Leon bungkam seketika. Matanya melotot tidak percaya. Ini adalah kali pertama seorang gadis muda yang bersatus sebagai mahasiswinya sendiri berani mengatakan hal se-frontal itu terhadapnya. Leon memang pernah menghabiskan waktu dengan gadis muda sebelumnya, tapi tentu saja pria itu bukan tipe pria seperti Joan yang tidak masalah melakukannya dengan siapapun. Leon tipe yang lebih suka menjaga kehidupan pribadinya dengan tidak melibatkan orang yang dia kenal untuk sebuah hubungan satu malam. Meski jujur, penawaran dari Silvana mengundangnya untuk berkata ‘Ya’ tanpa berpikir, tapi tetap saja beresiko. Dia berbahaya. Terakhir kali mereka melakukannya sampai tahap itu saja, Leon sampai sulit berkonsentrasi dan susah tidur. Apalagi kalau mereka melakukannya kan?“Kenapa kau sangat terobsesi denganku?” Leon berujar dengan nada lemah. Dia merasa heran karena baru kali ini ada seseorang yang menaruh perhatian padanya seberlebihan ini. Apa Leon terlalu santai pada semua orang sampai dia semuda
Silvana didorong hingga punggungnya menyentuh dinding setibanya mereka di kamar yang dipesan oleh Sir Leon. Pria itu bahkan langsung memberinya sebuah ciuman ganas yang memiliki adiksi terbaik bagi Silvana. Lidah pria itu menjelajahinya lebih dalam lantaran Silvana memberikan izin masuk padanya dengan sambutan hangat. Sementara lengan pria itu bergerak menuju satu titik lain yang telah mendambakan dirinya sejak lama. Gadis itu mau tidak mau mengerang ketika pria itu merambah pada pahanya, membuka kancing celana jeans yang dia kenakan. Sungguh, Silvana menyesal dia mengenakan pakaian setidak-layak ini untuk Sir Leon. Meski pakaian dalamnya serasi, tapi tetap saja bagian luarnya kali ini sedikit mengecewakan gadis itu. Jadi mempersulita pergerakan. “Sir, kau sangat tidak sabaran,” komentar Silvana. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, pandangan matanya sudah dipenuhi oleh letupan gairah. Ah, inilah dia. Sekarang Silvana hampir akan mendapatkan mangsa terbaiknya. Dia menunggu, membiarka
ria itu lantas langsung membenamkan dirinya sehingga mereka benar-benar menyatu. Kontan Silvana menjerit akan hal itu. “Oh… shit! Sir Leon!” Gadis itu bahkan tidak sadar hingga meneriakan nama pria itu dengan nada suaranya yang meninggi. Nyaris seperti tercekik. Dia meraih bahu pria itu berpegangan sementara punggungnya melengkung. Sir Leon sendiri hampir ambruk diatas tubuh Silvana. Untung saja pria itu masih sanggup menahan berat tubuhnya. Pria itu menggeram, sementara Silvana mengerang tatkala pria itu mulai mencoba untuk menggerakannya secara perlahan. Ketika bibir Sir Leon mendapati leher Silvana, pria itu menggunakannya sebagai sebuah kesempatan untuk dapat membenamkan dirinya sendiri disana. Menghirup aroma gadis itu dalam-dalam sebanyak yang dia bisa. Sementara Gadis itu benar-benar dibuat kacau balau. Belum pernah ada yang bisa membuatnya seperti ini sebelumnya. Seolah dia memang tercipta untuk pria ini. Dia pria yang sempurna. sesuai harapannya, bahkan melebihi ekspektasi
Keesokan paginya, Silvana terbangun dan menemukan dirinya dalam sebuah kondisi oxymoron ekstrim. Ya, sebab disatu sisi dia telah mendapatkan sebuah rasa nyaman yang tidak pernah dia rasakan, namun disisi lain juga ada rasa hampa disudut hatinya. Gadis itu mulai dapat mencerna segalanya setelah beberapa saat, bahwa saat ini dia sedang terbaring di kamar hotel yang dia dan juga Sir Leon kunjungi kemarin sore. Dia juga menyadari lengan kuat Sir Leon tengah melingkari tubuhnya dengan sangat posesif dengan tubuhnya yang kekar nan kokoh tersebut telah menempel di tubuhnya. Berbagi kehangatan satu sama lain. Sesungguhnya ini adalah perasaan yang luar biasa, jenis perasaan yang paling indah yang pernah gadis itu rasakan. Meski setelah dia itu mulai merasakan rasa sakit.Ya, Seluruh tubuhnya terasa kaku dan juga pegal. Kakinya bahkan terasa seperti jeli, bagian pinggulnya pun menjerit kesakitan, lengannya terkulai, dan perutnya terasa keram laksana menerima jahitan permanen disana. Itu kombina
Perlahan Silvana bergeser dan bergerak kebawah tubuh pria itu, Sir Leon kontan mengangkat selimut untuk melihat ulah apa lagi yang hendak dilakukan oleh mahasiswi nakalnya itu. “Silvana, tidak usah. Kau tidak perlu—” Belum sempat dia menuntaskan ucapannya, Silvana sudah lebih dulu meletakan tangannya yang telah dia beri pelicin dengan air liurnya sendiri. Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak, tanpa harus menunggu lama perbuatan Silvana terbayar kontan tatkala napas pria itu berubah tajam dan berat ketika dibuai oleh Silvana yang sedang memanjakannya dibawah sana. Nah, dalam situasi seperti inilah Silvana akan jauh merasa aman. Dia sangat hafal bagaimana cara menyenangkan seorang pria dengan tindakannya dan membuat hatinya teralihkan dalam sebuah emosi yang memusingkan. Lagipula sejauh ini tindakannya jauh lebih efektif daripada menggunakan lidah sekadar untuk membalas kata-kata. Bahasa cintanya bukan afirmasi kata yang disaat yang sama adalah kelemahannya. Sebab Silvana kadang sela
Saat dia memikirkan soal Jiyya, sahabatnya. Sir Leon sudah kembali kepadanya namun kali ini pria itu datang dengan nampan berisi kudapan dan dua cangkir yang Silvana ketahui isinya sebagai kopi. Pria itu juga sudah mengenakan kimono handuk untuk menutupi tubuhnya. Ah, layanan pesan antar hotel ini cukup cepat dan tanggap rupanya. Pria itu terlihat menyeringai tatkala Silvana memberikan tatapan sedikit kecewa lantaran dia yang memang sudah menutupi tubuhnya lebih dulu.“Tidak sopan menatapku dengan tatapan seperti itu,” ujar pria itu seraya meletakan nampan diatas meja terdekat ranjang. Sementara dia kemudian mendudukan dirinya di tepi ranjang sambil memberikan Silvana satu cangkir yang telah disesuaikan dengan pesanannya. “Nah, ini milikmu Princess, satu kopi dengan lebih banyak gula, ekstra krimer dan susu.”Silvana tersenyum mendengar panggilan barunya dari pria ini. Ya, meskipun itu dia ucapkan dengan nada menyindir. Bukan jenis panggilan yang diutarakan dengan cara yang seksi saat
Senyum Sir Leon melebar dan kemudian pria itu menundukan kepalanya disana. Hisapan serta belaian dia fokuskan pada bagian yang sudah dia ketahui sebagai kelemahan gadis itu. Hal itu tentu saja langsung mendapatkan respon erangan dari yang bersangkutan. Tangan gadis itu bahkan mulai bergerak untuk untuk mencengkram seprai di kedua sisi tubuhnya sebagai penghantar rasa frustasinya dalam kenikmatan. Pria itu benar-benar sangat menikmati aktivitasnya.Silvana sekali lagi mengerang tatkala merasakan bagian tubuh yang tidak bertulang terdorong ke dalam dirinya. Denyutan kenikmatan memaksa gadis itu untuk bergerak gelisah lantaran merambat menuju tulang belakangnya. Kedua jari kakinya melengkung merasakan Sir Leon bergerak sejauh dan sedalam yang dia bisa dengan lidahnya.Sekali lagi Silvana mengerang, menggerakan tangannya untuk menyentuh rambut hitam milik pria itu sesekali menjambaknya bila pria itu kedapatan berbuat nakal dibawahnya. Bukan salahnya, Silvana merespon semua itu dengan mere
Tiga hari. Butuh waktu bagi Silvana sebelum dia merasa baik-baik saja selepas tidur dengan dosen idamannya itu. Alih-alih menjalani harinya seperti biasa, gadis itu malah memilih untuk tidak keluar kamar sampai ibunya yang cerewet bertingkah lebih berisik lagi karena Silvana berubah agak murung setelahnya. Ibunya membelikannya obat, karena berpikir bahwa Silvana jatuh sakit. Namun sebenarnya tidak, karena yang sakit dari Silvana bukan fisiknya melainkan hatinya. Dia sebenarnya ingin bertemu dengan Jiyya, mereka belum bertukar kabar dan suara sejak hari dimana dia menginap dikediaman gadis itu. Di kampus Silvana bahkan menjadi saksi bisu atas tindak tanduk sahabatnya yang terkesan mengendap-endap di kampus. Sudah jelas bahwa Jiyya sedang berupaya untuk menghindari Sir Joan. Hanya saja karena mereka ada beda kelas hari itu, Silvana otomatis berpisah dari Jiyya. Dia tidak tahu lagi situasi gadis itu setelahnya, entah dia berhasil menghindari Sir Joan atau tidak. Ah, tapi bukankah yang
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba