Keluarga besar Alfian sedang berkumpul di rumah Alfian. Berita tentang Kanaya dan Rindu sudah diketahui oleh semua keluarga Alfian dan Nurmala, tak terkecuali Risma dan suaminya. Lukman datang bersama Ayu dan Sarah, sedangkan Roy datang bersama Azizah dan anaknya.Tentu saja berita ini mengejutkan semua orang, bahkan menggores hati yang awalnya sudah damai. Semua orang sangat menyayangi Kanaya dan sudah menjadikan Kanaya sebagai bagian dari keluarganya."Kak, Rindu jangan dibalikin ke keluarganya. Berikan saja padaku kalau Mbak Nurmala sama Kak Alfian nggak mau merawatnya." Sarah sangat shock ketika mengetahui rahasia busuk yang Sulastri sembunyikan selama bertahun-tahun. Ia cemas Alfian marah dan menyia-nyiakan Kanaya karena Kanaya adalah anak kandung dari wanita licik itu."Bagaimana aku dan Mas Alfian akan menelantarkan Rindu. Kami sangat menyayangi Rindu dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri," sahut Nurmala dengan hati pilu."Apa keputusan kamu, Al?" tanya Lukman pada Alfia
Alfian memesan makanan dari restoran, semua keluarganya berkumpul untuk makan malam di ruang makan. Banyak makanan istimewa yang tersaji di atas meja untuk menyambut kedatangan Rindu.Semua bersemangat mengambil makanan yang tersaji di atas meja makan, sedangkan Rindu hanya memindai makanannya sambil meneguk salivanya. Nurmala mengambil makanan, lalu meletakkan piringnya di hadapan Rindu."Ini buat aku, Tante?" tanya Rindu dengan mata berbinar memandangi makanannya. Sebelumnya, Rindu tidak pernah makan enak."Iya, Nak. Ini buat kamu, kalau kurang boleh kamu ambil lagi," jawab Nurmala sembari tersenyum dengan lembut."Makasih, Tante." Rindu langsung membaca do’a, kemudian melahap makanannya dengan semangat.Semua mata langsung tertuju pada Rindu yang makan seperti orang kelaparan. Rindu tidak pernah makan makanan seenak ini. Rindu masih menjilati tulang ayam di piringnya. Ia juga menjilati jarinya karena bumbunya masih tersisa di sana."Kalau masih kurang, kamu boleh ambil lagi, Nak."
Alfian yang mendengar tangisan Rindu pun akhirnya keluar dari kamarnya. Ia terkejut melihat Rindu yang menangis ketakutan di pelukan Kanaya. “Nak, ada apa ini?”“Dia takut melihatku, Pa,” jawab Ashraf. Kanaya langsung melepaskan pelukannya begitu mendengar suara Alfian. “Dia takut dipukul sama ibunya, Pa.Alfian menggendong Rindu yang masih menangis sesenggukan, kemudian memeluknya dengan erat. “Kamu jangan takut, mulai sekarang tidak akan ada yang berani memukulmu.” Tangannya yang kokok mengusap punggung Rindu dengan lembut.“Iya. Mana ada ibu yang bisa mukul anaknya sendiri. Mamaku saja nggak pernah mukul aku.” Zivanna ikut menghibur Rindu.“Tapi, ibuku suka mukul kalau aku nggak nurut,” sahut Rindu sambil menangis sesenggukan. Alfian dan Ashraf semakin geram sekaligus merasa iba mendengar pengakuan Rindu. Mereka marah karena selama ini Rindu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari Sulastri.“Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kamu, Nak,” ujar Alfian den
Rindu menghela nafas panjang karena merasa nervous menunggu namanya dipanggil sebagai peserta lomba Musabaqah hafalan Al-Qur'an antar santri tingkat Madrasah Aliyah. Rindu memiliki gejala demam panggung. Namun, sejauh ini ia masih bisa mengatasi masalahnya.Setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah, Rindu memutuskan untuk memperdalam ilmu pengetahuannya tentang agama islam di pondok pesantren Al-Fitrah, di Bangil Pasuruan Jawa Timur. Alfian sengaja memilih ponpes ternama untuk mendukung Rindu dalam mencari ilmu. Banyak santri berasal dari luar negeri yang menimba ilmu di ponpes tersebut. Awalnya, Rindu menolak karena biaya pendidikan pondok pesantren tersebut terbilang mahal, ia terlalu malu untuk merepotkan Alfian dan Nurmala, apalagi Bangil Jawa Timur sangat jauh dari Jakarta. Pasti Alfian dan Nurmala akan kerepotan untuk menjenguknya di pesantren. Rindu cukup tahu diri meskipun keluarga Alfian merawatnya dengan ketulusan hati sejak ia berusia 5 tahun sampai usia 18 tahun. Rindu mendengar
Pandangan mata Nurmala terus mengikuti langkah kaki Rindu yang meniti anak tangga, lalu berjalan melewati para santriwati dan wali santriwati yang duduk menonton acara perlombaan."Assalamu'alaikum," Rindu mengucap salam begitu tiba di hadapan Nurmala."Wassalamu'alaikum," jawab Nurmala, Kanaya, Khanza dan Zivanna serempak. Beberapa wali santri juga menjawab salam Rindu.Rindu mencium tangan Nurmala, lalu memeluknya dengan erat. Rindu sangat merindukan pelukan Nurmala, rindu kasih sayang Nurmala, rindu belaian tangan Nurmala ketika Rindu tidur, Rindu merindukan suapan tangan Nurmala. Rindu juga merindukan Papa Alfian, dan saudaranya. Air mata Rindu menetes begitu saja karena luapan rasa rindu."Loh, kok malah nangis?" tanya Nurmala begitu Rindu melepas pelukannya."Kangen, Ma." balas Rindu dengan suara serak, sambil menyapu air matanya."Oh, Mama juga kangen." Nurmala mencium kening Rindu. Sedangkan, Khanza mengusap-usap punggung Rindu. “Sudah-sudah. Umur kamu sudah 18 tahun, masa' su
Dari atas balkon, Gus Fahmi terus memperhatikan Rindu yang berjalan menuju ke asramanya. Seulas senyum terbit dari bibirnya yang menawan kala melihat Rindu mengenakan jaket pemberian darinya. Pandangannya tak mau terlepas hingga Rindu hilang di balik pintu asrama."Assalamu'alaikum." Rindu mengucap salam begitu membuka pintu kamar asramanya."Wassalamu'alaikum," jawab Anisa dan Mina, sedangkan Fatimah dan Rahma sudah tertidur pulas di atas ranjangnya. Mereka semua adalah sahabat yang sekamar dengan Rindu.Anisa dan Mina mengamati Rindu yang melangkah ke arahnya. Mereka berdua terheran-heran melihat jaket kedodoran yang Rindu kenakan. Mereka sangat familiar dengan jaket yang kebesaran itu. Mata Mina terbelalak ketika mendapat jawaban dari bordiran nama di jaket itu."Ya ampuuun, Rinduuuu. Sudah aku duga ini jaketnya Gus Fahmi," sorak Mina kegirangan begitu membaca bordiran nama M. Fahmi Saddam Husein di jaket tersebut. Ia menarik tangan Rindu, lalu mendudukkannya ke tepi ranjang."Seri
Para santriwati mengepak semua barang dan pakaiannya, termasuk Rindu dan sahabatnya. Rombongan santri akan pulang besok pagi."Alhamdulillah, akhirnya bisa bebas dari sangkar emas yang penuh dengan barokah ini." Mina sangat bahagia, sebentar lagi bisa menikmati udara bebas di luar pesantren."Gimana kalau bulan ramadhan kita buka puasa bersama?" Tangan Rindu masih sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas."Boleh, boleh, tapi gimana cara kita komunikasi. Kita 'kan nggak punya hp," sahut Anisa lesu."Gampang, kita pakai nomor orang tua kita aja." Rahma mengeluarkan buku dan bolpoin, kemudian menulis nomer orang tuanya. Setelah itu, Rahma memberikan kertas dan bolpoinnya pada Rindu, pun menulis nomor wa Nurmala. Secara bergiliran 5 sahabat itu menulis nomor orang tua mereka masing-masing."Kalau buka puasa bersama rasanya mustahil, deh. Rumah kita 'kan beda kota," keluh Rahma. Dia berasal dari kota Bangil Jawab Timur, Fatimah dari kota Madura dan Anisa dari kota Surabaya, sedangkan Mina
Sepanjang perjalanan pulang, suasana mobil hening. Tidak ada satupun di antara mereka bertiga yang mau membuka suara. Hal itu membuat Rindu merasa canggung. Ashraf melirik tangan Rindu yang saling meremas, sudah menjadi kebiasaan Rindu sejak kecil jika gugup akan meremas tangannya sendiri."Setelah lulus Aliyah, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Ashraf yang ingin mencairkan suasana canggung di dalam mobil, ia tidak ingin larut dalam kesedihan yang membuat Rindu makin tidak nyaman karena sikapnya. Tatapan matanya masih fokus ke jalanan depan."Kak Ashraf, ngomong sama aku?" tanya Rindu dengan polosnya karena tidak fokus dengan pertanyaan Ashraf.Ashraf menoleh pada Rindu yang duduk di sebelahnya seraya menyunggingkan senyum dengan manisnya. “Memangnya siapa lagi di sini yang lulusan Aliyah kalau bukan kamu?”"Hehehe." Rindu cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya Kak Ashraf tanya apa barusan, aku nggak dengar?”"Tadi Kak Ashraf tanya, setelah lulus Aliyah