"Terima kasih." Ivy menerima obat itu.Saat Janice mengangkat wajah, pemuda di seberang sedang menatapnya. Tatapan mereka bertemu, pemuda itu langsung tersenyum sopan. "Hati-hati di jalan."Janice berpura-pura tenang dan tersenyum tipis, lalu merangkul lengan Ivy sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.Begitu keluar dari halaman kecil, Janice mempercepat langkah sampai akhirnya keluar dari gang dan naik ke mobil. Setelah menyuruh sopir pergi membeli air, barulah dia berani menarik napas dalam-dalam.Saat itu juga, bagian bawah roknya sudah basah karena keringat dingin dari telapak tangannya. Di kehidupan lampau maupun sekarang, dia sudah menyaksikan sendiri kehebatan uang. Apalagi, orang yang ingin mengambil nyawanya punya uang dan kekuasaan.Ivy yang duduk di sebelahnya melepas sepatu hak tinggi, lalu mengelus kakinya dan bertanya dengan heran, "Janice, kamu kenapa sih? Kok misterius sekali?""Bu, kamu percaya sama aku nggak?""Jelas percaya. Memangnya ada apa?" tanya Ivy ya
Setibanya di rumah sakit, Janice merasa penampilan Ivy terlalu mencolok, jadi dia menyuruh ibunya menunggu di mobil. Sementara itu, dia sendiri membawa obat itu ke bagian pengobatan tradisional.Janice sengaja mencari dokter perempuan, lalu berkata bahwa anggota keluarganya sedang dalam program hamil dan diberi resep oleh dokter pengobatan tradisional. Dia ingin tahu apakah obat ini aman untuk dikonsumsi atau tidak.Dokter perempuan itu sangat sabar. "Apa ini resep dari dokter pengobatan tradisional yang direkomendasikan keluarga?""Iya." Janice mengangguk."Obat tradisional memang sebaiknya diracik di tempat yang resmi." Setelah melihat resepnya, mata dokter itu sedikit berbinar. "Tapi, resep ini bagus kok dan juga ada cap resmi dari klinik pengobatan tradisional. Nggak masalah."Janice masih merasa gelisah. Dia langsung mengeluarkan satu bungkus obat untuk menunjukkannya. "Bisa bantu lihat langsung, apa ada yang aneh di dalamnya?"Dokter itu tersenyum. "Kamu sangat hati-hati ya. Yang
'Nggak boleh dipertahankan! Landon sangat baik, masa dia harus membesarkan anak orang lain?''Kalau memang nggak mau, kenapa kamu lari tadi? Gimana kalau itu Vega yang kembali?'Vega .... Begitu memikirkan putrinya, hati Janice langsung terasa nyeri.Mengonsumsi pil kontrasepsi dan melakukan aborsi adalah dua hal yang sangat berbeda. Apalagi kalau anak ini mungkin adalah Vega, Janice semakin tidak sanggup bersikap kejam.Pikirannya sungguh kacau sekarang. Dia duduk di bangku taman, meremas hasil pemeriksaan itu, menggenggamnya erat-erat.Angin musim semi bertiup lembut. Entah kenapa, dia seperti mendengar suara Vega. "Mama."Janice sontak berdiri dan menoleh ke belakang. Dia lalu melihat seorang gadis kecil seumuran Vega yang sedang manja-manjaan dengan ibunya."Mama, sakit sekali disuntik.""Mama tiup ya, biar nggak sakit. Kamu pasti ingin makan es krim lagi ya?"Ibu itu menyentil pelan kening anaknya dan berjongkok untuk meniup lengannya.Mata Janice mulai basah, pandangannya buram,
Suasana di ruangan langsung sunyi setelah ucapan Arya dilontarkan. Namun, Arya tidak sadar dan tetap melanjutkan, "Pantas saja tadi dia terus menatap seorang anak kecil.""Dokter Arya." Norman buru-buru memberi peringatan.Arya baru sadar dirinya kebanyakan bicara. Dia menoleh dengan hati-hati ke arah tempat tidur.Jason menutup mata pelan, mengangkat sebatang rokok, dan menyalakannya tanpa berkata apa-apa. Dia melemparkan korek api ke atas meja.Klik. Suara kecil itu seakan-akan menjadi pelampiasan kemarahannya.Jason seolah-olah tidak mendengar ucapan Arya. Suaranya dingin saat bertanya, "Ada kabar dari Fiona?"Norman menggeleng dengan pasrah. "Belum ada. Sesuai instruksimu, aku sudah menekan proyek ayahnya agar dia muncul, tapi tetap nggak ada tanda-tanda. Padahal, dia bukan tipe yang bisa berdiam diri seperti ini."Rokok di jari Jason menyala dan padam bergantian. Suaranya semakin dingin. "Berarti orang yang membawanya pergi sudah sepenuhnya mengendalikan dia."Mendengar itu, Arya
Tatapan Jason menjadi dingin. Dia mengulurkan tangan, mencabut seluruh kabel dari tubuhnya, lalu bangkit dan mengenakan baju. Setelah itu, dia melangkah keluar tanpa ragu.....Sementara itu, Janice membawa obat kembali ke mobil dan pulang ke vila bersama Ivy. Kebetulan Zachary belum pulang, jadi Ivy langsung menarik tangan Janice dengan cemas. "Gimana hasilnya?"Karena masalah ini sangat serius, Janice tidak bisa menyembunyikannya dari Ivy. Dia menjawab dengan jujur, "Memang ada sesuatu yang ditambahkan ke dalamnya, tapi resep dasarnya nggak salah. Kemungkinan besar sama seperti dugaanku, murid dokter itu yang melakukan kecurangan.""Siapa yang ingin mencelakaiku?" Ivy panik, mondar-mandir di dalam ruangan.Janice berusaha menenangkannya, "Ibu, obatnya tetap direbus seperti biasa, tapi nanti diam-diam dibuang. Dua hari lagi mulai pura-pura sakit.""Kamu mau mengikuti rencana musuh?" Kini nyawa sudah dipertaruhkan, Ivy pun berpikir dengan lebih jernih.Janice mengangguk. "Kita nggak ta
Dalam perjalanan pulang bersama Ivy, Janice berpikir banyak. Kalau dia mau mempertahankan anak ini, dia harus pergi.Namun, dia harus mencari alasan yang masuk akal agar bisa pergi secara terang-terangan. Kalau tidak, pasti menimbulkan kecurigaan.Masalahnya, alasan itu belum terpikirkan. Apalagi, yang lebih penting saat ini adalah masalah Ivy.Janice menenangkan, "Bu, tenang saja. Aku bakal hati-hati. Tapi, tolong rahasiakan hal ini. Jangan kasih tahu siapa pun, termasuk Paman Zachary.""Hm." Ivy mulai tenang, lalu mengelus pipi Janice yang masih merah akibat tamparan tadi. "Masih sakit nggak?""Nggak." Janice menggenggam tangan Ivy dan kembali ke topik utama. "Bu, sekarang kita bahkan nggak tahu siapa lawan kita. Kita harus sangat hati-hati.""Ya." Ekspresi Ivy menjadi sangat serius.Sejak memutuskan untuk mempertahankan anak itu, Janice malah merasa jauh lebih tenang.Sebelum berpisah dengan ibunya, dia sempat teringat sesuatu. "Bu, jangan lupa kirimkan proposal proyek Bibi Fenny ke
Jason menoleh dan menatap Janice. "Aku ingat, aku selalu ingat. Demi kamu, aku ingin ...."Sebelum Jason sempat berkata ingin bertahan hidup demi Janice, Janice sudah menunjuk ke arah pintu dan berteriak, "Tutup mulutmu! Keluar! Keluar!"Janice tahu apa yang ingin dikatakan Jason, tetapi sekarang semuanya sudah tidak berarti lagi.Jason terdiam, lalu menopang tubuhnya pada lemari dan perlahan-lahan berdiri. Dia berdiri dengan jarak dua langkah dan menatap Janice. Namun, pandangannya tiba-tiba menjadi gelap, lalu seluruh tubuhnya jatuh ke arah Janice.Setelah tertegun sejenak, Janice secara refleks mengulurkan tangan dan langsung memeluk tubuh Jason. Saat itu, dia baru menyadari betapa panasnya tubuh Jason. Namun, dia sama sekali tidak mampu menahan tubuh Jason yang tinggi dan berat, sehingga dia hanya bisa membaringkan Jason di sofa.Setelah lampu dinyalakan, terlihat Jason yang berbaring di sofa dengan tak berdaya dan kakinya pun hanya bisa tergantung di sofa. Wajahnya terlihat sangat
Janice berteriak dengan marah di dalam hatinya, tetapi dia tidak cukup kuat. Pada akhirnya, dia langsung mendekat dan menggigit tangan Jason. Namun, Jason tiba-tiba menahan bagian belakang lehernya dan langsung menariknya mendekat.Jason menyipitkan matanya, tatapannya terlihat bersemangat, dan gairahnya terus bergejolak, tetapi pada akhirnya dia tetap menutup matanya. Dia khawatir Janice akan makin membencinya, sehingga dia tidak melakukan apa-apa dan berusaha menahan sakit di tubuh dan hatinya.Begitu Jason tiba-tiba melepaskannya, Janice akhirnya menghela napas lega. Setelah menempelkan plester penurun demam, dia menyuapkan obat pada Jason. Melihat Jason perlahan-lahan menjadi tenang, dia baru berdiri dan hendak kembali ke kamarnya. Namun, baru saja bergerak sedikit, Jason langsung duduk untuk memeluknya dari belakang dan menggenggam perutnya dengan erat.Saat Jason menyandarkan kepalanya di bahunya dan mengembuskan napas panas di telinganya, Janice terkejut sampai menjatuhkan ponse
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe