Begitu Janice berbalik, Jason sontak mendesaknya ke pojok. Jason memainkan handuk yang ada di tangannya. Rambutnya sedikit acak-acakan, membuat wajahnya terlihat semakin jahat.Janice mencoba menghindar, tetapi tubuhnya segera terperangkap dalam pelukan yang kuat. Sebelum dia bisa memberi penjelasan, ciuman sudah mendarat di bibirnya. Jason memberinya sentuhan yang sangat lembut, seolah-olah Janice adalah sesuatu yang sangat rapuh.Namun, pria selembut ini malah membuat Janice merasa tidak nyaman dan membuatnya semakin panik. Bahkan, dia lupa untuk mengangkat tangannya dan menolak kehadiran pria itu.Jason melepaskan bibirnya, lalu mengulangi dengan lirih, "Pacar?""Aku cuma bohong ....""Diam."Jason sepertinya tahu apa yang akan Janice katakan sehingga langsung memotong perkataannya. Ciuman yang semakin dalam, lambat, dan penuh gairah membuat Janice merasa pusing.Pikiran Janice menjadi kosong, seolah-olah waktu berhenti, tetapi hatinya kacau. Tiba-tiba, Janice mendorong Jason dan be
Vania mengangkat matanya yang berbinar-binar. Dia menatap Jason dengan tatapan penuh perhatian dan harapan.Jason tidak mengatakan apa-apa. Karena mengenai hal yang sama, dia tidak ingin menjawab dua kali. Dia lantas berbalik dan pergi.Vania hanya bisa menatap punggung Jason. Dia mengepalkan tangannya yang basah karena keringat dingin. Kemudian, dia mengejar dan meraih lengan Jason."Jason, apa Janice mengatakan sesuatu tentangku?"Jason menatap dengan dingin, lalu bertanya balik, "Apa yang seharusnya dia katakan padaku?"Vania merasa tatapan Jason sangat datar, seolah-olah melihat orang yang tidak penting. Tidak ada emosi yang terpancar dari tatapannya.Seberapa pun Vania berusaha, dia tidak pernah bisa memahami isi pikiran Jason. Ketika menyadari dirinya berbicara terlalu banyak, Vania langsung tersenyum."Nggak ada, aku cuma khawatir ada sedikit salah paham di studio dan dia membenciku. Biasanya para gadis 'kan suka begitu. Mereka sangat perhitungan.""Masa?"Jason tidak mengonfirm
Janice minum obat dan tidur lebih awal tadi malam. Sepanjang malam, dia bermimpi. Mimpinya kacau balau dan sangat tidak nyambung. Saat bangun pagi, dia pun merasa lemas.Janice mengusap kepalanya. Begitu melihat jam, dia langsung bangun dan mulai bersiap. Saat mengambil syal di depan pintu, dia terkejut karena merasakan kualitas kain syalnya berbeda.Janice membuka syalnya dan melihat ada sulaman benang emas di sudut yang membentuk inisial J yang berkilau. Dia tak kuasa termangu.Bukankah Jason bilang syal ini sangat penting dan tidak akan diberikan pada sembarangan orang? Apa maksudnya ini?Pemikiran pertama yang muncul di kepala Janice adalah, Jason pasti ingin memanfaatkannya lagi. Dengan marah, Janice melemparkan syal itu. Namun, dia tidak bisa menemukan syalnya sendiri di sekitar.Saat ini, ponselnya menerima notifikasi dari grup kerja bahwa dalam satu jam lagi akan ada rapat.Janice hanya bisa memaksakan diri mengenakan syal Jason untuk menutupi bekas di lehernya.Begitu keluar d
Tiba-tiba, Vania meraih syal Janice. Dia menarik Janice ke hadapannya. Ketika tarik-menarik, Vania melihat bekas gigitan pada leher Janice.Begitu melihatnya, tebersit kekejaman pada tatapan Vania. Tenaga yang dikerahkannya juga semakin besar. "Kenapa masih pakai syal ini? Kamu takut nggak ada yang tahu betapa murahannya kamu? Kasih aku syalnya!"Leher Janice terasa sakit untuk sesaat. Detik berikutnya, dia menekan pergelangan tangan Vania. Bagaimanapun, anak manja seperti Vania tidak mungkin menang dari Janice.Janice melirik Vania dengan dingin, lalu menyindir, "Kenapa? Masa Jason nggak memberi calon istrinya syal? Nggak apa-apa, nanti kamu minta lebih banyak syal waktu dia kasih mahar."Kemudian, Janice mendorong Vania. Vania memelototi Janice dengan galak. Kemudian, dia tersenyum dingin dan membenturkan kepalanya ke pot."Ah!" teriak Vania sambil memegang kepalanya yang berlumuran darah.Begitu mendengar suara itu, semua orang langsung menyerbu keluar dari ruang rapat. "Vania, kamu
Entah berapa lama kemudian, masuk panggilan dari Ivy."Ibu.""Janice, kenapa Pak Anwar suruh aku membawamu ke rumah sakit? Apa ada yang terjadi?" Suara Ivy terdengar cemas.Janice mendongak memandang langit-langit, memahami maksud Anwar. Dia hanya bisa membalas dengan tidak berdaya, "Nggak apa-apa, Ibu. Kamu tunggu aku saja di rumah sakit.""Oke."Setelah mengakhiri panggilan, Janice melihat Amanda yang menghampiri. "Kenapa masih di sini? Kalian nggak usah ikut rapat ya?"Karena khawatir terkena masalah, semua orang buru-buru memasuki ruang rapat. Janice datang ke hadapan Amanda dan berucap dengan nada menyesal, "Maaf, Bu. Aku ingin minta cuti untuk hari ini.""Pergilah, selesaikan urusanmu." Amanda sama sekali tidak menyalahkan Janice. Dia melirik leher Janice, lalu melepaskan syal sutranya dan berkata, "Tutup lehermu."Setelah mendengarnya, Janice menunduk dan baru menyadari syalnya ditarik oleh Vania hingga menjadi berantakan. Bekas gigitan itu mulai memudar sehingga terlihat sepert
Anwar berdiri dengan tangan di belakang punggung dan melirik Janice sekilas sebelum tatapannya tertuju pada Ivy."Begini caramu mendidik anak? Biaya sekolahnya semakin tahun semakin mahal, apa yang kurang diberikan Zachary sama dia? Ini balasannya?""Selama ini, aku berharap kamu mengerti sedikit tata krama dan menjadi pendamping yang baik, tapi bahkan mendidik seorang anak pun kamu nggak bisa. Apa lagi yang bisa kamu lakukan?"Kata-katanya tajam seperti pisau, membuat kepala Ivy semakin tertunduk. Bahkan lehernya juga merah padam. Tangannya yang kikuk mengepal erat.Melihat semua itu, hati Janice terasa perih. Amarah membakar sekujur tubuhnya, hingga napasnya pun terasa panas. Dia tahu dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi rasa bersalah itu tetap menekan hingga matanya terasa pedih.Dia sangat menyadari siapa sebenarnya yang ingin dimarahi oleh Anwar.Dulu, Janice benar-benar menganggap Anwar sebagai kakeknya sendiri. Saat ibunya merawat Anwar yang sakit, dia juga banyak m
Beberapa saat kemudian, di luar ruang perawatan.Anwar dan Jason berjalan keluar. Ayah dan anak itu masing-masing berjalan di satu sisi dengan memancarkan aura yang menakutkan. Anwar berdiri dengan tangan di belakang punggung dan bertanya dengan suara tenang, "Semalam sama Vania?""Ya," jawab Jason singkat.Anwar mengangguk. "Kamu juga sudah nggak muda lagi. Saatnya menetapkan hati, memang sudah seharusnya berkeluarga dan membangun masa depan. Kalau Vania bisa menyelesaikan masalah tambang, jangan terlalu keras sama Keluarga Tanaka.""Ya.""Baiklah, nggak usah antar lagi. Temani saja Vania, jangan sampai fokusmu terbagi." Anwar tidak banyak bicara. Namun, setiap katanya mengandung makna yang dalam dan dia tahu Jason memahaminya.Begitu pintu lift tertutup, Norman keluar dari pintu samping. "Tuan Jason, kepala pelayan memang sudah periksa rekaman CCTV di jalan kemarin.""Yoshua."Jason berjalan ke jendela dan menyalakan sebatang rokok. Alisnya yang setengah tertutup tampak kabur di bali
"Sekitar setengah jam lagi aku sampai di rumah," balas Janice.Dia yakin paket itu adalah ponselnya yang sudah selesai diperbaiki. Sebelumnya, dia sempat memberikan uang tambahan kepada pemilik toko servis agar ponselnya diperbaiki lebih cepat, karena dia tidak ingin ada penundaan.Kurir menjawab, "Baik, saya akan mengantarkan barangnya dalam waktu setengah jam."Begitu telepon ditutup, Janice segera memesan taksi untuk pulang.Sesampainya di apartemen, dia bertemu dengan kurir di lobi. Setelah menandatangani penerimaan, dia langsung naik ke atas dan membuka paket tersebut.Saat ponsel mulai menyala, rasa gugup tiba-tiba menyelimuti dirinya. Dia harus memastikan segalanya.Namun, ketika membuka galeri foto di ponselnya, dia tiba-tiba terdiam dan tubuhnya kaku di tempat. Pandangan matanya menjadi kosong seolah kehilangan fokus dan segalanya di sekitarnya terasa kabur.Brak!Ponsel itu terjatuh ke lantai dengan keras. Janice ikut terduduk lemas di lantai dan terdiam selama beberapa detik
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan