Amanda datang. Ketika melihat kekacauan di lantai beserta sketsa desain Vania dan Janice yang kotor, dia mengernyit.Sebelum ada yang berkomentar, Malia maju untuk menyalahkan Herisa dengan ekspresi kecewa. Dia mengadu, "Bu Amanda, Herisa menumpahkan kopi ke gambar Vania dan Janice!"Raut wajah Amanda menjadi muram. Dia menoleh dan melihat Herisa yang ketakutan.Herisa menjelaskan dengan wajah merah, "Bu Amanda, aku benar-benar nggak sengaja. Aku melakukan hal ini setiap hari dan nggak pernah terjadi kesalahan. Semua orang di sini bisa bersaksi untukku."Para rekan yang pernah mendapatkan bantuan dari Herisa segera membelanya."Bu Amanda, Herisa memang membantu menyiapkan kopi untuk semua orang setiap hari. Dia sangat hati-hati, nggak pernah melakukan kesalahan. Kejadian kali ini pasti nggak disengaja.""Herisa biasanya yang paling rajin bekerja dan nggak pernah mengeluh. Dia juga nggak punya niat buruk."Semua orang memberikan pembelaan untuk melindungi Herisa. Hal ini membuat Malia y
Vania memegang flashdisk dengan erat. Lagi pula, tujuannya sudah tercapai. Proses sudah tidak penting.Vania memperingatkan, "Lain kali, lakukan sesuatu dengan hati-hati. Aku membawamu masuk, tapi kamu malah nggak sebaik Herisa. Setidaknya ada rekan kerja yang membelanya. Dia juga mendapatkan keuntungan tanpa usaha, sedangkan kamu ....""Maaf," ucap Malia sambil menunduk dengan bersalah.Vania malas bicara omong kosong dengan Malia. Dia berjalan melewatinya dan masuk ke ruang kantor.Beberapa saat kemudian, Malia mengangkat kepalanya dengan perlahan. Tatapannya sangat tajam. Ketika berbalik, dia hampir bertabrakan dengan Herisa.Herisa tidak mengatakan apa-apa dan langsung pergi. Setelah berjalan beberapa langkah, dia tiba-tiba berbalik dan tersenyum pada Malia.Malia seketika tersentak. Ketika dia hendak memastikan sesuatu, Herisa sudah pergi. Apakah ini ilusi?Satu jam kemudian, di ruang rapat. Sera dan Amanda saling menyapa sebelum duduk."Silakan mulai. Aku masih ada urusan lain na
Setelah Vania memberi isyarat, para rekan di ruang rapat menatap Janice. Beberapa di antara mereka sedang menunggu menyaksikan pertunjukan bagus.Janice bertumpu pada meja dan berdiri dengan perlahan, lalu berucap, "Maaf, kakiku kesemutan. Vania, terima kasih atas perhatianmu. Aku juga menyiapkan versi digital sepertimu."Begitu ucapan ini dilontarkan, Vania seketika tertegun. Dia melihat Janice mengeluarkan flashdisk. Dibandingkan keterkejutan Vania, ekspresi Herisa tampak tenang dan tidak gelisah.Herisa memang mencuri konsep desain Janice. Jika tidak mendapatkan inspirasi mendadak dalam satu jam terakhir, Janice tidak akan menghasilkan desain yang bagus. Begitu desain muncul di layar, Herisa terbelalak dengan tidak percaya. Janice menjelaskan dengan percaya diri, "Temaku adalah ... air. Semua orang hanya tahu ketegasan Bu Sera. Tapi, hujan di vila membuatku melihat kelembutan Bu Sera."Janice bertutur, "Jadi, aku mendesain set kalung ini dengan konsep tetesan air hujan. Bentuk kese
"Baik, aku pasti nggak akan mengecewakan Bu Sera," sahut Vania.Vania berdiri dan mengangguk dengan pelan. Senyumannya seolah-olah mengejek Sera. Dia sudah mengatakan sejak awal bahwa Sera akan memilih desainnya.Sera pasti sangat kesal memakai perhiasan yang melambangkan kekasih mendiang suaminya di setiap acara besar. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Vania adalah tunangan Jason.Herisa tidak bisa menahan diri saat mendengar hasilnya. Dia memprotes, "Nggak mungkin! Bu Sera, kenapa kamu bisa memilih desainnya? Dia jelas-jelas ...."Sera menatap Herisa dengan dingin sebelum bertanya, "Kenapa? Kamu mau meragukan keputusanku?"Herisa tertegun. Dia segera menggeleng dan membalas, "Bukan begitu. Aku hanya mengira Bu Sera akan memilih desain Janice."Herisa benar-benar mencari masalah.Janice tersenyum sembari berkata, "Aku menghormati pilihan Bu Sera. Ke depannya, aku akan terus berusaha."Ekspresi Sera tampak lebih tenang. Dia menunjuk Janice seraya bertutur, "Aku pamit dulu karena masih
Beberapa hari kemudian, ketika Vania sibuk berurusan dengan Herisa, Janice fokus menyelesaikan desainnya secara diam-diam. Lantaran khawatir timbul masalah, dia memutuskan untuk mengantarnya sendiri ke perusahaan Sera.Sera mengelus perhiasan itu dengan puas. Dia mengangkat alisnya sembari menatap Janice dan bertanya, "Apa kamu nggak mau tahu kenapa aku memilih desainmu juga?"Janice sangat menyadari posisinya sendiri. Jadi, dia tidak banyak bertanya. Dia tersenyum seraya menimpali, "Yang penting Bu Sera suka."Sera bertopang dagu sambil tersenyum dan berkata, "Sepertinya ada yang akan rugi besar." "Hm? Apa maksudnya?" tanya Janice memandang Sera dengan bingung.Sera tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. Dia bertanya, "Kamu naik apa kemari?"Janice tertegun sejenak sebelum menjawab, "Naik taksi."Sera tersenyum menggoda sembari berujar, "Kalau begitu, aku minta orang untuk mengantarmu kembali."Janice membalas, "Nggak perlu, nggak ...."Sera mengabaikan penolakan Janice dan langsun
"Apa maksudmu?" Janice membelalakkan matanya."Menurutmu?" Tatapan Jason terlihat mendalam.Di ruang kantor, Sera membaca pesan dari Jason. Memang tidak ada yang gratis di dunia ini.Sera segera menelepon ruang pemantauan. "Matikan CCTV yang mengarah ke ruang kantorku.""Baik."Nyatanya, kedua orang yang berada di dalam lift tidak melakukan apa-apa. Lebih tepatnya, ponsel Jason tiba-tiba berdering saat dia ingin melakukan sesuatu.Janice melirik layar ponselnya. Itu adalah panggilan dari Vania. Dia menatap Jason yang begitu dekat dengannya, lalu memperingatkan, "Paman, calon istrimu."Jason tidak merespons ataupun melepaskan Janice, hanya menjawab panggilan. Di ujung telepon, terdengar suara lembut Vania."Jason, gaun yang kamu kasih indah sekali. Aku suka. Terima kasih. Hari ini, Bu Sera akan memakai rancanganku. Aku mau sampai lebih awal supaya bisa foto dengannya untuk promosi. Kapan kamu balik?""Sebentar lagi." Suara Jason terdengar datar, tetapi membuat orang yang mendengarnya me
Sesampainya di sana, Janice menyebutkan namanya. Staf menyambutnya dengan hormat. Setelah membawa Janice ke sofa, staf menyajikan teh dan camilan."Tunggu sebentar ya, Bu. Aku suruh orang bawakan gaunnya.""Oke."Janice menyesap tehnya. Ketika hendak merilekskan diri, berita tentang pesta malah muncul di layar lebar depan. Toko gaun ini seharusnya mensponsori selebritas.Janice tiba-tiba teringat pada ucapan Jason yang menyuruhnya menonton berita malam nanti. Atas dasar apa?Janice mengambil remot di meja teh dan hendak mematikannya. Namun, staf tiba-tiba kembali dan berdiri di depannya sehingga menghalangi layar lebar."Bu, ini gaunmu. Silakan diperiksa dulu.""Ya."Janice menghela napas, lalu meletakkan remot dan bangkit. Meskipun sudah pernah dipakai, Janice selalu takjub dengan gaun ini.Staf mengangkat ujung gaun dan tersenyum. "Gaun ini memang sangat cocok denganmu. Apalagi, gaun ini dibuat sesuai ukuran tubuhmu. Aku rasa nggak ada orang yang bisa memakai gaun ini selain kamu."T
"Ya." Jawaban Jason ini langsung membuat semua orang menatap Vania dengan iri. Sepertinya, perhiasan misterius itu adalah hadiah ulang tahun untuk Vania.Wajah Vania tersipu. Reporter mengarahkan mikrofon kepadanya. "Bu Vania, apa kamu punya keyakinan dengan perhiasan rancanganmu?"Jelas-jelas hanya pertanyaan sederhana, tetapi Vania tidak lupa memamerkan kemesraan. Vania mengejapkan matanya, lalu menyahut dengan lembut, "Jason mendukungku, aku tentu yakin. Perhiasanku dirancang berdasarkan bunga krisan. Kalian akan berkesempatan melihatnya nanti. Jangan lupa dipotret ya."Tiba-tiba, suasana menjadi makin heboh. Ternyata Sera sudah tiba. Vania pun mengangkat dagunya sedikit, bersiap-siap untuk menerima pujian.Sera tampak memakai gaun satin berwarna hijau tua dengan ekor panjang. Pinggang dan bokong seksinya membuatnya terlihat sangat menggoda. Namun, kalung yang dipakainya bukan hasil rancangan Vania, melainkan hasil rancangan Janice. Kalung itu membuat auranya terlihat lembut.Mengej
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan