Keluarga Tania datang menjenguk ke rumah sakit. Kedatangan mereka membuat sifat Tania semakin menjadi. Tania tidak mau menyusui, menggendong, dan merawat anaknya. Ia terus mengeluh kesakitan, sekalipun dokter sudah meresepkan obat untuknya. Aryo tidak bisa berbuat apa-apa, saat Tania meminta sesuatu yang di luar nalarnya, keluarga Tania selalu membela dan meminta Aryo memakluminya. Ibu Aryo memilih menyingkir, tidak datang lagi ke rumah sakit untuk menemui menantu dan cucunya. Aryo mulai melihat tagihan rumah sakit yang terus membengkak, dan harus memutar otak untuk mencari uang. Dokter sudah mengijinkan Tania dan bayinya untuk pulang besok, itu artinya besok seluruh biaya rumah sakit harus lunas. "Mas, besok aku mau pulang ke rumah orang tuaku saja," kata Tania malam itu. "Apa?! Kenapa seperti itu?" tanya Aryo. "Aku masih harus menyesuaikan diri dengan pola hidupku yang baru juga bagaimana cara merawat anak ini. Sementara kamu harus pergi bekerja dari pagi sampai malam. Aku gak
Ting.. Sebuah notifikasi menunjukkan adanya pesan yang masuk ke ponsel Indah. Indah yang sedang duduk di tempat atas tempat tidur segera mengambil gawainya dari atas nakas. "Indah, kamu sudah tidur?" sebuah pesan dari Aryo. Indah tak langsung membalas pesan itu. Sejak kemarin Indah mengijinkan Aryo mengantarnya pulang, Aryo mengirimkan beberapa pesan untuknya. Rasanya sangat aneh bagi Indah, karena dulu saat pernikahan mereka masuk ke masa jenuh, Aryo tak pernah mengirimkan pesan semacam itu. Saat Indah menelepon atau mengirim pesan pada Aryo, suaminya itu bahkan sangat jarang membalas pesan Indah. Aryo selalu beralasan sibuk bekerja, tak sempat menjawab telepon atau membaca pesan Indah. Jika membalas, nada pesan Aryo selalu penuh amarah dan menjawab seperlunya saja. Saat ini Aryo sepertinya sedang menemukan kembali rasa penasaran atau kerinduan pada Indah dan anak-anaknya. Tapi Indah tak mau terhanyut, ia tidak boleh luluh pada perhatian dan perlakuan Aryo padanya. Sesekali In
Indah menghela nafas panjang, ia sama sekali tidak merasa senang mendengar sanjungan mantan suaminya itu. "Pikirkan dengan matang tentang istri dan anakmu, Mas. Aku wanita, yang juga pernah merasakan sakit karena kamu khianati," jawab Indah. "Kali ini aku sungguh-sungguh, Ndah. Aku ingin kamu menjadi istriku lagi. Kalian bertiga adalah sumber kebahagiaan bagiku," kata Aryo."Jujur aku juga merindukan masa-masa kebersamaan kita, Mas," ujar Indah. Binar bahagia terlihat di mata Aryo, ia bersorak dalam hatinya mendengar perkataan Indah.Kata Aryo, "Kamu juga merasakan hal yang sama denganku, Sayang?" "Entahlah, Mas. Sayangnya saat ini kamu sudah menjadi suami dari wanita lain," ujar Indah berusaha terlihat menyesal di depan Aryo. "Sayang, demi kamu aku rela kembali padamu. Aku akan melepaskan Tania. Aku sadar saat ini, bahwa aku tidak pernah mencintai dia," kata Aryo. Indah tersenyum tipis, ia yakin bahwa mantan suaminya itu telah masuk ke dalam jebakannya. Selangkah lagi, ia akan
Akhir pekan itu, Aryo mempersiapkan diri untuk datang ke rumah orang tua Tania. Tekad Aryo telah bulat untuk berpisah dengan Tania. Kini Aryo menyadari bahwa dirinya telah terjerat dalam cinta semu yang telah memabukkan dirinya. Aryo harus mempersiapkan diri, menghadapi kemarahan Tania dan keluarganya. Wajar mungkin, karena Aryo akan meninggalkan Tania dan buah hatinya yang baru hitungan minggu usianya. 'Aku tidak akan goyah dengan tangisan atau kemarahan Tania. Aku sudah merasa yakin dengan keputusanku, dan hatiku bulat untuk kembali pada Indah setelah semua urusan ini selesai. Aku rasa Indah tak akan keberatan jika aku tetap bertanggung jawab dan memberi nafkah pada Cahaya, anakku dengan Tania, apalagi kondisi keuangan Indah saat ini cukup baik,' gumam Aryo. Tak terasa, bus yang dinaiki Aryo telah tiba di kota kelahiran Tania. Ia bergegas turun dan menuju ke alamat rumah orang tua Tania. Aryo hanya dua kali menginjakkan kaki di rumah itu, yaitu saat berkenalan dengan keluarga Tan
Tania tertunduk lesu di sofa, ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari suaminya. Kabar buruk ini bagaikan petir di siang bolong baginya. Kini Tania tidak tahu harus berbuat apa, ia merasa ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Padahal Tania baru saja berjuang dan mempertaruhkan nyawa melahirkan putri kecil mereka. "Minum dulu, Nak,"Ibu Tania mengulurkan segelas air untuk Tania yang masih terpukul. Tania menerima gelas itu dengan gemetar. Ia seperti kehilangan kekuatan dan harapannya. "Kurang ajar Aryo!" geram Ayah Tania. "Aku harus bagaimana?" lirih suara Tania yang putus asa. "Kamu gak perlu mengharapkan pria itu lagi," kata Ayah Tania. Tania menggelengkan kepala sambil menangis, ia masih ingin menyangkal semua yang terjadi, "Ini gak mungkin! Mas Aryo itu tergila-gila padaku. Dia sangat mencintai aku, sampai dia rela meninggalkan istri dan anaknya,""Andaikan dulu kami tahu, kalau Aryo sudah mempunyai istri, kami gak akan merestui hubungan k
"Lepaskan tanganku, Mas!" seru Tania. "Siapa yang menyuruhmu datang kemari?" tanya Aryo ketus. "Lalu aku harus berdiam diri menerima keputusanmu? Kamu anggap apa aku ini, Mas? Mainan? Pelampiasan?" suara Tania berhasil menarik perhatian beberapa orang yang sedang melintas di depan restoran itu. "Rasanya kata-kataku sudah sangat jelas. Aku baru menyadari kalau aku gak pernah mencintai kamu, Nia. Mungkin dulu aku salah melangkah, atau hanya merasa bosan pada Indah. Aku memang salah karena memanfaatkan kamu sebagai pelampiasan. Aku tertipu dengan perasaanku sendiri," ucap Aryo. Tania mengangkat wajahnya dan menatap Aryo. Dengan suara keras ia berkata, "Apa?! Gila kamu, Mas! Kamu pikir pernikahan itu hanyalah main-main? Setelah bosan kamu mencampakkan aku begitu saja? Aku sudah menjadi istrimu yang sah, Mas. Ada seorang anak tak berdosa di antara kita. Apa kamu tega dan gak memikirkan masa depan anak kita? Bagaimana bisa dia bertumbuh tanpa seorang ayah?" "Nia, pelan kan suaramu! Ora
"Maaf, Pak," ucap Aryo sambil menundukkan kepala. "Ini semua karena Mas Aryo, Pak," jawab Tania terus terang. "Eh, enak saja kamu menyalahkan aku!" seru Aryo sambil menatap Tania. "Iya memang, kamu yang salah!" Tania memang tidak pernah mau mengalah. "Sudah.. Sudah! Apa-apaan kalian? Sekarang malah ribut di ruangan saya! Kalian ini suami istri yang dulu sangat harmonis. Kenapa sekarang malah membuat keributan seperti ini?" tanya Pak Dibyo. "Dia selingkuh, Pak!" jawab Tania. Aryo terkejut karena Tania berterus terang membongkar persoalan rumah tangga mereka dengan mudahnya. "Saya tidak mau tahu urusan rumah tangga kalian! Segera keluar dari sini dan selesaikan masalah pribadi kalian!" titah Pak Dibyo. Aryo segera menggandeng tangan Tania keluar dari ruangan atasan mereka. "Ingat, Aryo, Tania! Ini kantor, bukan pasar atau rumah kalian! Kalau keributan ini terulang kembali, silakan keluar dari perusahaan ini selamanya! Kalian langsung akan saya pecat!" kata Pak Dibyo. "Iya, Pak
"Apa maksudmu?" tanya Aryo. "Aku gak bisa jawab sekarang, Mas. Aku juga merasa kasihan pada istri dan anakmu. Selain itu, aku juga ingin melihat kesungguhanmu padaku, sebelum aku memberikan jawaban," jawab Indah. "Aku sudah membicarakan semuanya dengan Tania. Aku gak akan melepaskan tanggung jawabku pada anakku. Ini justru bentuk kesadaran dan tanggung jawabku padamu dan anak-anak kita, Indah. Aku kembali pada kalian, bukankah itu yang kalian inginkan?" tanya Aryo. "Aku ingin mendengar dari Tania secara langsung, bahwa ia rela bercerai denganmu, Mas. Aku gak mau menyakiti orang lain, apalagi sampai merebut suaminya," jawab Indah. "Baiklah kalau itu yang kamu mau, kita akan bertemu dengan Tania dan membicarakan semua. Tapi kamu masih mencintai aku, kan?" tanya Aryo sambil menggenggam tangan Indah. Indah membiarkan Aryo berpikir demikian. Ia tersenyum dan menatap Aryo yang mencium tangannya dengan lembut. Aryo mempersiapkan sebuah acara untuk kembali melamar Indah dan menyatakan k
Pagi itu Indah masih meringkuk menghadap ke dinding. Kepalanya berdenyut pening jika ia mencoba bangun dari tempat tidurnya. Ia mendengar ibu membuka pintu kamar dan menghampirinya."Nak, suamimu datang. Dia menunggumu di teras.""Mau apa dia, Bu? Kalau mau membuat keributan lagi, suruh saja dia pergi," jawab Indah dengan malas."Sepertinya gak begitu, Nak. Dia tadi sudah minta maaf sama Ibu. Ada sesuatu yang penting yang harus dia sampaikan padamu. Temui saja dulu, Nak!" kata Ibu Indah."Iya, Bu." Indah bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Indah menatap dirinya di cermin, penampilannya sangat menyedihkan karena wajahnya pucat, pipinya tirus karena porsi makan berkurang, dan hanya mengenakan daster. Indah segera mengganti pakaiannya, menyisir dan mengikat rambutnya, dan memakai lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.Setelah itu ia menarik nafas dalam-dalam dan kembali melihat dirinya di cermin. Tak lupa ia memasukkan alat tes kehamilan di sakunya. Indah berpikir, seandainy
"Masih mual, Nak? Bagaimana kalau ke dokter saja?" Ibu Indah menatap Indah yang berjalan perlahan keluar dari kamar mandi dengan cemas. Sudah lebih dari sepuluh kali Indah bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat, karena Indah tidak bisa menyantap makanan apapun. Ibu Indah sudah mencoba membuatkan sup ayam kampung kesukaan Indah. Namun baru saja Indah menyuapkan suapan kedua nasi dan sayurnya, ia kembali muntah. Begitupun dengan roti, buah, atau biskuit, Indah tidak sanggup menelannya. "Nak, apa mungkin.." kata Ibu Indah sambil berpikir."Apa, Bu?" tanya Indah.Ibu Indah menatap putrinya beberapa saat dan berkata, "Apa ini gejala hamil? Kemarin kamu juga mengalami gejala seperti ini, kan?" Mata Indah terbelalak, ia lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kalender tempat ia mencatat tanggal terakhir datang bulannya. Ternyata memang tanggal itu sudah terlewat. Masalah yang terjadi bertubi-tubi membuat Indah lupa dan tidak curiga sama sekali pada gejala y
"Ini upah untukmu! Aktingmu cukup bagus, sampai berhasil membuat Sandy marah dan cemburu buta." Aryo menyerahkan satu amplop coklat di hadapan Hadi.Hadi membuka amplop itu dan menghitung sepintas isinya."Tambah donk, Bos! Lihat nih, aku sampai luka karena pukulan suaminya Indah itu. Aku butuh dana lebih untuk mengobati lukaku." Hadi mengelus pipinya yang masih lebam."Eh, enak saja! Itu sudah sesuai dengan perjanjian kita," tolak Aryo."Tapi kan kemarin pernjanjiannya gak ada adegan pukul-pukulan seperti ini, Bos. Kalau tahu akan luka begini, aku pasti minta tarif lebih tinggi," ujar Hadi."Sudah, terima saja dulu uangnya. Nanti aku lapor sama Nona Daisy dulu."Aryo dan Daisy sudah membuat sebuah siasat untuk membuat Sandy dan Indah salah paham. Aryo meminta Hadi untuk berpura-pura menjadi pengusaha yang ingin menjalin kerja sama dengan Indah. Hadi sebenarnya hanya seorang pengangguran yang biasa mengerjakan pekerjaan apapun, halal ataupun tidak.Setelah memberi upah untuk Hadi, Ary
"Apa?! Indah selingkuh? Itu gak mungkin, Sandy. Mama tahu Indah paling membenci perselingkuhan. Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Nak?" seru Bu Ratna."Ma, apa yang gak mungkin di jaman sekarang ini? Indah itu sengaja membalas perlakuan Sandy. Indah menyangka Sandy sudah berselingkuh dengan Daisy. Mama lihat sendiri foto-foto ini!" Sandy menyodorkan ponselnya. "Sandy juga sudah melihat sendiri mereka sedang berduaan di rumah Ibu Indah. Hati Sandy sangat sakit melihatnya, Ma. Semua cinta dan ketulusan Sandy untuk Indah sudah gak ada artinya."Bu Ratna menatap foto-foto itu dengan mata terbelalak. "Ini gak mungkin! Mama tetap gak bisa mempercayai ini. Apa kamu sudah tanyakan baik-baik sama Indah? Siapa tahu pria itu saudaranya?""Ma, Indah saja gak menyangkal tuduhan Sandy. Dia hanya diam dan gak menjelaskan apapun. Sandy sudah mantap akan menceraikan Indah, Ma. Secepatnya Sandy akan mengurus proses perceraian ini." Sandy menatap nanar ke depan."Nak, kamu harus bicara baik-baik dan
"San, dimana Indah? Kenapa beberapa hari ini Mama gak lihat dia?" tanya Bu Ratna saat sarapan pagi itu.Sandy tak langsung menjawab, ia mengunyah makanannya perlahan sembari mencari jawaban yang tepat."Dia ada di rumah ibunya, Ma. Kasihan anak-anak, sudah beberapa hari mereka harus bersama neneknya, " jawab Sandy."Kenapa? Kalian bertengkar? Tolong jujur dan jangan menyembunyikan apapun dari Mama!""Gak ada apa-apa, Ma. Mama gak perlu cemas. Sekarang Mama fokus saja sama kesehatan Mama, jangan terus larut dalam kesedihan!" Sandy berusaha tersenyum.Perbincangan mereka terhenti ketika Daisy tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Sandy. Tanpa ragu Daisy langsung memegang lengan Sandy dan mencium pipinya. Sandy terlihat segan, tetapi ia membiarkan tindakan Daisy itu. Bu Ratna menatap Daisy dan Sandy bergantian. Ia mulai bisa membaca situasi itu."Ma, aku bawa makanan untuk Mama dan Sandy." Daisy meletakkan kantung plastik yang cukup besar di meja makan."Gak perlu repot-repot. B
Indah berlari keluar dari kantor itu dan masuk kembali ke mobilnya. Ia tidak menghiraukan tatapan para karyawan yang melihat reaksi dan air matanya yang terlanjur jatuh."Jahat kamu, Mas! Pantas saja kamu membela wanita itu mati-matian dan memaksa aku minta maaf padanya. Ternyata kamu masih menyimpan perasaan cinta untuknya. Lalu kamu anggap aku ini apa? Figuran? Pelampiasan?""Aku merendahkan diri, datang ke kantormu untuk membawakan makan siang dan memperbaiki hubungan kita. Tapi apa? Ternyata kamu malah menikmati waktu saat jauh dariku.""Bodoh kamu, Indah! Kenapa bisa jatuh kembali di lubang yang sama? Ternyata semua pria memang penipu!" rutuk Indah.Indah memukul-mukul setir mobilnya dan menangis. Setelah bisa sedikit menguasai diri, ia segera meninggalkan halaman kantor suaminya. 'Mas Sandy atau siapapun gak boleh melihat aku menangis. Aku gak akan menangis lagi untuk seorang pria.' Indah menghapus kasar air mata yang membasahi pipinya.Indah kembali ke restoran dan masuk ke ru
"Argh.. kenapa pernikahanku jadi kacau seperti ini?" Sandy menjambak rambutnya sendiri dan duduk di sofa ruang tamu.Bi Ijah menatapnya prihatin dan menggelengkan kepalanya. Dalam sekejap rumah tangga yang harmonis menjadi retak dan nyaris hancur."Sabar, Nak, setiap rumah tangga harus melewati ujian. Coba tenangkan diri dan jangan mengedepankan emosi!" saran Bi Ijah."Bi, apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menerima, menyayangi, dan mendukung Indah. Aku juga menerima Indah apa adanya meskipun dia sudah pernah menikah dan menyayangi anak-anaknya seperti anakku sendiri. Dengan mudahnya dia pergi dari rumah saat kami ada masalah kecil seperti ini. Aku masih berduka karena papa, Bi. Pikiranku kalut, seharusnya dia bisa mengerti dan memahami aku."Bi Ijah menghela nafas panjang. "Jangan mengambil keputusan saat sedang marah, Nak! Nanti kalau emosi kalian sudah membaik, bicaralah dengan lebih tenang dan jangan saling menyalahkan!""Iya, Bi. Aku akan mencoba mengikuti saran Bi
Indah mengemudi mobilnya sambil menangis. Ia tidak pernah menyangka jika hal buruk yang pernah terjadi dalam pernikahannya terdahulu akan terulang kembali. Indah meraba pipinya yang terasa sakit, ia melihat ke cermin dan menemukan tanda merah di sana. Tak henti Indah bertanya dalam hatinya, apa kegagalan kisah cintanya dengan Aryo membuatnya trauma dan sangat sensitif seperti sekarang ini?Saat berhenti di lampu merah, Indah mengambil ponselnya, ia melihat tidak ada pesan atau permintaan maaf dari Sandy padanya.'Bukannya mencegah aku pergi, dia malah berteriak dan marah seperti itu! Baiklah, aku gak akan kembali ke rumah itu!' ucap Indah dalam hatinya.Indah tak habis pikir, kenapa ada orang bermuka dua seperti Irene dan Daisy, yang terlihat sangat manis di luar, tetapi hatinya licik dan berbisa.Tanpa ia sadari, Indah tiba di depan rumah ibunya. Ia menghapus air matanya dan memakai masker untuk menutupi bekas tamparan Sandy di wajahnya. Indah mengerti, tidak mungkin ia bisa menyemb
Dua jam berlalu, Indah tetap berada di kamar dengan perasaan tak menentu. Bayangan Sandy sedang berbincang dan berpegangan tangan dengan Daisy tak pernah bisa hilang dari benaknya. Tak biasanya Sandy membiarkannya kesal dan marah seperti ini. Biasanya, Sandy akan kembali ke kamar dan memeluk Indah sampai amarahnya surut. Indah duduk sambil memeluk bantal. Sekalipun beberapa hari ia lelah dan mengantuk karena kurang tidur, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.'Apa aku yang keterlaluan? Terlalu sensitif dan cemburu di saat yang gak tepat?''Tapi bagaimana bisa Mas Sandy berbuat seperti itu padaku? Dia seolah gak menghargai perasaanku?'Indah menarik nafas dalam-dalam, ia mencuci mukanya dan berpikir untuk pulang dahulu ke rumahnya.'Seandainya Mas Sandy masih ingin menemani mama, biar saja dia di sini dulu,' pikir Indah.Indah keluar dari kamar, tak disangka, Daisy masih ada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan Irene. Sementara Sandy sedang tertidur di lantai beralaskan