Dina meminta secara khusus kepada Jelita agar membantunya membuat kejutan untuk merayakan ulang tahun William. Tentu saja Jelita tak keberatan. Namun, saat Jelita melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah William, di mana segala kenangan manis mereka berdua terkumpul, rasa sedih dan kehilangan yang mendalam kembali menghantam hatinya. Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada masa-masa indah yang pernah mereka lewati bersama.Jelita berusaha keras menyembunyikan kesedihannya. Ia merasa seperti merobek luka yang belum sembuh, menghadapi kenangan yang begitu kuat dan tajam. Segala perasaan pribadinya yang belum selesai dengan William melanda hatinya dengan keras. Namun, ia tak ingin menggagalkan kejutan ini, ingin memberikan kebahagiaan pada William di hari istimewanya.Nyonya Cindy yang juga datang dari Lampung meminta Jelita untuk membantunya memasak hidangan favorit William. Meski perasaannya terombang-ambing, Jelita dengan ringan tangan membantu. Sementara itu, Dina yang tak memil
Jelita seperti otomatis terbangun ketika waktu sudah menunjukkan jam empat pagi. Dilihatnya Dina masih bergelung di tempat tidur. Setelah mencuci muka, Jelita keluar kamar dan menuruni tangga.Jelita memasak untuk menyiapkan sarapan bagi orang-orang. Dilihatnya nasi semalam sudah tandas, tapi beberapa lauk masih ada. Dia menghangatkan lagi sebagian lauk yang masih enak buat dimakan dan membuang yang sudah tak layak dikonsumsi. Jelita mengolah makanan yang ada dengan bijaksana, dia menghargai makanan, dia tahu bagaimana rasanya kelaparan. Sewaktu kecil, orang tuanya sering meninggalkannya pergi bekerja begitu saja tanpa meninggalkan makanan untuknya.“Masak apa?”Jelita terkejut melihat William tiba-tiba berada di dapur, dia tak tahu sejak kapan pria itu ada di sana.“Nasi uduk.”“Sebanyak itu?”“Buat semua orang, tentu saja banyak.”“Cuma ada aku, kamu, dan Dina.”Jelita menoleh kepada William yang bersedekap memandangnya.“Hah? Ke mana yang lainnya?”“Mami dan rombongan sudah pergi k
“Astaga! Ma-maaf!” Jelita memalingkan mukanya yang merah padam digempur jengah. Demi apa! Dia melihat pemandangan tak senonoh sepagi ini. Jantungnya berdegup kencang dan lututnya gemetar. “A-aku cu-cuma … mau ambil … dompet, iya … cuma itu.” Jelita menjelaskan dengan terbata-bata seiring deru napasnya yang tersendat di tenggorokan. Jelita menunduk, menjaga matanya dari pemandangan yang tak enak buat dilihat. Tubuh bagian atas Dina sama sekali tak tertutup kain, demikian pula William. Jelita menatap lantai dan cepat-cepat menggerakkan kakinya yang gemetaran menuju tangga. ‘Duh, kenapa tangganya harus ada di dekat meja sialan itu sih!’ gerutunya. “Permisi!” Jelita menaiki anak tangga dua-dua sekaligus karena ingin kabur tak tahan jengah. Dia sampai tersandung setibanya di undakan tangga terakhir. “Awh!” pekiknya saat tersungkur, dia meringis mengusapi dengkulnya yang sakit membentur lantai. “Lita? Kamu jatuh?” tegur William dari bawah. “Nggak!” sahut Jelita sambil cepat-cepat ber
Pada hari yang ditunggu-tunggu, sinar mentari bersinar terang bagai menyambut wisuda Jelita. Dalam balutan toga wisudanya yang elegan, Jelita melangkah menuju panggung dengan penuh percaya diri ketika namanya dipanggil. Gelar sarjana dengan predikat cum laude menjadi tonggak keberhasilannya. Prestasi gemilang yang menggambarkan dedikasi dan ketekunan tanpa henti. Hatinya dipenuhi sukacita saat dia mendengar tepuk tangan meriah dari para hadirin yang kagum melihat prestasinya. Setelah ritual wisuda berakhir, suasana berubah menjadi riuh rendah di antara para tamu yang hadir. Bersama teman-teman seperjuangan, Jelita berpose di depan kamera yang siap menangkap momen bersejarah ini. Kebahagiaan Jelita terpancar jelas, memenuhi setiap pori-pori tubuhnya. Namun, kekosongan terasa menghampiri saat Jelita tak jua menemukan sosok William. Jelita mencari-carinya di antara kerumunan. Dia berusaha menelepon William, namun teleponnya hanya berdering panjang tanpa sahutan. Jelita menunggu, menole
Dina menyusul William yang sedang berada di Singapura untuk urusan bisnis. Rencananya William akan langsung kembali ke Jakarta sore ini, tapi Dina ingin mengajak William terbang bersamanya ke Paris untuk menghadiri sebuah acara yang sangat penting baginya. Mereka sedang berada di dalam kamar hotel tempat William menginap. Saat William pergi ke kamar mandi, Dina duduk di tepi tempat tidur dan tidak sengaja melihat ponsel William bergetar, menandakan adanya pesan masuk. Rasa penasaran menyelimuti Dina, dan tanpa sengaja dia membuka pesan tersebut. Dari Jelita.Dina terkejut melihat isi pesan itu. Jelita memberitahu bahwa dia menitipkan surat undangan wisudanya lewat resepsionis di gedung perusahaan William. Tidak hanya itu, foto surat undangan itu juga dilampirkan dalam pesan tersebut. Dina tercekat, tanggal wisuda Jelita bertepatan dengan acaranya di Paris.Dina mendadak cemas dan khawatir. William terlihat sangat menyayangi adiknya itu, bisa jadi William akan lebih memprioritaskan a
Dina menggenggam tangan William erat-erat, ingin menunjukkan kepada Nadya bahwa mereka sedang bersama, sebagai kekasih. Dia pura-pura tak tahu perasaan Nadya sebenarnya yang jelas-jelas terlihat terpukul melihat kebersamaannya dengan William.“Nad, kenalkan ini William.”“Kami sudah saling kenal kok, kami juga teman dekat. Makanya aku mengundang dia di acara gala dinner waktu itu.” Nadya menyahut dengan suaranya yang gemetar.Dina tertawa, menunjukkan kebahagiaannya secara terang-terangan. “Ah iya, berkat acara itu kami akhirnya bertemu lagi. Acara itu membawa keajaiban bagi kami, Nad. Kami dulu satu kampus. Setelah bertahun-tahun tak bertemu kami berjumpa lagi di acaramu itu. Dia malah menjadi pacarku sekarang.” Hati Nadya panas, sakit sekali. Ia sama sekali tidak menyangka hubungan mereka berdua telah berkembang sedemikian cepat sampai ke tahap pacaran. Perasaan cemburu dan marah semakin menggebu di dalam diri Nadya. Ia merasa seperti dunianya hancur, seolah-olah semuanya direncana
Pada akhirnya Jelita mengizinkan Bimo tinggal di apartemennya, tentunya setelah Bimo melakukan negosiasi yang ulet dengan Jelita. “Oke. Aku tidak akan tidur di ranjangmu tanpa izin, tidak akan mengintipmu mandi dan berganti pakaian, tidak akan menggerayangi dadamu … kecuali kau mengizinkan, terus apa lagi?” Bimo mengedipkan sebelah matanya. Jelita memutar bola mata ketika Bimo mengucapkan janji-janjinya itu dalam negosiasi alot mereka. “Ah, ya. Aku akan memberimu uang sewa harian setara dengan biaya sewa hotel tempatku menginap saat ini. Dibayar di muka.” Jelita seketika terdiam dan tampak berpikir keras. “Berapa harga menginap semalam di sana?” “Kisaran tiga juta per malam.” “Tiga juta?” Jelita terkesiap dan berkedip-kedip. “Yeah.” Bimo mengangguk-angguk sombong. Meskipun sebenarnya kamar di apartemen Jelita jauh lebih sempit dari kamarnya di hotel, tetapi Bimo tak menjadikan itu masalah. Tak penting tentang sempitnya kamar dan minimnya fasilitas yang dia terima jika pindah da
William duduk sendirian di meja pojok coffee shop, menyaksikan suasana yang riuh di sekelilingnya. Bau harum kopi dan desiran percakapan mengisi ruangan, menciptakan aura yang khas dari sebuah coffee shop. Mata William tiba-tiba terpaku pada layar televisi datar yang tergantung di salah satu dinding yang sedang menayangkan acara gosip selebriti. Di sana, berita tentang wisuda seorang artis muncul di layar. Dia mengerutkan kening saat menyadari bahwa kampus artis tersebut sama dengan kampus Jelita. William menyimak acara itu, bukan karena tertarik pada kehidupan si artis, melainkan ingin tahu kapan tepatnya hari wisuda itu terjadi. “Ternyata sudah seminggu yang lalu?” gumamnya bingung. Kilatan kesedihan langsung menyapu wajahnya. Jelita ternyata tak mengundangnya ke acara wisuda itu. Pria itu memejamkan matanya, mencoba merenung dalam-dalam. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung di udara. Mengapa Jelita tidak mengundangnya? Apakah gadis itu sangat marah melihat dirinya berm