Pria bermata legam itu lantas berdiri, sorot matanya menajam dengan rahang yang mengetat. Kekhawatiran akan tragedi kemarin akan terulang lagi disaat dirinya tidak ada. Galuh cepat berbalik, dan napasnya hampir tercekat kala tiga pasang mata menatap ke arahnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Raut wajah Galuh yang awalnya menegang segera memudar, netranya menutup sesaat dengan helaan napas lega yang terdengar oleh Arjuna membuat pria itu semakin geram. "Kenapa Kamu ada di sini?" tanya Arjuna datar. Tak ada sedikit keramahan di sana. Hanya ada tatapan tak suka lebih tepatnya tak sudi. Galuh memasang wajah tenang, menaiki satu undakan dengan kaki telanjangnya dan mendekati Arjuna. Pria itu tak langsung menjawab, lebih baik menyalami mertuanya itu seperti tadi pagi. Karena uluran tangannya tak mendapat sambutan, Galuh beralih mendekati Rahayu dan menggamit tangan Ibu mertuanya kemudian mencium punggung tangan Rahayu. "Maaf Saya belum sempat berkunjung ke rumah untuk menemui Pap
Mobil melaju membelah jalanan kota dengan hanya ditemani suara radio yang memberitahukan bahwa malam itu akan terjadi hujan dan petir. Padahal sudah hampir dua Minggu berlalu dan hujan tak lagi menyapa bumi, membuat wanita yang memiliki lesung pipi itu sedikit kehilangan aroma yang paling ia sukai. Namun baru saja seorang penyiar radio mengatakan akan turun hujan dan tak berselang lama rintikan hujan mulai berjatuhan. Membasahi kaca mobil hingga membentuk sebuah aliran air yang kecil. Lagi-lagi seakan menambah kesan sendu yang tengah dialami para manusia yang sedang berada di dalam mobil tersebut. Sangat berbanding terbalik karena yang terjadi jauh berbeda. Tiap-tiap orang tengah menyimpan rasa khawatir, gusar, kecewa dan ketakutan. Seperti Asmara. Wajahnya sudah tak enak dilihat semenjak keluar dari gedung Griya Tawang milik Gendis dan itu membuat Gendis berkali-kali lipat menahan diri untuk tak tertawa. Gendis tebak Asmara tengah menyiapkan diri untuk menebalkan jiwa ka
Satu pekan berlalu begitu lambat, sepi dan hampa terasa menghantam jiwa sang kapten kala wanita yang sedang ia perjuangan tahtanya, tak lagi bisa ia temui. Beberapa kali terdengar helaan napas yang membuat rekan lainnya merasa terganggu hingga menaruhkan diri dan mendekati pria yang terkenal kaku itu. Tak ada Rafael atau Pak Hari di sana untuk bisa mereka suruh meredam badai yang tengah Galuh alami, sangat tak nyaman karena tatapan Galuh yang begitu tajam dengan kerutan menakutkan pada paras pria itu. "Kopi Gal," tawar Ferdinand dengan satu cup kopi di tangan. Pria berperawakan tegap dan gagah itu mengangsurkan kopi ke meja Galuh. "Oh makasih." Galuh sedikit tersentak kaget kala suara rekannya terdengar. Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya Galuh mengambil kopi tersebut dan menenggaknya hingga tersisa separuh. "Panas Gal," ucap Ferdi lagi. "Tidak, Saya tidak panas." "Yaelah Gal, kopinya yang panas. Lidahmu nggak kebas." Galuh sejenak terdiam, merasakan rasa ha
Wajah Galuh berseri, seakan memancarkan sinar matahari kala ketukan palu terdengar beberapa menit yang lalu. Keputusan hakim yang menyetujui permintaannya dan menolak pengajuan Gendis tentu membawa angin segar pada pria itu. Dadanya terasa penuh dengan sensasi yang seakan-akan ada ribuan kupu-kupu beterbangan. Walaupun tadi Galuh harus beradu argumen dengan Gendis yang membuat kemarahan wanita itu berkali-kali lipat kala ia mengeluarkan bukti bahwa Gendis tengah mengandung anaknya. Istrinya .... Senyum Galuh berpendar, debarannya tak bisa ia kontrol sampai ia beberapa kali harus mengusap wajahnya sendiri karena merasa panas. Gendis sudah keluar lebih dulu ketika hakim akhirnya memberi putusan akhir. Beruntungnya ia membawa sisa kondom juga bukti kehamilan Gendis. Kalau tidak mungkin dirinya akan kalah menghadapi pengacara kondang pilihan mertuanya. Di saat seperti ini sebenarnya gugatan Gendis bisa lolos ke sidang berikutnya dan ia tak memiliki kesempatan lagi bila Istr
Galuh mencoba menyusul langkah Gendis yang begitu cepat, seakan-akan takut akan ia sergap. Padahal tadi Galuh hanya meminta Gendis untuk menunggu dirinya agar bisa menemui orang tua Gendis bersama-sama. "Assalamualaikum Mah." "Waalaikumussalam Mbak, akhirnya sampai juga di rumah." Gendis mendekat kemudian menyalami tangan Rahayu. Wajahnya yang lesu membuat Rahayu menghela napas. Pengacara Gendis tadi sudah menelponnya dan memberi tahu perihal gugatan yang Gendis layangkan pada Galuh. Gagal .... Dan Galuh memenangkan persidangan dengan alasan bayi yang sedang Gendis kandung. "Minum susu dulu yah, tadi Mbak lupa susunya nggak diminum. Mama buatin yang baru." Gendis mengangguk, melepas pelukannya dan beralih merebahkan diri pada sofa empuk yang ada di sana. "Assalamualaikum Mah." Suara tebal Galuh menarik atensi Rahayu, pria itu mendekat untuk menyalami tangan mertuanya. Kemudian meminta izin untuk duduk di dekat Gendis yang memilih memunggungi Galuh kala suaminya itu terlihat b
Arjuna tiba-tiba ingat bahwa baru-baru ini salah satu anak buahnya melapor bahwa Galuh menangkap penguntit di gedung putrinya. Ia juga mendapat laporan bahwa Galuh sudah menyelesaikan hal tersebut tanpa melibatkan pihak berwajib. Bukan tak percaya, namun Arjuna berpikir bahwa semua itu hanya akal-akalan Galuh untuk menarik perhatian Gendis lagi. "Trik Kamu boleh juga Gal, tapi jangan harap Kami percaya," ucap Arjuna datar. Gendis mengangkat wajahnya, melihat paras Arjuna dan Galuh bergantian. "Apa Papa mengira Saya yang mengirim penguntit itu?" Salah satu alis Arjuna naik, senyum sinisnya terpatri membuat keadaan semakin panas. Gendis yang melihatnya ingin berteriak minta tolong karena dirinya merasa terhimpit diantara dua tiang kokoh yang sama-sama tingginya. Namun ucapan Arjuna cukup memantik rasa penasaran Gendis. Benarkah itu salah satu rencana Gendis? Ah tidak-tidak. Jelas-jelas tak pernah ada orang lain masuk ke gedungnya selama ia tinggal di sana. Keterangan
Karena rencana yang super dadakan, semua persiapan juga serba dadakan. Untungnya Sarah selaku owner catering yang Gendis percaya bisa menghandel pesanannya dengan baik. Area luar sudah dibersihkan mulai semalam dan menyisakan sedikit pot pot berisi tanaman milik Rahayu. Adapun tenda baru pagi tadi yang terpasang. Sesuai permintaan Gendis yang menginginkan nuansa putih juga ada sedikit warna baby blue yang membuat kesan lembut dan hangat. Berbagai makanan, buah, dan kue tertata apik di meja bagian samping kiri, dan bungkusan untuk para anak panti sudah berjejer di bagian kanan.Arjuna, Rahayu, sudah ada di depan, sedang Asmara mengejar waktu dengan menjemput Kakek buyutnya yang tiba-tiba mengabari bahwa rombongan dari Jawa sudah tiba di bandara.Alhasil Wanita itu lekas menjemput bersama sopir dengan membawa dua mobil sekaligus. Takut-takut ada kerabat lain yang ikut. Padahal itu akal-akalan Asmara saja karena sang tunangan juga ikut untuk merayakan acara empat bulanan Gendis."Uda
Nuansa khidmat begitu kental tatkala semua anak-anak panti mengaji, tak ada dari mereka yang bergurau. Begitu pula ketika salah satu ustadz membimbing doa. Suara menggema mengucap Aamiin menelusup ke dalam jiwa Gendis. Netranya berkaca-kaca, dadanya sesak karena rasa haru, bahagia dan sedikit kesedihan di dalam sana. Dalam bisik doanya kali ini, ia berharap Tuhan melindungi buah hatinya dan memberi takdir yang jauh lebih indah dari pada dirinya sendiri. Beribu-ribu maaf ia ucapkan pada buah hati yang Gendis kandung, wanita itu merasa telah egois karena menginginkan sang bayi disaat pria yang menjadi suaminya ternyata tak menginginkan kehadiran bayi mereka. Bening menetes membasah pipi kemerahan wanita itu. Kelopak matanya tertutup sempurna, dengan tangan menyembunyikan parasnya yang sendu. "Tuhan, tuliskan sebuah cerita yang indah untuk hadiah yang Engkau amanahkan pada hamba," batin Gendis. "Alfatihah ...." Gendis menghela napas pelan, meraup pelan wajahnya dengan bi
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju