Melihat situasi itu, Arya memegang kepala karena kesal melihat Norman ini benar-benar mirip dengan Jason. Apakah mereka akan mati jika berbicara lebih banyak? Dia segera menjelaskan, "Dia hanya berharap kamu bisa melakukan apa yang kamu suka, bukan berniat ikut campur urusanmu."Janice tersenyum. "Pertama, aku ingin berterima kasih padanya. Kedua, aku berharap kalian bisa menyampaikan pesanku padanya juga, jangan mengirim orang untuk mengawasiku lagi."Dia tidak pernah memberi tahu siapa pun soal rencana studinya ini, sehingga Jason bisa mengetahuinya pasti karena telah mengirim orang untuk mengawasinya.Arya berkata dengan cemas, "Itu karena ...."Namun, Norman langsung menekan tangan Arya dan menyela, "Nona Janice, aku akan menyampaikan pesanmu, tapi kamu sengaja mencariku bukan hanya karena ini, 'kan?"Janice langsung meneguk teh karena merasa tenggorokannya kering, lalu berkata, "Pak Norman, kamu adalah orang yang paling memahami masa lalu kami. Kamu sendiri juga melihat bagaimana
Di saat genting, tubuh Janice tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan seseorang, lalu berguling ke tepi jalan. Teriakan panik dari para pejalan kaki bergema di sekelilingnya. Namun, yang terdengar di telinganya hanyalah suara napasnya sendiri dan sebuah erangan tertahan yang dipenuhi rasa sakit.Secara refleks, dia mencengkeram erat pakaian pria itu.Pria tersebut tampaknya menyadari ketakutannya, lalu mempererat pelukannya sedikit. "Jangan takut, ayo bangun dulu."Suara itu menyadarkan Janice. Dia mendongak dan menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. Orang itu adalah Jason. Entah hanya perasaannya atau bukan, bibir pria itu tampak sedikit pucat."Kamu ...." Kamu baik-baik saja?Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, beberapa orang yang peduli segera datang untuk membantu mereka. "Kalian nggak apa-apa?"Janice menggeleng, tetapi kata-kata yang ingin dia ucapkan tetap tertahan di tenggorokannya.Saat menoleh lagi ke arah Jason, pria itu masih tetap tenang seperti biasa. Den
Mereka berdua ternyata memang sekongkol.Jika dia benar-benar tertabrak hingga mati, kasusnya pasti hanya akan dianggap sebagai kecelakaan lalu lintas. Bahkan, karena dia yang dianggap menerobos jalur kendaraan bermotor, si pengemudi bisa mendapat hukuman yang lebih ringan.Itu akan menjadi kematian yang benar-benar sia-sia.Sambil merenungkan hal itu, Janice mendengar suara dua pria yang terjatuh ke tanah, mengerang dan memohon ampun dari dalam gang.Tampaknya semuanya sudah berakhir. Tanpa berpikir panjang, Janice segera berlari masuk ke dalam gang. Dia harus tahu siapa yang ingin membunuhnya.Namun, baru saja dia berdiri tegak, Arya dan Norman tiba bersama beberapa orang.Jason tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dengan tatapan tajam, dia menatap dua pria yang tersungkur di tanah dan berkata, "Urus mereka."Norman langsung memberi perintah agar mulut kedua pria itu ditutup dan mereka dibawa pergi. Melihat itu, Janice tidak bodoh. Dia langsung menyadari niat Jason."Kenapa kali
Dalam keadaan linglung, tiba-tiba ada selembar tisu di depan Janice. Dia baru saja ingin menolak, tetapi setetes air mata jatuh ke punggung tangannya."Terima kasih," kata Janice dengan suara tertahan."Dia baik-baik saja, ayo kita keluar dulu," ujar Arya untuk menenangkan.Janice mengiakan, lalu berbalik. Sambil menghapus air mata dengan asal-asalan, dia berjalan cepat untuk keluar dari kamar tidur.Norman juga keluar bersama Arya. Wajah Norman tampak agak masam, tetapi profesionalismenya masih terjaga.Dia berjalan ke arah Janice, lalu berucap dengan nada penuh penyesalan, "Bu Janice, maaf. Aku seharusnya nggak bertindak gegabah."Janice menggeleng, lalu balik bertanya, "Orang seperti itu selalu ada di sekitarku?""Ya," jawab Norman. "Masuk ke dalam permainan itu mudah, tapi keluar sulit. Di dunia ini, hanya orang mati yang nggak menimbulkan ancaman."Mendengar itu, wajah Janice seketika pucat. Dia pikir selama dia menjauh dari Jason, segalanya akan kembali tenang. Ternyata nyawanya
"Tapi ...." Janice menyela, "Intinya, kalau kejadian malam itu nggak pernah terjadi, semuanya pasti akan lebih baik."Selesai bicara, dia meletakkan cangkir teh, lalu berdiri dan mengambil tasnya."Sudah larut malam. Nggak baik kalau aku tetap di sini, aku pulang dulu."Tanpa memberi kesempatan Arya untuk berbicara, Janice langsung berjalan ke pintu dan mengganti sepatu.Tak disangka, Arya mengejarnya."Janice, kalau dia nggak menginginkannya malam itu, kamu pikir kamu bisa menyentuhnya? Kalau memang semudah itu, Vania punya 3 tahun kesempatan, tapi dia bahkan nggak berhasil satu kali pun."Janice yang memakai sepatu mematung sesaat. Namun, dia segera kembali bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan menunduk melanjutkan memakai sepatunya."Semua itu sudah berlalu.""Janice!" Suara Arya sedikit meninggi. "Kalau begitu, karena dia sudah menolongmu, setidaknya untuk malam ini tunggu sampai dia sadar baru pergi.""Aku ...." Janice baru saja ingin menolak, tetapi Arya mengeluarkan kot
Di bawah langit malam dengan cahaya bintang yang redup, angin dingin berembus pelan. Di bawah lampu jalan vila, sebuah mobil melintas dengan cepat. Kepala pelayan Keluarga Hartono melirik sekilas, lalu segera berlari masuk."Nyonya Elaine, Pak Norman datang," lapor seorang asisten.Elaine yang sedang membaca dokumen lantas mengerutkan keningnya dan melirik sekilas ke arah kepala pelayan itu.Ekspresi asisten itu sedikit menegang, seolah-olah baru teringat pada sesuatu yang baru saja dia laporkan 10 menit yang lalu."Nyonya Elaine, dua orang itu nggak bisa dihubungi lagi.""Apa Janice dan Jason sudah bertemu?" tanya Elaine."Sudah, kami juga menerima foto sebagai bukti. Pak Jason sampai mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Janice." Asisten itu menyerahkan foto.Elaine menatap foto itu sejenak, lalu mengangguk puas. "Bunuh saja mereka yang hanya bekerja demi uang itu. Nggak bakal ada yang mencari mereka. Setidaknya, tujuanku sudah tercapai."Asisten itu tampak sedikit cemas. "Kalau B
"Sampah! Aku bahkan sempat berpikir untuk membantunya!" Elaine mengepalkan tangannya, tatapannya penuh dengan kebencian. "Zachary, aku pasti akan membuatmu menyesal!"Setelah berkata demikian, dia menyipitkan mata menatap asistennya. Asisten itu segera mendekat dan menunduk untuk mendengarkan perintahnya.....Keesokan paginya.Sinar matahari menembus tirai tipis, menyinari meja teh dekat jendela. Cahaya yang dipantulkan tampak berkilauan, menciptakan suasana yang indah.Sebuah buku terbalik diletakkan di atas meja, menambahkan suasana tenang di ruangan.Janice mengedipkan matanya dan terbangun. Saat itu, dia baru menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah Jason.Dia langsung terduduk, menyadari bahwa entah sejak kapan dirinya tidur di ranjang. Namun, Jason tidak ada di sana.Janice segera bangun. Setelah memastikan pakaiannya hanya sedikit kusut tanpa ada yang aneh, dia melihat ke arah tempat tidur. Selimutnya masih rapi. Sepertinya Jason membaringkannya di tempat tidur setelah di
Ke rumah sakit? Janice tersadar dari keterkejutannya. Dia buru-buru menarik tangan Jason dan menelan ludah dengan susah payah. "Nggak perlu ke rumah sakit. Aku cuma butuh minum air."Pergi ke rumah sakit terlalu memalukan.Jason tidak berkata apa-apa. Dia langsung menarik Janice ke minibar di samping, lalu menuangkan segelas air hangat dan menyodorkannya ke bibir Janice.Janice tertegun sejenak. "Aku bisa sendiri."Saat mengangkat tangannya, dia baru sadar bahwa Jason masih menggenggam tangannya. Dia pun mencoba menggerakkan tangannya, tetapi genggaman Jason justru semakin erat.Pria itu perlahan mengangkat kelopak matanya, menatapnya dalam-dalam. Tatapannya panas, menusuk, bahkan tampak obsesif.Namun, setelah gelombang emosi itu berlalu, Jason hanya menatap Janice lekat-lekat, sebelum akhirnya perlahan melepaskan tangannya. Bahkan, jari-jarinya tampak sedikit kaku karena terlalu menahan diri.Janice merasakan dadanya menegang sesaat. Dia memaksa dirinya untuk tetap tenang saat mengam
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe