Sepanjang jalan, Arini terus menerka-nerka apa yang sahabatnya itu lakukan di alamat itu. Terlebih lagi ini masih pagi. Saat mereka berkirim pesan, Indah tak menyinggung apa-apa pada Arini.Dua puluh menit perjalanan, Arini sampai juga di sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Arini turun di depan pintu gerbang rumah itu."Permisi, Pak! Bu Indahnya ada?" tanya Arini pada satpam yang berjaga."Ada. Dengan Bu Arini, kah?" tanya balik satpam itu. Arini menganggukkan kepalanya."Mari saya antar, Bu! Sudah ditunggu Bu Indah di dalam," kata satpam dengan nama Dani itu.Arini berjalan mengikuti langkah Dani. Matanya berkeliling melihat betapa besarnya halaman rumah itu dan juga dengan kebun yang luas. Rasa kagumnya bertambah ketika Arini memasuki pintu utama. Ruang yang banyak sekali koleksi guci mahal dan juga barang antik tersaji di depan mata.Langkah mereka t
"Mohon maaf sebelumnya, sepengetahuan saya, Mas Arman itu bukan orang yang suka sekali merayu perempuan karena kekayaannya. Mas Arman itu pekerja keras dan orang yang tak pernah lalai dari tanggung jawabnya. Walaupun —" ucapan Arini terhenti. Sesak yang dia rasakan ketika menceritakan kebaikan suaminya dulu.Balas dendam terbaik bukanlah membalasnya dengan kejahatan pula, itulah yang Arini lakukan sekarang. Apa yang menurutnya benar, akan dia sampaikan sejujur-jujurnya. Walaupun Arman sudah menyakitinya, tapi itu tak lantas menghapus semua kebaikan yang pernah Arman lakukan padanya.Semua yang ada di ruangan itu masih menunggu Arini melanjutkan ceritanya. Tak ada yang berani bersuara sebelum Arini selesai bercerita."Walaupun memang, keluarga Mas Arman itu bisa dibilang g*la harta. Ibu dan saudara-saudara Mas Arman pula yang telah mengenalkan dan menjodohkan mereka, seperti itu yang saya tahu. Sarah m
Arman yang sudah tak ingin melanjutkan pernikahannya dengan Arini, menjatuhkan talak ketika mereka bertemu di Yogyakarta. Niat hati ... pulang dari Yogyakarta, Arman akan mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan. Tapi sayang, surat-surat penting ikut terbawa Arini saat dia keluar dari rumah Arman."S*al!" Arman mengacak rambutnya kasar.Untuk menghilangkan penat yang dia rasa, Arman menghampiri Tuti yang berada di dapur."Tuti ... apa kita tak batalkan saja rencana kita?" tanya Arman. Tuti yang baru saja selesai mencuci piring langsung berbalik ke arah Arman."Kenapa, Mas? Sudah kepalang tanggung. Sebentar lagi, kan, Mas Arman bisa menguasai harta Sarah," kata Tuti."Aku maunya nikah sama kamu! Aku juga kemarin waktu di Yogyakarta ketemu dengan Arini. Di sana aku sudah jatuhkan talak padanya," ujar Arman. "Lagian, buat apa hambur-hamburin uang untuk pernikahanku dengan Sarah? Mending buat kita nikah dan liburan saja!" tambah Arman lagi. Tuti menghela nafas berat. "Susah juga ternyat
Sementara di ruangan lain, Ibu Wati dan Ibu Ida masih sibuk memilih baju dan dekorasi yang bagus untuk acara anak mereka. Hotel yang mereka pilih, hotel tempat Arman bekerja, karena hotel itu adalah hotel nomor satu di kota ini."Bu, uangnya sudah saya berikan sama Mbak Salma. Nanti kalau sudah deal yang mana, Ibu bilang saja sama Mbak Salma, ya! Biar Mbak Salma nanti yang ngurus semuanya," ujar Sarah saat sudah berada bersama Ibu Wati dan Ibu Ida."Baguslah kalau begitu! Kita tinggal terima jadinya saja aja," timpal Ibu Wati. Sarah mengangguk.Arman yang gak mau ikut ribet dan 'riwehnya' mempersiapkan pernikahannya, memilih untuk terima jadinya saja. Jadi ... dia tetap bisa bekerja tanpa ada gangguan yang tidak penting.Sepulangnya Sarah dari rumah Arman, Doni dan Salma langsung mencairkan cek yang Sarah berikan. Mereka menggunakan uang itu untuk foya-foya dan tentunya tanpa sepengetahuan Salma, Doni telah menyisihkan sebagian uang itu ke dalam rekening pribadinya. Uang itu nantinya
"Arini! Bisa bicara sebentar?" ucap Arman. Indah melirik ke arah Arini, dan Arini mengangguk."Baiklah! Aku tunggu di kantor, ya, Ar! Mar, Pak Arman!" Indah mengalihkan pandangannya pada Arman."Iya, Bu Indah!" balas Arman singkat.Sekarang ... tinggal mereka berdua di depan lobi. Arman mengajak Arini untuk duduk di kursi yang ada di sekitar sana."Ini!" Arman menyodorkan undangan kepada Arini. Arini menyipitkan matanya, mencoba menerka apa yang Arman berikan."Ini! Ambil, lah!" kata Arman lagi karena undangan itu tak kunjung diambil Arini. Arini pun terpaksa menerimanya. Dengan seksama, Arini membaca tulisan yang ada di sana. Matanya membulat sempurna. Tak percaya kalau Arman benar-benar akan menikahi Sarah. Yang lebih membuatnya terkejut, di saat mereka belum resmi bercerai tapi keluarga Arman membuat pesta mewah di hotel di mana Arini berada kini.Arini mencoba menetralkan rasa sesak di dadanya. Berkali-kali Arini menghela nafas panjang. Setelah di rasa tenang, Arini mulai bicara.
Keesokan paginya, Arini izin kepada Indah untuk masuk kantor agak siang. Hari itu, Arini berencana untuk ke pengadilan mendaftarkan gugatan cerainya pada Arman. Setelah semalaman berpikir, Arini tak mau lagi menunda-nundanya. Apalagi, sebentar lagi Arman akan menikah.Selain itu juga, Arini berpikir kalau orang tuanya dulu bukan orang tua kandungnya, apakah pernikahannya dengan Arman dulu sah? Apalagi kalau sampai orang tua kandungnya terutama ayah kandungnya masih hidup.Mungkin hikmah dari semua masalah ini adalah membuat Arini terbebas dari dosa yang mungkin saja dia lakukan, karena faktor ketidaktahuannya."Memangnya kamu mau kemana, Ar?" tanya Indah saat Arini meneleponnya."Aku mau ke pengadilan, Ndah. Tak baik menunda-nundanya. Sebentar lagi Mas Arman juga akan menikah lagi," terang Arini."Bagus, Ar! Kalau niatanmu begitu, aku dukung sekali!" suara Indah terdengar menggeb
"Kenapa, Arini sayang? Kamu pikir, aku hanya main-main dengan ancamanku? Haha?!" seru Bude Jamilah di telinga Arini."Jangan mimpi kamu bisa menguasai harta kakakku, Arini! Aku yang lebih berhak daripada kamu! Sekarang ... serahkan sertifikat rumah itu padaku! Kalau tidak, aku akan melakukan hal yang lebih kejam lagi padamu!" ancam Bude Jamilah.Arini hanya diam tak menjawab. Dirinya meringis menahan sakit pada kepalanya. Adi, anak buah Bude Jamilah hanya menonton mereka dengan tatapan tak peduli.Ot*ak Arini berpikir keras memikirkan cara untuk lolos dari cengkraman Bude Jamilah. Hingga, sebuah ide muncul di kepalanya. Sekuat tenaga, Arini menginjak kaki Bude Jamilah yang memakai sepatu hak tinggi itu. Biarpun Arini hanya memakai sepatu karet, tapi tetap saja injakan Arini yang tiba-tiba membuat Bude Jamilah terkejut dan berteriak."Aawww!" pekik Bude Jamilah. Bersamaan dengan itu pula
Dengan tangan yang masih gemetar, Arini mencoba menghidupkan ponselnya. Banyak sekali pesan dan panggilan dari Indah. Indah memang sangat sensitif. Kalau ada sesuatu hal yang menimpa orang terdekatnya, dia akan selalu merasakan sesuatu, tapi dia tidak tahu apa itu.Arini segera menekan nomor Indah dan tersambung. Tak menunggu lama, Indah mengangkat telepon Arini."Halo, Arini! Ya Allah, Ar ... sudah berapa kali aku coba menghubungimu tapi tak ada jawaban! Kemana saja kamu? Kamu baik-baik saja, kan? Dari tadi perasaanku tidak enak dan kepikiran kamu," cerocos Indah pada Arini."Maaf, Ndah, tadi ponselku mati dan —" ucapan Arini terhenti saat ada orang yang menepuk pundaknya."Kenapa, Ar? Arini!" seru Indah yang tak mendengar sahabatnya itu bicara."Arini! Ar! Kamu masih di sana, kan, Ar?" seru Indah lagi. Be
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya