Happy reading and let's vote :)
“Astaga …,” desah William kala kecemasan hebat mulai merayapi perasaannya. Bagaimana bisa dia lupa sedang bermain kucing dengan siapa? Keluarga Subrata adalah kumpulan orang-orang yang yang memiliki kesabaran setipis kertas dan juga ambisius. Mereka sanggup melakukan apa saja untuk mencapai tujuan dan keinginannya. Halal, haram, hantam. Adalah rahasia yang sudah diketahuinya. Meskipun itu melenceng dari ajaran luhur kakeknya, Tuan Subrata, dalam mendirikan kerajaan bisnisnya. Namun cara-cara yang selama ini dijalankan oleh Subrata bersaudara itu memang terbukti kian mengukuhkan kekuatan bisnis mereka yang semakin berkembang besar. Sam menepuki pundak William. Dia tahu tekanan yang sedang mendera salah satu orang yang paling disayanginya di dunia ini. William lebih daripada teman, saudara, juga adik. William sudah seperti bagian dari jiwanya. Mereka tumbuh bersama-sama sejak kecil, melewati luka yang tak berbeda. Luka yang ditancapkan oleh orangtua mereka sendiri yang kerap kawin-cer
Bimo duduk di meja bar, memesan minuman alkohol dengan kadar yang lebih tinggi dari biasanya. Dia betul-betul suntuk dan ingin mabuk. Bimo ingin mengaburkan keresahannya lewat bantuan alkohol, usai ditampar kenyataan dia jadi mendadak impoten tadi. Horor. Gairahnya tiba-tiba menguap lenyap di ranjang. Melihat tubuh polos Melinda tadi malah membuatnya mual. Enyah sudah semua gambaran tentang wanita cantik yang biasa jadi hiburannya. Di dalam kepala Bimo sekarang hanya ada Jelita. Sosok yang dia kagumi tetapi juga yang ingin dihindari karena status Jelita sebagai pembantu, yang tak sederajat dengan keluarganya yang ningrat. Dia tidak boleh jatuh cinta betulan pada sosok itu lalu menikahinya, atau dia bakal dicoret dari daftar ahli waris keluarganya. Bimo menampik keras kala lengan seorang gadis bergelayut manja di lehernya. “Jangan pegang-pegang, … lu kata gue nggak jijik apa?!” bentaknya tanpa menoleh kepada si gadis yang terlihat kaget. Gadis itu tak mengira Bimo bakal bersikap seka
Jelita menutup pintu kamar William dengan jantung yang berlompatan tak keruan. Astaga. Pria itu agresif sekali. Jelita salah besar karena pernah mengira jika William adalah pria yang dingin. Setelah menjadi kekasihnya dia baru tahu kalau William ternyata sosok pria yang sangat panas, apalagi jika sedang menginginkan dirinya. Rasanya Jelita bisa terbakar habis di dalam pelukan William yang tak pernah menurunkan intensitas cumbuannya jika telanjur mengurung tubuh Jelita dalam dekapannya. Jelita memegangi pipinya yang merona merah kala teringat bagaimana William tadi mendadak mencumbunya begitu pria itu membuka mata. Dan gadis itu mengulum senyum kala terngiang kembali di kepalanya bagaimana suara lembut William tadi menyebutnya sebagai bidadari. Gombal, tapi menyenangkan untuk didengar. Jelita kemudian langsung pergi ke dapur. Dia sedang menyeduh teh untuk Nadya yang sedang datang bersama Fara. “William sudah bangun belum, sih? Kok lama amat,” tegur Fara yang menyusul Jelita ke dapur
“Will, koki Tante sedang kekurangan asisten. Tante pinjam Jelita dulu, ya. Jelita kan pintar masak. Mau ada arisan di rumah Tante, ada istri-istri pejabat juga yang jadi anggota arisannya. Jadi Tante harus mempersiapkan jamuan acara ini dengan sebaik-baiknya.” “Kapan, Tante?”“Arisannya masih tiga hari lagi, tapi Jelita harus ikut Tante pulang sekalian hari ini. Tenang saja, seperti biasa nanti Tante kirim pembantu di rumah buat menggantikan tugas Jelita di sini sementara Jelita kerja di rumah Tante.”William tentu saja merasa keberatan. Tetapi akan menjadi aneh jika dia tiba-tiba menolak, sebab Nyonya Marta dulu juga sering meminjam Bik Yuni jika sedang kekurangan asisten koki di rumahnya, dan William tak pernah keberatan. Apalagi Jelita juga sedang libur semester sehingga dia tidak bisa memakai alasan Jelita harus kuliah.William menghela napas dan mengangguk, sambil diam-diam melirik Jelita. Sebenarnya berat untuk melepaskan gadisnya pergi. “Mbakyu Mira jangan sampai nggak datang
Nadya berpura-pura tegar dengan memaksa bibirnya tersenyum, meski air mata mulai menetesi pipi. Padahal apa yang terjadi di dalam kamar William tak sama seperti apa yang sedang dipikirkan Nadya. Jelita memekik karena kaget saat William merebahkannya ke kasur dan langsung menindihnya. Lalu William tertawa saat Jelita meninju-ninju lengannya karena kesal sekaligus malu.“Abang gila! Nanti Nadya mikir macam-macam.” “Ck. Biar saja Nadya mikir macam-macam, terus jijik sama aku dan lama-lama minta putus. Biar keluargaku dan orangtuanya tak menaruh harapan tinggi terhadap hubungan palsu kami. Lagipula aku memang mau macam-macam,” goda William.“Ih! Yang ada dia nggak akan jijik sama kamu, Bang, tapi sama aku. Kalau dia lapor ke keluargamu gimana?” “Dia tak akan melakukan itu.” “Sotoy! Anggap dia akan melakukan itu. Ntar kita gimana coba?” “Kita?” Pria itu malah tersenyum, meledek kepanikan Jelita. “Langsung nikah.” William berkata sambil mengedipkan sebelah matanya. “Abang, jangan berca
William merasakan kosong dalam hatinya sejak ketiadaan sang kekasih sekaligus pembantunya yang biasa mendampinginya sarapan, yang melihat kepergiannya berangkat kantor, dan yang menyambutnya sepulang kerja. William merindukan kesehariannya yang manis bersama Jelita. Kangen masakannya. Nyonya Marta memang mengirim pembantu pengganti untuk menggantikan tugas Jelita sementara waktu, termasuk tugas memasak, tetapi masakannya tidak enak di lidah William yang terbiasa dimanjakan kelezatan masakan Jelita yang nilainya di atas rata-rata. William uring-uringan sebab hari ini Jelita tak memberinya kabar. William bahkan ingin membanting ponselnya karena kesal. Jelita sama sekali tak meneleponnya, bahkan Jelita menolak saat William berinisiatif meneleponnya lebih dulu. Kurang ajar. Dia bisa gila rasanya. Haruskah dia mengunjunginya langsung ke rumah Nyonya Marta? Tentu itu akan lebih gila lagi. Semuanya bakal langsung curiga. Sebab biasanya William tak akan ke rumah Nyonya Marta kalau tak ada ha
Nadya tertawa setelah menguasai kekagetannya. “Wah …,” dia geleng-geleng kepala, “kenapa sih kamu repot-repot meminta satu hal yang pasti akan terjadi, Will?” “Pasti? Jadi kamu memang berniat memutuskanku 3 bulan lagi?” Nadya tersenyum kecut. Tentu saja tidak! Tetapi egonya begitu terluka saat ini untuk mengatakan yang sesungguhnya bahwa dia sangat ingin mempertahankan hubungan mereka lebih lama lagi, sehingga Nadya pilih mengangguk saja. “Will. Aku kan sudah bilang sejak awal, … aku cuma butuh kamu sebagai pacarku. Kita tak harus berakhir menikah.” ‘Bohong. Aku ingin bisa menikah denganmu, Will.’ Namun Nadya menyembunyikan kebohongan itu untuk dirinya sendiri. “Tapi orang tuamu dan tante Marta jadi berharap lebih sejak kita mengumumkan hubungan itu, Nad. Dan sikapmu yang terlalu terbuka pada keluarga Subrata akan menambah harapan mereka.” “Terus? Aku harus bersikap memusuhi keluargamu agar aku dibenci, begitu? Ck. Kamu boleh bucin pada Jelita tapi jangan tolol. Berpikirlah yang
Nadya bisa melihat rahang William yang tampak mengeras dan sorot matanya sedingin es. Sejak tadi tatapannya tak lepas mengawasi Jelita. “Will,” Nadya menepuk-nepuk lengan William dan mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu. “Berhenti menatap Jelita seperti itu. Jangan membuat tantemu yang cerewet itu curiga. Jika kau ingin melindungi pembantu kesayanganmu itu, bersikaplah sewajarnya di depan semua orang.” William menghela napas panjang, bersyukur Nadya berbaik hati mengingatkan sikapnya yang nyaris hilang kendali. Pria itu kemudian tersenyum tipis sebagai ungkapan terima kasih saat matanya bertemu tatap dengan Nadya yang juga membalas senyumnya.Sementara itu dari tempatnya, Jelita melihat William dan Nadya sedang saling adu tatap dengan mesra, bahkan tangan mereka saling menggenggam. Kini semua orang bisa melihat jika kedua orang itu betul-betul pasangan yang sepadan dan sedang kasmaran. Jelita menghela napas panjang, menguatkan hatinya saat membawa nampan berisi tiga gelas lemon t