Mendengar hal itu, Jarvis tentu saja refleks membulatkan matanya. Pemuda itu tertohok dengan pertanyaan Silvana yang tidak pernah dia duga akan keluar dari bibir sahabatnya. Memang benar bahwa mereka selalu bersama, dan dekat satu sama lain. Bahkan tidak jarang orang kerap salah paham terhadap hubungannya dengan Silvana. Hanya saja tidur dengannya? Jarvis tidak pernah berpikir sampai kearah sana.Jarvis sadar betul bahwa Silvana memang gadis yang cantik. Sejak masuk kampus dia sudah menjadi primadona dan banyak teman prianya yang minta dikenalkan dengan gadis itu. Namun Jarvis, adalah Jarvis. Dia lebih suka ketenangan dan tidak mau disorot dan dikenal sebagai ‘temannya Silvana’ sebab impiannya simple. Dia hanya ingin melanjutkan study-nya dengan nyaman tanpa perlu ada bumbu drama.Tapi sekarang, di tempat ini Jarvis malah mendapati sebuah adegan drama terjadi dihidupnya dengan dia yang sebagai pemain didalamnya. Jarvis tahu bahwa sebagai seorang pria dia tentu tergoda untuk melakukann
Selang beberapa jam selepas Jarvis menemuinya. Silvana rasa dia sudah bisa mulai bangkit kembali. Gadis itu keluar kamar untuk pertama kalinya, meski memang wajahnya masih terlihat sedikit kusut. Meski begitu setidaknya dia sudah bisa mulai menggerakan tubuhnya dan tidak hanya berbaring saja. “Kau sudah lebih baik sekarang?” tanya sang Mama tatkala dia mengetahui putri semata wayangnya baru saja keluar dari kamar. “Ya, sedikit lebih baik,” balas gadis itu sambil membuang bekas wadah ayam goreng yang dibawakan Jarvis. “Kurasa Jarvis baru saja membersihkan isi otakmu," celetuk sang Mama yang tampaknya punya kecurigaan tertentu kepada mereka berdua.Silvana menanggapi hal tersebut dengan santai, sejujurnya dia sendiri juga tidak heran kalau sang mama di beberapa kesempatan sering sekali menjodoh-jodohkan dia dengan Jarvis. “Ya, dia memang teman yang pengertian. Entah jadi apa kalau aku tidak punya orang sebaik dia.” “Jadi, kalian berdua berkencan sekarang?” selidik Mamanya, wanita pa
Raut curiga Jiyya, tiba-tiba berubah lagi matanya menyipit seolah dia sudah tahu topik apa yang akan Silvana bahas dalam pembicaraan mereka berdua. “Ya, tentu aku tidak sibuk sama sekali.” Dia kemudian melirik kearah Dean. “Dean kau juga harus mendatangi pertemuan lain kan? orang-orang pasti sudah menunggumu,” sambung Jiyya lagi yang langsung ditanggapi dengan wajah Dean yang cemberut. “Kau bilang mau ikut denganku! Kau sudah janji kan?” Terlepas dari pernyataan Dean yang memohon padanya dengan suara manja tanpa merasa bersalah, membuat wajah Jiyya terlihat jijik pada sahabat kecilnya. Jiyya mencondongkan tubuhnya pada Dean sambil memperlihatkan raut muka intimidasi pada Dean, setelah itu dia meninju kecil bahu pemuda itu. “Sejak awal aku bilang aku tidak mau ikut denganmu. Bedebah! Kau yang menjebakku. Pergi saja sendiri dan jangan libatkan aku!” tutur Jiyya dengan suara yang sedikit meninggi. Membuat Silvana bergidik ngeri lantaran sahabatnya akan berubah menjadi bak nenek sihir
“… aku penasaran apakah kau melakukannya dengan Sir Joan atau tidak?” Raut muka Jiyya yang semula serius, langsung rusak dengan mudah tatkala mendengar pertanyaan Silvana untuknya. Semula gadis itu berpikir bahwa Silvana memiliki masalah yang serius dalam hidupnya sampai dia tidak hadir di kampus. Tadinya Jiyya hendak menjenguknya hari ini dengan Dean. Tapi mereka malah cekcok didepan kedai ramen kesukaan pemuda itu dan Jiyya sendiri enggan masuk sebab dia menyadari akan dijebak lagi oleh Dean untuk bertemu muka dengan Sir Joan. Jiyya dan pria itu sudah selesai. Dia telah membuat batasan yang tinggi untuk itu. Tapi entah kenapa sejak dia keluar dari kediaman Sir Joan setelah satu hari menginap disana, pria itu seolah kelimpungan dan berusaha terlalu keras untuk mendapatkan moment bersamanya. Jiyya benci untuk menyadari bahwa Sir Joan sampai hati menggunakan Dean untuk membujuk dirinya. Benar-benar pria merepotkan. “Kami tidak melakukannya.” Kekehan Silvana kontan terhenti begitu me
“Siapa tahu nanti kau ingin melakukannya.”Jiyya kontan merona. Sementara Silvana yang sadar dia telah berhasil menggoda Jiyya lagi hanya bisa terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Well, rasanya hanya berlaku untukmu ya Jiyya. Kau bahkan belum tuntas melakukannya tapi aku merasa kau ada hati pada Sir Joan. Kau harusnya lihat dirimu sendiri yang tersipu tiap kali aku mencoba membahas Sir Joan dalam pembicaraan kita.” Tepat setelah mengatakan itu, Silvana tiba-tiba saja merasakan jantungnya menegang. Dia masih ingat dirinya dan Sir Leon yang sempat bertukar canda, bahkan pria itu memberinya sarapan dan kopi di pagi harinya, juga bagaimana pria itu menyapa saat dia baru saja terjaga, dan Silvana yang bangun dari tidurnya dalam posisi dipeluk dengan hangat oleh tangan kekarnya. Semua itu membuatnya merasa bahwa dia baru saja menyindir dirinya sendiri. Astaga! Tadinya Jiyya hendak marah pada Silvana, tapi begitu mengetahui ekspresi gadis itu berubah Jiyya cepat-cepat kembali pad
Aduh!Kalimat yang berkali-kali Leon ucapkan sejak dia terbangun. Bahkan kali ini dia mengatakannya lagi ketika dia merasa bagian belakang tubuhnya tertekuk tatkala dia berjalan. “Aku benar-benar sudah tua sepertinya. Rasa sakit ini membuatku makin menyadarinya,” gumam pria itu. Dia berhenti sebentar untuk mengeluhkan hal itu sambil menekan punggung bawahnya dan melakukan peregangan sebentar. Sampai dia mendengar bunyi ‘krek’ pada tulang belakangnya. Meski sempat bertingkah seperti pria jompo, Leon tetap berupaya untuk melangkahkan kaki sebagaimana mestinya. Berjalan dengan tangan yang dimasukan kedalam saku sedangkan satu tangannya lagi membawa beberapa berkas untuk bahan ajarnya. Dia sudah menyelesaikan kelasnya, dan ini adalah hari ketiga dia menyadari bahwa Silvana tidak masuk kelasnya. Dia masih merasakan sisa dari petualangan liarnya dari tiga hari lalu. Mungkinkah Silvana juga merasakan hal yang sepertinya? Leon meringis. Pria itu menyadari bahwa dia sedikit lebih kasar dari
“Oh aku paham, Leon,” gumam perempuan itu. Nada suaranya terdengar bosan dan kesal disaat yang bersamaan. “Ini cukup mengkonfirmasiku bahwa kau akhirnya telah menemukan oranglain.”“Apa?” Mendengar komentar Kelly, kontan ada sesuatu yang menjalar di tulang belakangnya. Gelenyar tidak nyaman itu membuat pria itu serba salah. “Aku tidak mene—”“Sudahlah, tidak usah mengatakan alasan yang hanya membuat aku semakin menyedihkan.” Kini suara Kelly terdengar sendu. Dia mungkin kecewa karena ini kali pertama Leon menolaknya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan pria itu akan menolaknya seperti ini. Sebelumnya padahal Kelly cukup percaya diri bahwa Leon akan terus mengejar-ngejarnya. Namun dititik ini rasanya anggapan super pede-nya yang kelewatan itu sudah tidak berlaku lagi. “Aku paham kalau kau sudah berpindah kelain hati.” Leon menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa membenarkan persepsi yang Kelly ujarkan padanya. Sebab bagi Leon sendiri dia masih belum bisa memahami dirinya untuk sekarang
“Dia benar-benar muridku yang hebat. Bayangkan dia bahkan bisa berlari paling cepat di trek! Kuberitahu kalian ya, muridku itu sudah tidak bisa diragukan lagi kemampuannya. Dia pekerja keras, dan pantang menyerah. Dia benar-benar membuatku kagum. Masih kecil tapi semangat juangnya tinggi. Ini gila! Aku selalu jadi termotivasi bila sedang mengajarinya.” Leon hanya bisa menghela napas sembari menggosok wajahnya tatkala dia mendengarkan cerocosan Ronald yang kali ini sedang membanggakan salah satu muridnya yang disebut-sebut akan mengikuti olimpiade olahraga nasional. Ya, itu memang akan menjadi sebuah kebanggaan bagi seorang guru, saat murid yang diajarnya lebih hebat dari pada dia sendiri. Tapi sayangnya Leon sedang tidak punya mood untuk meladeni Ronald. Saat ini dia, Joan, dan juga Ronald datang ke kedai hot pot, lokasinya agak berbeda dari biasanya namun itu juga karena Joan tiba-tiba bilang ingin memakan sesuatu yang pedas. Dia juga menambahkan bahwa makanan pedas bisa menetralis
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba