"Kamu lebih cocok daripada aku."Rachel tersenyum sambil menyentuh kalung itu. "Benarkah? Terima kasih, Janice.""Nggak usah berterima kasih padaku." Ekspresi Janice tampak tidak wajar.Begitu ucapan itu dilontarkan, terdengar sebuah suara dingin. "Kamu ngapain?"Jason datang. Di belakangnya, Arya yang datang berkunjung ikut masuk.Mendengar suara itu, Janice berbalik dan bertemu dengan sepasang mata hitam dan suram. Mata Jason menyapu kalung mutiara di leher Rachel, ekspresinya langsung menjadi masam.Rachel mengira Jason sedang berbicara padanya. Dia segera melangkah maju dan berkata, "Janice saja tahu memberiku hadiah tahun baru. Lalu, hadiah darimu mana?""Aku sudah membawanya." Suara Jason datar. Tatapannya memberi isyarat kepada Norman.Norman lantas menyerahkan sebuah kotak panjang. Senyuman di bibir Rachel semakin melebar. Dia bahkan melemparkan pandangan kepada Janice.Bukan tatapan menyombongkan diri, melainkan tatapan berbagi kebahagiaan setelah menerima hadiah dari seseoran
Janice kembali ke halaman tempat tinggal, lalu tertidur sejenak di sofa dengan pikiran kacau.Menjelang makan siang, Ivy menelepon memintanya datang untuk makan. Setelah menutup telepon, Janice bangkit dan merapikan pakaiannya.Dia mengoleskan lipstik merah yang belum pernah digunakan sebelumnya, menambahkan sedikit warna di wajahnya yang pucat.Saat keluar, dia melihat Zachary berjalan cepat menuju taman. Janice baru saja ingin memanggilnya, tetapi kemudian dia melihat seseorang mengikutinya dari belakang. Itu Elaine.Dari percakapan sebelumnya, Janice sudah merasa bahwa mereka berdua saling mengenal. Dengan langkah ringan, dia mendekati taman dan melihat Elaine meraih lengan Zachary.Elaine mencibir. "Jadi, dulu kamu putus denganku cuma demi wanita seperti ini?"Zachary mengernyit, menatapnya dengan ekspresi tetap tenang dan berwibawa. "Elaine, kamu salah paham. Aku putus denganmu lebih dulu, baru kemudian mengenal Ivy."Mendengar itu, Janice menutup mulutnya dengan terkejut. Ternyat
Zachary menarik napas dalam-dalam. Namun, semakin dipikirkan, dia merasa ada yang tidak beres. "Janice, kenapa tiba-tiba memberitahuku hal ini?""Nanti kamu akan tahu. Ayo, kita makan dulu." Janice tersenyum, merasa lebih lega karena satu beban di hatinya telah terlepas. Apa pun yang terjadi nanti, Zachary pasti akan melindungi Ivy dengan segenap kemampuannya.....Di ruang makan, begitu Janice masuk, suasana yang tadinya meriah seketika menjadi hening. Semua orang mengalihkan pandangan dari ponsel mereka, lalu menatap dengan tatapan penuh kebencian.Tatapan mereka mencerminkan hal yang sama seperti yang ingin Anwar sampaikan."Lihatlah, aku sudah bilang, dia memang perempuan seperti itu."Sebelum Janice maju, Ivy bergegas mendekat sambil menggenggam ponselnya erat-erat. "Janice, foto yang beredar di internet itu palsu, 'kan? Mana mungkin kamu sampai jadi wanita simpanan?"Janice menunduk dan melihat layar ponsel. Tampak judul berita yang mencolok.[ Putri Angkat Keluarga Karim Menjadi
Janice terhenyak, seolah-olah hatinya dicengkeram erat, lalu dilemparkan ke tanah yang dingin dan membeku."Minta maaf kepada siapa? Untuk apa?" Janice balik bertanya dengan galak.Jason diam, wajahnya sedingin es. Genggamannya di pergelangan tangan Janice semakin erat, seolah-olah ingin mematahkannya.Dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, Jason mengucapkan setiap kata dengan jelas, "Janice, kamu satu-satunya orang yang berani menipuku dua kali.""Aku hanya belajar darimu. Apa hakmu berpikir aku akan menjadi wanita simpanan bagi pria yang menipuku dan mengancamku?""Jadi, semua ini hanya kebohongan?" Tatapan Jason semakin suram, menatapnya lekat-lekat.Ya. Janice membuka mulut, tetapi kata itu tidak bisa keluar. Dia menunduk, melihat tangan Jason yang masih mencengkeramnya, lalu berbisik, "Paman, Rachel sedang melihatmu."Jason menoleh ke arah Rachel, lalu segera melepaskan Janice dan mundur selangkah.Lihat? Benar atau salah sama sekali tidak penting. Jason sudah m
Janice perlahan kehilangan kesadarannya. Sosok seseorang dalam pikirannya semakin kabur, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya.....Di rumah sakit, saat Janice kembali sadar, kepalanya terasa sangat sakit. "Sakit sekali."Dia mengangkat tangan, ingin memijat pelipisnya, tetapi sepasang tangan yang dibalut perban tiba-tiba menggenggam tangannya.Suara serak seorang pria terdengar di samping tempat tidur, penuh dengan emosi yang tertahan. "Sekarang tahu rasanya sakit? Jangan bergerak sembarangan!"Janice termangu. Perlahan-lahan, dia menoleh dan menatap pria itu dengan keterkejutan yang luar biasa. Kemudian, dia menjerit, "Ah! Siapa kamu? Kenapa kamu menyentuhku?""Kamu ... bilang apa?" Mata Jason yang gelap sedikit membesar. Urat di pelipisnya berdenyut saat dia berusaha mati-matian menekan emosinya.Janice segera menarik selimutnya dan meringkukkan tubuhnya. Teriakannya pun menarik perhatian orang-orang di luar.Sekelompok orang bergegas masuk dan yang memimpin di depan adalah Anwar. Tata
Di vila.Saat ini, rumah itu hanya tersisa kerangka kosong yang hangus terbakar.Setelah pemadam kebakaran memadamkan api, taman berubah menjadi genangan air. Lumpur bercampur abu mengalir di tanah, semuanya hancur lebur dalam sekejap.Dengan hati-hati, Norman menjelaskan, "Bu Janice memasang alat penunda menggunakan lilin di dapur. Saat orang-orang menyadarinya, semuanya sudah terlambat."Jason berdiri di depan rumah tanpa ekspresi, membiarkan angin dingin menerpa rambutnya dan membekukan kilauan di matanya.Di tengah asap tebal, dia seperti melihat dua sosok berdiri di bawah balok kayu yang menghitam karena terbakar. Dia mengulurkan tangan untuk meraih mereka, tetapi suara Janice terdengar di telinganya."Jason, aku membencimu. Sejak hari pertama aku tinggal di sini, aku sudah berencana untuk membakarnya."Janice menepati ucapannya. Dia membakar semua yang ada di rumah hingga tak tersisa, termasuk mimpi indah beberapa hari terakhir.Tiba-tiba, Jason tersadar akan sesuatu. Dia berbali
"Pernahkah kamu berpikir kalau dia sebenarnya selalu menunggumu benar-benar memilihnya? Kalau nggak, kenapa dia nggak mengunggah foto kalian berdua ke internet dan menghancurkan segalanya? Dia melindungi harga dirimu dan Rachel. Jadi, lepaskan dia."Ruangan itu tenggelam dalam keheningan yang tiada akhir. Jason mundur, hampir menyatu dengan kegelapan di dalam kamar. Dia tidak bergerak, seakan-akan sedang menahan sesuatu.Di tempat yang tak terlihat oleh orang lain, sudut matanya memerah. Mata hitam pekatnya berkilau dalam kegelapan."Kenapa aku harus melepaskannya? Aku cuma menginginkan satu orang!""Kenapa nggak bisa?"Arya menyadari ada yang tidak beres dengan Jason. Ketika dia ingin mendekat untuk memeriksa, sebuah tinju hampir menghantamnya.Dengan sigap, dia menangkap tangan Jason dan menoleh menatap Norman. "Norman, tahan dia! Jangan sampai lukanya robek lagi!"Norman segera bergerak, menahan Jason dari belakang. Arya pun menyuntikkan obat penenang ke lengannya.Beberapa saat kem
Hujan dalam mimpi begitu deras. Di dunia nyata, Jason juga bermandikan keringat. Tiba-tiba, dia terduduk di tempat tidur.Rasa sakit di dadanya begitu hebat, seperti sulur tanaman merambat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tulangnya seperti dihancurkan, membuat napasnya tersengal. Setiap selnya merintih dalam kesakitan.Dia memejamkan mata, mengepalkan tangan hingga urat-uratnya menonjol, berusaha keras untuk mengendalikan emosinya.Saat membuka mata lagi, salju telah mulai turun di luar jendela. Jason bangkit, mengambil sebatang rokok dari kotak di ambang jendela. Setelah menyalakannya, dia menatap tumpukan salju yang semakin tebal dari balik asap putih.Baru menghisap dua kali, Norman mendengar suara dan segera berlari masuk. "Sudah bangun, Pak? Apa ada yang sakit?"Jason mengembuskan asap dari mulutnya, suaranya dingin. "Gimana keadaannya?"Norman tahu siapa yang dimaksud. "Selain luka lecet, kondisi fisiknya sudah stabil. Sekarang dia sudah dipindahkan ke kamar biasa.""Bagus." Ja
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan