Saat mendengar suara itu, Janice melirik melewati Jason dan melihat Rachel yang melambaikan tangan dari ujung sana."Janice," panggil Rachel sambil tersenyum.Janice hanya menganggukkan kepala. Saat itu, dia menyadari Jason ternyata tidak memesan kopi, melainkan memilih segelas susu panas. Dia pun berpikir Jason sungguh perhatian karena orang seperti Rachel yang harus rutin minum obat tidak boleh meminum kopi.Saat terdengar suara pesanan kopinya sudah siap, Janice pun segera mengulurkan tangan dan mengambil kopinya."Aku nggak mengganggu kalian lagi," kata Janice, lalu berbalik dan hendak pergi."Janice, jangan terlalu banyak minum ...," kata Jason yang masih memegang segelas susu."Pak Jason, cepatlah. Hujannya makin deras," teriak Rachel untuk mengingatkan.Suara Rachel yang lebih keras langsung menutupi perkataan Jason, sehingga Janice yang berbalik pun hanya bisa menatap Jason dengan bingung.Saat Janice masih menunggu kelanjutan ucapan Jason, Landon meneleponnya. "Janice, aku sud
Janice yang tersadar kembali pun menganggukkan kepala. "Ya, ayo pergi."Saat Janice mengulurkan tangan untuk membuka pintu mobil, Landon menariknya kembali. "Janice, nggak apa-apa. Kamu nggak perlu menekan perasaanmu, aku tahu kamu butuh waktu.""Nggak, kamu benar-benar salah paham. Aku hanya nggak ingin ikut campur dengan urusan Keluarga Karim lagi," kata Janice dengan serius.Setelah merespons, Landon menahan pintu agar Janice masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Janice harus bersiap untuk wawancara malam ini setelah sampai ke rumah, sehingga Janice tidak menahan Landon untuk tetap tinggal.Namun, Landon tidak langsung pergi dan berdiri di depan Janice, lalu perlahan-lahan menundukkan kepala. Dia tahu apa yang ingin dilakukan Landon pun merasa gugup dan secara refleks mengangkat tangan untuk menghalangi. Namun, dia teringat sekarang Jason adalah pacarnya, sehingga dia kembali menurunkan tangannya.Landon berhenti sejenak, lalu mengecup kening Janice. "Semangat."Janice tersenyum dan
Mendengar siapa orang yang datang, Rachel tersenyum pada pelayan. "Kita sudah kenalan lama, nggak perlu menunggu di aula utama. Tolong bawa mereka ke ruang tamu samping, sekalian siapkan teh dan camilan. Kami mau mengobrol."Meskipun ruang tamu samping megah dan luas seperti aula utama, tempat itu lebih tersembunyi.Pelayan itu pun menganggukkan kepala.Rachel pergi ke kamar mandi sebentar baru pergi ke ruang tamu samping.Begitu Rachel masuk, Fiona langsung berdiri dengan kesal. "Rachel, kenapa baru datang ke sini sekarang? Kita sudah duduk di aula utama, kamu malah menyuruh kita ke ruang tamu samping ini."Rachel tidak menghiraukan Fiona dan langsung duduk di kursi utama, lalu menyesap teh bunga yang diletakkan di sampingnya. Setelah meletakkan cangkirnya, dia baru menatap Fiona. "Fiona, kapan kamu baru bisa mengubah sifatmu yang gegabah ini?""Apa ... maksudmu ini?" tanya Fiona sambil menatap Rachel dengan bingung.Meskipun Rachel tidak menjelaskan maksudnya, Elaine yang duduk di sa
Fiona yang merasa makin marah pun langsung berkata, "Bukankah kamu juga memaksakan diri? Aku yang orang luar pun bisa melihat tatapan Pak Jason pada Janice itu berbeda, aku nggak percaya kamu nggak menyadarinya. Kamu bisa menikah dengan Pak Jason, kenapa aku malah dianggap memaksakan diri?""Aku dan Keluarga Luthan baru sepadan. Keluarga kita sudah mengenal selama bertahun-tahun, sudah saling memahami. Kenapa aku kalah dari Janice?"Mendengar perkataan itu, Rachel langsung terkejut dan wajahnya menjadi pucat.Melihat situasi itu, Elaine tidak menghentikan Fiona dan menikmati tehnya dengan tenang. Gadis ini sudah berani sok berkuasa di depannya, dia merasa sia-sia sudah mengurusnya selama bertahun-tahun. Dia membiarkan Fiona memaki agar Rachel sadar jika sekarang tidak berjuang untuk merebut, keberuntungan tidak akan tiba-tiba datang.Elaine berpikir untung saja Janice masih memiliki sedikit moral. Jika Janice benar-benar menganggukkan kepala, nasib wanita simpanan ini juga akan lebih b
Setelah menyadari Jason yang membantunya untuk menghubungi sekolah impiannya, keesokan harinya Janice langsung pergi mencari Landon dan menceritakan semuanya. Saat ini, mereka sedang berpacaran, sehingga dia tidak ingin Landon mengetahui hal ini dari orang lain. Terlebih lagi, dia tidak menipu Landon yang sudah sangat baik padanya.Setelah mendengar semuanya, Landon menyarankan agar Janice berbicara langsung dengan Jason. Sementara itu, soal sekolah ini menyangkut masa depan Janice, sehingga Janice tentu saja harus memilih yang terbaik.Namun, Janice tidak ingin bertemu dengan Jason, sehingga dia berpikir untuk meminta bantuan Norman menyampaikan pesannya.Begitu mendengar nama Norman, Zion langsung menawarkan diri untuk membantu. Namun, pesan sudah terkirim lebih dari sepuluh menit pun Norman masih tidak membalas."Pak Zion, apa kamu pernah menyinggung Pak Norman? Sebagai asisten, dia pasti selalu membawa ponselnya. Sudah sepuluh menit pun masih belum membalas, kemungkinan besar dia s
Melihat situasi itu, Arya memegang kepala karena kesal melihat Norman ini benar-benar mirip dengan Jason. Apakah mereka akan mati jika berbicara lebih banyak? Dia segera menjelaskan, "Dia hanya berharap kamu bisa melakukan apa yang kamu suka, bukan berniat ikut campur urusanmu."Janice tersenyum. "Pertama, aku ingin berterima kasih padanya. Kedua, aku berharap kalian bisa menyampaikan pesanku padanya juga, jangan mengirim orang untuk mengawasiku lagi."Dia tidak pernah memberi tahu siapa pun soal rencana studinya ini, sehingga Jason bisa mengetahuinya pasti karena telah mengirim orang untuk mengawasinya.Arya berkata dengan cemas, "Itu karena ...."Namun, Norman langsung menekan tangan Arya dan menyela, "Nona Janice, aku akan menyampaikan pesanmu, tapi kamu sengaja mencariku bukan hanya karena ini, 'kan?"Janice langsung meneguk teh karena merasa tenggorokannya kering, lalu berkata, "Pak Norman, kamu adalah orang yang paling memahami masa lalu kami. Kamu sendiri juga melihat bagaimana
Di saat genting, tubuh Janice tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan seseorang, lalu berguling ke tepi jalan. Teriakan panik dari para pejalan kaki bergema di sekelilingnya. Namun, yang terdengar di telinganya hanyalah suara napasnya sendiri dan sebuah erangan tertahan yang dipenuhi rasa sakit.Secara refleks, dia mencengkeram erat pakaian pria itu.Pria tersebut tampaknya menyadari ketakutannya, lalu mempererat pelukannya sedikit. "Jangan takut, ayo bangun dulu."Suara itu menyadarkan Janice. Dia mendongak dan menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. Orang itu adalah Jason. Entah hanya perasaannya atau bukan, bibir pria itu tampak sedikit pucat."Kamu ...." Kamu baik-baik saja?Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, beberapa orang yang peduli segera datang untuk membantu mereka. "Kalian nggak apa-apa?"Janice menggeleng, tetapi kata-kata yang ingin dia ucapkan tetap tertahan di tenggorokannya.Saat menoleh lagi ke arah Jason, pria itu masih tetap tenang seperti biasa. Den
Mereka berdua ternyata memang sekongkol.Jika dia benar-benar tertabrak hingga mati, kasusnya pasti hanya akan dianggap sebagai kecelakaan lalu lintas. Bahkan, karena dia yang dianggap menerobos jalur kendaraan bermotor, si pengemudi bisa mendapat hukuman yang lebih ringan.Itu akan menjadi kematian yang benar-benar sia-sia.Sambil merenungkan hal itu, Janice mendengar suara dua pria yang terjatuh ke tanah, mengerang dan memohon ampun dari dalam gang.Tampaknya semuanya sudah berakhir. Tanpa berpikir panjang, Janice segera berlari masuk ke dalam gang. Dia harus tahu siapa yang ingin membunuhnya.Namun, baru saja dia berdiri tegak, Arya dan Norman tiba bersama beberapa orang.Jason tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dengan tatapan tajam, dia menatap dua pria yang tersungkur di tanah dan berkata, "Urus mereka."Norman langsung memberi perintah agar mulut kedua pria itu ditutup dan mereka dibawa pergi. Melihat itu, Janice tidak bodoh. Dia langsung menyadari niat Jason."Kenapa kali
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe