“Apa kau serius mencoba membaca seluruh jurnal ilmiah ini sendirian sambil mabuk-mabukan?” komentar Silvana begitu dia mendapati sahabatnya tidak keluar rumah beberapa hari bahkan sampai absen dari kampus. Padahal ini Jiyya, gadis yang mementingkan pendidikan melebihi apa pun seolah bolos ke kampus saja dia harus sakit keras dulu. Karena itu setelah kelasnya selesai Silvana langsung ke kediaman Jiyya dan menemukan gadis itu berada dalam kondisi tidak tertolong. “Ya, aku hanya—hei!” Jiyya kontan sedikit menjerit ketika Silvana menarik bukunya karena Jiyya bahkan tidak melirik ketika gadis itu bertanya. Silvana memang terkadang punya pemikiran sendiri tentang bicara itu harus saling menatap lawan bicara. Dan seperti inilah yang terjadi bila Jiyya mengabaikan salah satu aturan tidak tertulisnya itu. Alasan jelasnya mengapa Silvana datang mengunjunginya adalah karena sebagai sahabat terdekat gadis itu selain Dean, Jiyya tidak kunjung keluar rumah sejak ujian selesai. Setahunya gadis it
Jiyya mendongak untuk sekadar memberi Silvana sejenis senyuman yang lebih memiliki arti kesedihan di bandingkan kelegaan. Sebelum arah pandangnya berubah menatap lantai, dia mengangkat lututnya sendiri sehingga kepalanya dapat dia sandarkan disana. “Kau tahu maksudku. Apa aku betul-betul jatuh cinta pada Sir Joan? Aku sudah memikirkan perkataan Dean terhadapku saat itu, perkataannya yang bahkan hingga kini tidak bisa aku berikan jawabannya secara pasti. Dia bilang padaku bahwa aku hanya… kesepian dan mencari pelarian. Aku tidak pernah berpikir seperti itu, oleh sebab itu aku memutuskan untuk bersama dengan Joan, tapi setelah bertemu ibunya aku… kenapa kisah ini terkesan berulang padaku? Apakah sebuah kesalahan bila aku jatuh cinta pada seorang pria?” “Well, kalau hanya sekadar berteman tentu tidak akan pernah jadi rumit. Apakah kau pernah memikirkan Dean sama seperti saat kau memikirkan Sir Joan? Jika tidak bukankah sudah jelas letak perbedaannya? Kenapa harus lagi? dan untuk stateme
“Selamat pagi Silvana, kau terlihat sedikit kelelahan pagi ini,” sapa Joan, nadanya terdengar riang ketika dia menyapa gadis itu. Seolah dia tidak menulikan pendengaran terhadap sambutan yang sedikit bertensi tinggi dari gadis berambut pirang itu. Setelahnya Joan kembali menatap ke arah Jiyya sekali lagi. “Aku sebenarnya datang untuk membawakan beberapa buku. Aku punya banyak di tempatku dan aku ingat kau sering menghabiskan waktu untuk membaca buku saat liburan kan?” Pria itu mengangkat salah satu tangan yang dia gunakan untuk membawa paper bag yang tentu saja berisi buku sesuai dengan perkataannya beberapa saat lalu. “Oh, terima kasih!” Jiyya terlihat berseri-seri menerima bungkusan tersebut dan kemudian meraih tangan Joan untuk masuk ke dalam rumahnya seraya menutup pintu di belakang. “Kami berdua baru saja akan sarapan, apa kau ingin bergabung?” Joan memiringkan kepalanya dan menutup kedua matanya dengan senyuman khas. “Aku tidak akan pernah menolak ajakan makan bersama dari seo
Leon memang bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan kegembiraan, terlebih ketika dia melihat kekasihnya berjalan bersama dengan Jarvis menuju ke arahnya. Pria itu bahkan perlu memutar kepalanya untuk mengatur ekpsresi. Dia memang mengharapkan kehadiran Jarvis, tapi tidak dengan Silvana. Dia tidak tahu bahwa gadis itu tiba-tiba akan bersama dengan si pemuda ke tempat perjanjian mereka. Dia merasa perutnya jadi keram sekarang. Untungnya mereka masih cukup jauh, sehingga Leon punya sedikit waktu untuk menenangkan diri sebelum benar-benar bertatap muka dengan mereka di saat yang bersamaan. Hal ini sebenarnya adalah hal yang sudah rutin terjadi, yang berbeda adalah kini statusnya dengan si mahasiswi sudah berubah. Jarvis belum tahu soal ini sama sekali, karena itulah Leon berpikir untuk memberitahunya hari ini. Tapi karena ada Silvana, sepertinya dia harus menunda dan betul-betul membicarakan soal masa depan si pemuda itu saja.“Yo, Sir Leon.” Mendengar namanya di panggil dengan nada b
Suara yang Silvana ujarkan terdengar pelan, seolah dia agak takut menyampaikannya. Leon sendiri juga otomatis langsung tersentak mendengar hal tersebut, terlebih ketika dia menyadari bahwa gadis itu rupanya memiliki kekhawatiran yang sama dengannya di balik sikap santai dan tenangnya. Dia mungkin tidak cukup siap untuk kehilangan sebuah hubungan yang telah terjalin hampir seumur hidup dengan pemuda itu. Melihat Silvana duduk di sampingnya, gadis itu terlihat begitu rapuh dan seolah mudah hancur kapan pun dengan luka yang terbuka dan besar atas hubungan mereka yang seolah tidak direstui oleh semesta. Sesungguhnya Leon ingin memeluk kekasihnya sampai dia cukup dapat menghilangkan seluruh kecemasannya lagi. Tapi pria itu tidak bisa, keduanya tetap duduk bersebelahan menunggu jawaban Jarvis. Butuh beberapa saat sampai pemuda itu mau angkat bicara. “…tidak,” jawabnya. Meskipun dia sendiri tampak tidak cukup yakin dengan jawaban yang dia katakan. “Aku tidak…marah.” Pemuda itu melirik ke
Dia seharusnya tidak berada disini. Dia seharusnya tidak datang kemari. Dia harusnya segera pergi dan tidak jadi melakukan ini. Memangnya dia punya kebutuhan mendesak untuk bicara? toh, Kelly sepertinya baik-baik saja dengan semuanya kan? Leon menahan keinginannya untuk menampar pipinya sendiri. Dia suka atau tidak, dia berupaya membohongi diri sendiri atau pun tidak, Jarvis benar bahwa dia benar-benar bicara dengan Kelly dan mengakhiri hubungan mereka dengan cara yang lebih baik dari pada yang sebelumnya. Dia sangat tahu hal itu, oleh karenanya dia membawa raganya untuk ke tempat ini. Tempat yang sudah tidak asing. Di luar rumah Kelly, sedang berupaya penuh untuk membangun keberanian dan mengetuk pintu. Jika beruntung dia mungkin di beri kesempatan untuk masuk, jika tidak mungkin pintu kayu di hadapannya akan menjadi penghalang bagi mereka. Hubungannya dengan Kelly memang lebih dari sekadar patner seks semata. Dia tidak berada disisi perempuan itu hanya untuk bercinta. Mereka punya
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba