flora klimaks berkali-kali bahkan hanya dalam waktu singkat, bahkan sebelum penyatuan di mulai sekalipun, pria itu sudah bisa membuat Flora klimaks dengan bantuan jemari atau lidahnya saja."Mas, kenapa ini nikmat sekali?""Iya, ini sangat nikmat. Mas menyukai milikmu yang sangat sempit menggigit ini, jaga tubuhmu untukku, sayang.""Iya, Mas. Aku akan menjaganya untukmu." Jawab Flora, dia tersenyum lalu keduanya kembali terlibat adu mulut, tapi ya bukan debat apalagi debat capres. Upss..Abian kembali melanjutkan permainan intinya dengan cepat dan kuat, membuatKeesokan harinya, tepatnya malam hari Arifin pulang dengan wajah cerianya. Dia menenteng beberapa kresek di tangannya, mungkin makanan atau apa itu yang jelas dia membawanya dengan kedua tangannya."Ibu, Arif pulang.." Ucapnya sambil tersenyum. Ranti menyambut kedatangan putranya itu dengan sukacita, bukan putranya yang dia tunggu-tunggu, tapi apa yang di bawa di tangan Arifin."Bawain pesenan Ibu kan?" Tanya Ranti."Ini mie ayam bakso buat Ibu, ada juga buat Mbak Winda sama Mbak Santi.""Flora?" Tanya Santi."Halah, biarin aja dia beli sendiri." Ucap Arifin acuh, dia pun meletakkan kresek berisi makanan itu di atas meja makan dan pergi dari ruang tamu menuju ke kamar.Pria itu membuka pintu kamarnya dan ketika melihat ke arah ranjang, seketika itu juga dia terlonjak kaget ketika melihat bubuk putih yang memenuhi wajah istrinya. Ya, dia yakin itu Flora istrinya karena tidak mungkin jika orang lain berani berbaring di atas ra
"Flora, kau tidur di dalam kamar mandi? Lama sekali." Omel Arifin dari luar. Tiba-tiba saja, Flora membuka pintu kamar mandi dan menatap wajah Arifin yang terlihat menyebalkan di matanya."Apa?""Kau bertelur di dalam sana? Lama sekali.""Iya, aku menghasilkan dua telur selama di dalam sana." Jawab Flora sambil tersenyum kecil. Setelahnya, dia mengganti daster rumahan nya dengan daster yang di belikan Abian, lagi-lagi Abian yang membelikan semua yang di kenakan oleh Flora.Hanya lima belas menit saja, Arifin menyelesaikan mandinya. Terpaksa, dia mandi menggunakan air dingin karena Flora tidak menyiapkannya. Biasanya, ada Flora yang akan selalu siap sedia menyiapkan segala keperluannya termasuk air hangat untuk mandi."Flora?""Apa sih? Dari tadi manggil-manggil terus. Ada apa?" Tanya Flora dengan ketus."Daster kamu bagus dan kekinian, kapan kamu membelinya?""Hmm? Aku tidak mampu membelinya karena uang darimu m
Abian pergi ke parkiran dan mengemudikan kendaraannya menjauhi perusahaan, tapi saat di dalam perjalanan dia mendapatkan pesan dari seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga.'Mas, dimana? Apa sudah mau pulang? Aku tunggu di kamar kamu ya, kalau boleh bawain martabak dong. Lagi pengen makan martabak.' Isi pesan yang di kirimkan oleh Flora, membuat Abian tersenyum kecil.Dia pun berhenti di sebuah kedai makanan bercita rasa manis itu dan bersiap memesan, tapi dia lupa rasa apa yang di inginkan oleh wanitanya."On my way, sayang. Martabaknya mau rasa apa? Ini Mas udah di depan tukang martabaknya." Balas Abian. Dia menunggu dengan sabar hingga akhirnya kesabaran nya berbuah manis.'Rasa coklat keju. Mas.''Hati-hati di jalannya, Mas. Aku menunggumu juga martabaknya, hehe. Balas Flora yang membuat Abian kembali tersenyum kecil.Dia menjadi tak sabar bertemu dengan sang wanita."Astaga, kenapa Flora begitu menggemaskan? Aku ta
"Gimana martabaknya, enak gak?" Tanya Abian sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil. Pria itu baru saja selesai keramas, aroma shampoo nya menguar lembut membuat Flora tersenyum kecil."Enak, Mas. Manisnya pas, mana masih anget lagi. Mau?" Tawar Flora sambil mengulurkan sepotong martabak ke arah sang pria. Abian duduk di samping sang wanita dan menerima suapan dari tangan wanitanya."Enak sih, tapi kayaknya ada yang lebih enak deh..""Apa, Mas?" Tanya Flora sambil menyandarkan kepalanya di pundak Abian."Martabak kamu, sayang.""Aku mana punya martabak, Mas. Ada nya kan cuma ini yang kamu beliin.""Terus yang itu apa kalau bukan martabak?" Tanya Abian sambil tersenyum nakal. Abian menatap ke arah bawah, tepat di area sensitif milik Flora yang rasanya jauh lebih enak dari martabak yang tengah mereka makan sekarang.Flora mengikuti arah pandang sang pria, membuat wanita itu seketika mencebikkan bibirnya. Dia refleks
"Permisi, Pak. Selamat pagi.." Sapa seorang perempuan berwajah cantik dengan pakaian kerja rapi nya."Iya, selamat pagi." Jawab Arifin, pria itu tengah bekerja di depan laptopnya saat ini."Ada apa?""Anda di panggil oleh Tuan Robi ke ruangannya." Jawabnya sambil tersenyum."Oh, baiklah. Saya kesana sekarang, kamu asisten saya kan?" Tanya Arifin membuat perempuan itu mengangguk, masih dengan senyum manisnya."Kemarilah." Pinta Arifin, membuat sang perempuan melangkah ragu, mendekat ke arah meja Arifin."Jangan canggung seperti itu, siapa namamu? Aku lupa.""Vania, Pak.""Duduklah disini." Arifin menepuk-nepuk pahanya, membuat perempuan bernama Vania itu terhenyak. Ini adalah hari pertamanya bekerja tapi dia sudah mendapatkan godaan tak senonoh dari atasannya."T-tidak, Pak. Saya ada pekerjaan yang harus di selesaikan, anda juga harus segera ke ruangan Tuan Robi karena beliau sedang terburu-buru." Ucap V
'Hmmm, jadi bantulah aku. Kau jangan khawatir karena semua kerugian yang di lakukan Arifin, semuanya akan aku ganti.'"Baiklah, senang bisa membantumu berjuang, Abi." Ucap Robi.Terimakasih, Robi.'Setelahnya panggilan pun selesai, di ruangan itu Abian tersenyum menyeringai. Sedikit lagi semua rencananya akan berhasil, selama Arifin pergi dari rumah untuk urusan pekerjaan, maka dia akan merombak habis-habisan penampilan Flora."Baiklah, ayo kita mulai Arifin!" Ucap Abian sambil tersenyum smirk. Pria itupun kembali menghubungi beberapa orang suruhannya untuk memantau keadaan keluarga Wicaksana, itu adalah keluarga Arina, selingkuhan Arifin.Kedua mata Abian memicing ketika melihat kediaman itu terlihat sangat sepi. Bahkan tidak ada satupun petugas keamanan yang berjaga disana, sangat aneh bukan? Di rumah sebesar itu tapi tidak ada yang menjaganya."Apa rumor itu benar-benar nyata? Keluarga Wicaksana bangkrut?" Gumam Abian, dia sen
"Kalo pesan es jeruk sama Mas Abi, kira-kira dia mau gak ya?"Flora merogoh ponselnya, wanita itu menatap ragu ke arah ponsel yang tengah dia pegang. Dia takut kalau keinginannya itu membebankan Abian, meskipun sebenarnya pria itu takkan keberatan sama sekali.Akhirnya, Flora pun mengetikan pesan lalu mengirimnya. Hanya satu kata saja, 'Mas.'Tapi rupanya, pesan itu cukup ampuh juga. Terbukti, hanya beberapa detik kemudian pria itu menghubunginya. Dengan hari ceria, Flora pun segera mengangkat panggilan dari sang pria."Hallo, Mas.."'Ada apa, sayang? Kamu pengen sesuatu? Tanya Abian yang seolah tahu kalau dirinya tengah menginginkan sesuatu tapi mungkin malu untuk memintanya secara langsung."Mas kok tahu sih kalo aku lagi pengen makan sesuatu?" Tanya Flora.'Enggak sih, Mas nebak aja. Jadi kenapa, sayang?' Balik tanya Abian."Pengen es jeruk, Mas. Boleh beliin gak?"'Boleh, sayang. Sebentar lagi Mas p
"Haruskah aku melempar makanan itu agar dendamku terbalaskan?" Gumam Flora, dia berjalan mendekat dan membuka bungkusan plastik itu. Ternyata, isinya sup dengkul sapi."Maaf, Mbak Winda. Tapi malam ini kamu hanya akan makan terong balado!" Ucap Flora tersenyum jahat, dia pun melempar bungkusan plastik itu hingga pecah berhamburan."Aassshhh.." wanita itu menjerit dan kebetulan, Winda langsung datang ke dapur dan melihat kalau sup pesanannya sudah pecah berhamburan di lantai."Flora! Itu sup punya Mbak kenapa kamu pecahin sih." Teriak Winda dengan marah, membuat Arifin yang baru saja bersiap mandi langsung keluar dari kamar begitu mendengar suara lengkingan Mbaknya."Salahin tuh kucing, mana aku tahu kalau kucingnya suka sup!" Jawab Flora membuat Winda marah dan berjalan mendekat, dia berusaha menjambak rambut Flora. Tapi wanita itu berhasil mengelak dan tak berselang lama tubuh wanita itu tertarik ke belakang saat tangan besar itu menarik pakaiann
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.