Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Namun, setelah dua minggu berlalu, kerja keras dan dedikasi Janice akhirnya diakui oleh semua orang. Rekan-rekannya pun menyadari bahwa sikap dingin mereka tidak memengaruhinya sama sekali sehingga suasana kerja kembali seperti semula.Hingga akhirnya, Vania muncul kembali. Saat itu, hanya tersisa dua hari sebelum pernikahannya dengan Jason. Penampilannya sudah mencerminkan status sebagai Nyonya Ketiga Keluarga Karim, bahkan mobil dan sopir yang mengantar sudah diganti dengan fasilitas dari Keluarga Karim.Di depan umum, Vania sengaja menghalangi jalan Janice, lalu berkata dengan ramah, "Janice, aku ingin kamu menjadi pengiring pengantin di pernikahanku."Janice tertegun sesaat. Ketika tersadar kembali, dia segera menepis tangan Vania dan menjawab, "Maaf, aku sedang sibuk akhir-akhir ini, nggak ada waktu untuk menjadi pengiring pengantin.""Janice, aku sudah jelasin kepada para penggemar kalau itu cuma kecelakaan dan aku nggak menyalahkanmu. Aku juga nggak ingin orang lain berpikir ada
Butik gaun pengantin itu adalah satu-satunya toko fisik di dalam negeri dari salah satu merek gaun pengantin ternama dunia.Hanya untuk membuat janji melihat gaun saja, pelanggan harus memesan setahun sebelumnya. Namun, bagi seseorang dengan status seperti Jason, aturan itu jelas tidak berlaku.Sebelum mereka melangkah masuk ke toko yang megah, manajer sudah mengosongkan toko dan menunggu kedatangan mereka."Pak, Bu," sapa manajer dengan ramah.Vania melirik Jason dengan malu-malu, seolah-olah menunggu Jason mengatakan sesuatu untuk memastikan identitasnya.Namun, Jason tidak memberi respons. Dengan wajah dingin, dia berkata, "Malam ini aku ada rapat daring dengan klien luar negeri."Yang berarti mereka tidak boleh membuang waktu. Manajer tampak bingung dan spontan melirik Vania.Vania juga termangu, tetapi segera tersenyum. Dia menjulurkan tangan untuk merapikan kerah mantel Jason, dan berkata, "Jangan kecapekan. Sebenarnya aku bisa datang sendiri. Aku lebih memilih kamu istirahat di
Vania tidak mungkin sebaik itu.Seorang staf mendekati Janice dan berujar, "Silakan lewat sini.""Hm."Janice meletakkan cangkir tehnya dan langsung berdiri. Dia hanya ingin segera keluar dari ruangan yang membuatnya merasa tersiksa ini.....Janice melangkah masuk ke ruang ganti kecil yang terpisah. Dari balik tirai tebal, staf menunjuk rak pakaian dengan sikap dingin dan berkata, "Silakan dipilih."Janice membalik beberapa pakaian dengan santai. Hampir semua pakaian berwarna merah atau ungu, bahkan masih ada warna neon lainnya. Setiap gaun didesain dengan potongan punggung terbuka atau leher berbentuk V yang sangat dalam. Sepertinya semua gaun aneh dari merek ini sengaja dikumpulkan di sini.Dengan sabar, Janice bertanya, "Apa ada pilihan lain?"Staf itu memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak mendengar, lalu memutar matanya dengan malas.Janice tertawa dingin dalam hati. Dia tahu Vania tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Tanpa ragu, dia berucap, "Aku nggak akan pakai gaun di s
Janice menunduk dan mengambil kertas yang jatuh di lantai itu. Tiba-tiba, dia termangu di tempat.Arya yang melihatnya pun bingung. "Kenapa tiba-tiba bengong?"Janice membuka kedua kertas yang ada di tangannya dan berkata, "Lihat ini."Arya awalnya tidak peduli, hanya melirik sekilas. Namun, saat berikutnya dia terdiam. "Nomor siapa ini? Kenapa tulisannya mirip dengan tulisanku?"Angka 9, 6, dan 1 di kertas itu memiliki ekor, seperti tanda tangan khas milik seseorang. Tidak heran Janice merasa familier melihat kertas yang diberikan oleh Naura kepadanya. Ternyata, dia pernah melihatnya di rekam medis Arya.Tiba-tiba, Janice teringat pada ucapan Naura yang mengatakan pria yang diperkenalkan kepadanya adalah seorang dokter.Janice sontak mendongak dan menatap Arya. "Kamu dijodohin ya? Nama wanitanya Naura, 'kan?"Arya terkejut sejenak. "Kok kamu tahu? Tapi, aku belum sempat bertemu wanita itu. Aku ...."Mereka saling memandang dan langsung memahami sesuatu.Arya berkata dengan agak marah,
"Gimana kamu tahu gejala ibuku?" tanya Janice dengan curiga.Arya ragu-ragu sejenak, lalu bergegas berbalik. "Aku sudah buat janji untuk CT scan. Kita harus cepat."Janice segera mengambil alih kursi roda dari tangan sopir, lalu mendorong Ivy ke depan. Ivy menoleh sedikit dan berkata. "Jason pulang dan melihat aku kesakitan di aula leluhur. Dia mencari alasan agar aku bisa pergi duluan. Dokter Arya yang membantunya membuat janji. Kamu ini selalu marah-marah kalau dengar namanya.""Aku nggak marah kok," bantah Janice."Heh." Ivy meliriknya dengan ekspresi yang mengatakan Janice keras kepala.Sesampainya di luar ruang CT, Arya menulis sederet nomor pada sebuah kartu, lalu memberikannya kepada Janice."Aku nggak bisa ikut masuk. Ini nomor kalian. Kalian pasien berikutnya. Nanti langsung masuk saja dan tunjukkan kartu ini ke dokter.""Hm." Janice melirik kartu itu. Angkanya agak familier, tetapi dia tidak bisa langsung mengingatnya.Saat ini, pintu di depannya terbuka. Tanpa memeriksa lebi
Jason sepertinya benar-benar marah. Janice hampir kehabisan napas. Setelah mereka berpisah, Janice yang marah pun berlari ke kamar dan membanting pintu.Jason menerima telepon. Ada urusan pekerjaan. Ketika hendak pergi, dia mengetuk pintu kamar. "Jauhi dia."Janice melemparkan bantal ke pintu. Jason mengernyit dan terdiam sejenak. Wanita ini semakin mudah marah saja.Saat ini, Norman mengetuk pintu. Jason berbalik dan membuka pintu, lalu Norman menyerahkan sebuah barang."Apa ini?" Jason menatap Norman dengan curiga."Aku sudah lalai pagi tadi. Ini kubelikan untukmu, kamu bisa memberikannya kepada Bu Janice." Norman menyerahkan kotak kecil yang imut dengan antusias.Jason melirik sesaat dengan ekspresi jijik. "Nggak usah lagi."Kelopak mata Norman berkedut. "Aku sudah bertanya pada para staf wanita. Mereka bilang ini adalah kotak hadiah yang sedang tren belakangan ini."Mendengar itu, Jason mengambil kotak itu dan meletakkannya di meja kecil. Kemudian, mereka berdua baru pergi.Janice
"Dia nggak pernah makan cuka, biar aku saja," kata Janice buru-buru sambil mengulurkan tangan untuk mengambil piring kecil itu.Namun, sebelum tangannya menyentuh piring, Jason sudah lebih dulu mengambilnya. "Siapa bilang aku nggak makan cuka?"Janice tertegun menatap Jason yang mencelupkan pangsit ke dalam cuka dengan santai. 'Dia ini kenapa sih?' pikir Janice yang merasa tingkah Jason agak aneh.Namun, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Janice menunduk dan memakan dua pangsit.Setelah Naura selesai makan, Janice berpikir untuk segera menyuruhnya pulang. Saat dia bangkit untuk membantu membersihkan meja, Naura yang baru saja diam beberapa menit kembali melontarkan sesuatu."Jadi, benar-benar sudah putus?" tanya Naura sambil mengelap meja."Ya," jawab Janice sambil mengangguk, lalu secara refleks melirik ke arah Jason. Bagaimanapun, mereka memang tidak pernah benar-benar "bersama".Mata Naura langsung berbinar dan dia berkata dengan nada mengejutkan, "Kalau begitu, biar
Janice menatap pria di sebelahnya dengan mata terbelalak, lalu buru-buru berkata, "Dia pamanku. Kerabat jauh.""Kerabat jauh tetap keluarga, ya? Jadi, Pak Jason itu ... pamanmu?" Naura hampir menjatuhkan piring pangsit yang dipegangnya.Janice cepat-cepat mengambil piring dari tangannya. "Iya, dia kebetulan lewat. Sekarang dia akan pergi." Sambil berkata demikian, Janice menggunakan sikunya untuk mendorong Jason, memberi isyarat agar dia cepat pergi.Namun, Jason tetap berdiri dengan tenang. Matanya tertuju pada piring pangsit yang dipegang Janice.Naura yang cukup jeli, bertanya dengan hati-hati, "Pak Jason, Anda mau makan? Saya masih punya banyak."Janice langsung memotong, "Dia nggak mau! Dia sudah makan sama orang lain! Aku saja yang makan denganmu."Jason meliriknya dengan tatapan datar dan berkata, "Kamu nggak makan sama orang lain?"Seketika, udara di antara mereka terasa membeku.Naura menatap mereka berdua bergantian dan berpikir dalam hati, 'Ini paman dan keponakan, 'kan? Tap
"Apa?" tanya Janice."Aku dengar Kakek semakin keras padamu. Kamu masih mau pergi sama aku nggak?" Yoshua menatapnya dengan dalam.Janice meletakkan cangkir tehnya, menyadari bahwa percakapan ini mungkin tidak akan membuahkan apa-apa. Dia berkata dengan sopan, "Pak Yoshua, tehnya sudah habis. Mari kita pergi."Janice bangkit bersiap untuk pergi, tetapi pergelangan tangannya tiba-tiba ditangkap oleh Yoshua. Dia meringis kesakitan dan menatap Yoshua dengan tajam. Janice menangkap seberkas emosi aneh di mata Yoshua. Namun, emosi itu hanya muncul sesaat sebelum menghilang.Yoshua menghela napas, bangkit berdiri, dan melihat kerah Janice yang terlipat. Dia tersenyum samar."Aku hanya ingin mengingatkanmu, kerah bajumu terlipat.""Oh," jawab Janice singkat. Jaice melihat kerahnya yang telah diperbaiki oleh Yoshua, kemudian segera berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.Di sisi lain.Sera menopang dagunya dengan satu tangan, memandangi hidangan lezat di hadapannya. Namun, kehadiran pria di
Janice melihat sosok yang perlahan berjalan mendekatinya, lalu mundur dua langkah dengan waspada. Orang itu adalah Yoshua.Sudah lama tidak bertemu, dia terlihat lebih kurus daripada sebelumnya. Menurut Ivy, Yoshua telah dicopot dari jabatannya di perusahaan Keluarga Karim. Bahkan saham yang diwariskan oleh ayahnya juga telah diambil kembali oleh Anwar.Sekarang dia hanya bisa membawa Tracy kembali ke Grup Hariwan. Tidak, bahkan itu pun sudah bukan lagi miliknya, karena Grup Hariwan telah diakuisisi oleh Jason. Paling-paling, dia hanya dianggap sebagai salah satu pemegang saham kecil.Sebenarnya, Janice tidak mengerti kenapa Anwar bisa begitu tidak berperasaan terhadap Yoshua.Setelah kembali sadar dari lamunannya, Janice tetap memberi anggukan sopan. "Pak Yoshua."Yoshua tersenyum pahit. "Kamu masih marah?"Janice tidak menjawab. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Orang yang telah dia percayai selama dua kehidupan, ternyata hanya terus-menerus menipunya.Melihat Janice tetap diam, Yos
Jason sedang duduk di sofa dan membaca dokumen. Ketika melihat Janice keluar, dia mengangkat pandangannya sekilas. "Sudah bangun? Pakaian itu cocok sekali.""Ya." Janice mengangguk, tapi merasa ada yang aneh dengan pernyataan itu.Saat itu, Norman keluar dari dapur. "Pak Jason, Bu Janice, sarapannya sudah siap."Jason menutup dokumen yang dibacanya, berdiri dan menarik Janice untuk duduk di kursi makan."Nanti biarkan sopir mengantarmu ke studio."Janice melihat jam, merasa tidak ada waktu untuk menolak, jadi dia hanya menjawab, "Baik."Ketika hampir selesai makan, Janice melirik Jason dengan hati-hati, lalu bertanya dengan tulus, "Paman, kamu kemarin sudah minum obat. Gimana hari ini? Sudah merasa baikan?"Ekspresi Jason sedikit berubah, lalu dia menjawab singkat, "Sudah nggak apa-apa."Janice mengingatkannya, "Setelah sarapan, jangan lupa minum obat untuk pemulihan.""Hmm." Jason meletakkan peralatan makannya, menatap Janice yang duduk di seberangnya.Tatapan itu membuat Janice sedik
Sebuah penginapan kecil di luar kota.Vania menatap seprai yang sudah menguning, bahkan berlubang bekas rokok, dan rasa mual langsung menyerangnya. "Tempat busuk seperti ini, memangnya bisa disebut tempat tinggal?" tanyanya dengan nada jijik.Azka memeluknya. Dia tidak marah, malah tersenyum, "Vania, akhirnya kamu hanya milikku."Namun, Vania sama sekali tidak merasa senang. Dia mendorongnya dengan kuat. "Tutup mulutmu! Aku tanya, kenapa kamu membawaku ke tempat bobrok begini?""Di dalam kota, orang-orang Keluarga Karim sedang mencarimu. Bertahanlah sebentar. Begitu aku beli tiket pesawat, kita akan pergi ke luar negeri."Azka menyandarkan tubuhnya pada meja reyot yang penuh lubang dan lekukan, lalu menyalakan sebatang rokok dan menatap Vania dengan tenang. Meskipun Vania terlihat agak berantakan saat ini, dia yang mengenakan gaun pengantin masih terlihat cantik di matanya.Azka mengulurkan tangan untuk menyeka debu dari wajah Vania, lalu mencengkeram lehernya dan menariknya mendekat u