"Dasar istri tak guna! Nyenengin mertua satu saja tak becus!"Plak!Tamparan keras dari seorang lelaki mendarat dengan sempurna di pipi sang istri. Hingga membuat tubuh perempuan itu terhuyung lalu terhempas ke lantai. Gadis kecil yang sedang bermain boneka kesayangannya, seketika melempar mainan itu ke sembarang arah. Langkah kakinya berlari ke pojok kamar lalu duduk meringkuk ketakutan. Tubuhnya gemetar. Ia ingin menangis, tapi gadis kecil itu merasa takut, jika sang ayah akan menghajarnya habis-habisan. "Kamu kenapa, Mas? Datang-datang kok marah-marah?!" tanya sang istri tanpa rasa takut. Ya, kekerasan yang di lakukan oleh suaminya itu menjadi makanan sehari-hari untuknya.Lelaki yang saat ini sedang dikuasai amarah, berjalan pelan mendekati sang istri dengan tatapan penuh murka. Namun yang di tatap masih terlihat tenang. Perempuan itu tak tahu, apa yang membuat suaminya begitu murka. Tapi ia yakin, kalau dirinya tak bersalah."Kau masih bertanya apa kesalahanmu?!" Dengan tatapan
POV Ragil.***Dua minggu sudah Mas Rohim pergi dari rumah ini. Kukira ia hanya main-main saja dan tak lama kemudian ia akan kembali. Namun dugaanku salah. Sampai detik ini Mas Rohim tak kunjung pulang.Rasanya kesal, kesal dan kesal sekali. Apa yang harus kulakukan? Apakah rumah tangga ini akan hancur begitu saja? Apa aku harus mengesampingkan egoku?Jika aku memilih tinggal bersama mertua, apa aku sanggup?Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhembuskan napas panjang berharap mampu meredakan gemuruh di dalam dada. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku langsung beranjak, aku yakin itu adalah Mas Rohim.Namun lagi-lagi harus kutelan rasa kecewa, saat suara salam terdengar. Suara perempuan yang begitu tak asing. Aku berdecak kesal dan kuhenyakkan kembali tubuhku di tempat semula, saat Bibik berjalan mendahului untuk membuka pintu."Hai, Sayang ...," ucap Mama saat baru saja masuk ke dalam rumah. Kuberikan senyum terpaksa ke arahnya. Entahlah, setelah keperg
POV Ragil.***Dua minggu sudah Mas Rohim pergi dari rumah ini. Kukira ia hanya main-main saja dan tak lama kemudian ia akan kembali. Namun dugaanku salah. Sampai detik ini Mas Rohim tak kunjung pulang.Rasanya kesal, kesal dan kesal sekali. Apa yang harus kulakukan? Apakah rumah tangga ini akan hancur begitu saja? Apa aku harus mengesampingkan egoku?Jika aku memilih tinggal bersama mertua, apa aku sanggup?Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhembuskan napas panjang berharap mampu meredakan gemuruh di dalam dada. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku langsung beranjak, aku yakin itu adalah Mas Rohim.Namun lagi-lagi harus kutelan rasa kecewa, saat suara salam terdengar. Suara perempuan yang begitu tak asing. Aku berdecak kesal dan kuhenyakkan kembali tubuhku di tempat semula, saat Bibik berjalan mendahului untuk membuka pintu."Hai, Sayang ...," ucap Mama saat baru saja masuk ke dalam rumah. Kuberikan senyum terpaksa ke arahnya. Entahlah, setelah keperg
POV Rohim"Bu, kita keluar ya," ucapku. Sepertinya Ibu mengangguk. Bergegas kuangkat tubuh ibuku lalu kuletakkan di kursi roda. Bergegas kudorong dan kubawa menuju luar rumah.Aku duduk di kursi tepat di samping Ibu. "Apa Ibu merindukan Rumi?" tanyaku pada Ibu. Ibu mengangguk perlahan. Kedua netranya mulai berkaca-kaca. Kuhembuskan napas panjang. "Sama, Bu. Rohim sangat merindukan Rumi. Bagaimana keadaan Rumi sekarang ya, Bu?" Sungguh ... hati ini begitu sesak saat menceritakan kembali tentang kelembutan dan kebaikan Rumi. Biasanya di rumah ini, selalu terdengar suara tawanya. Namun sekarang, semua telah berubah menjadi hening. Bahkan hening itu ciptakan suasana yang begitu mencekam.Kutundukkan wajahku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan ku keluarkan secara kasar. Aku menyesal telah jahat pada istri yang begitu baik seperti Rumi. Tuhan ... akankah ada kesempatan kedua untuk kembali pada Rumi?Aku rindu canda tawanya.Aku rindu suaranya, Tuhan ....Rum ... aku merindukanmu. ***
POV Rohim"Hari ini jadi ke Surabaya, Pak?" tanya Bik Minah saat baru saja aku selesai sarapan. "Jadi, Bik," ucapku."Tolong jaga Ibu ya, Bik. Rohim nggak lama kok di Surabaya.Mungkin kalau urusan sudah selesai Rohim akan segera pulang. Kira-kira nggak sampai malam Rohim sudah tiba di rumah lagi," lanjut ku."Iya Pak, Bibik akan jaga ibu dengan baik. Bapak tenang aja! Bapak fokus menyelesaikan masalah Bapak aja dulu. Biarkan Ibu menjadi urusan Bibi," jawab Bibik. Aku mengangguk pelan sebagai jawabannya. Bergegas aku melangkah menuju kamar. Kusambar jaket yang menggantung di tempatnya. Lalu ku ambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Aku melangkah dengan cepat.Setelah berpamitan dengan Ibu dan Bibi segera kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju Surabaya.Butuh waktu 2 jam lebih 30 menit untuk sampai di tempat tujuan. Jalanan terasa begitu lenggang. Tak ada kemacetan sama sekali. Ku parkir mobil di carport, lalu aku keluar dari mobil.Ku hembuskan nafas panjang saat k
POV ROHIM***Butuh beberapa saat untuk mempertimbangkan semuanya. Setelah yakin akan keputusan yang akan kuambil. Aku kembali masuk ke dalam ruangan, dimana Ragil dirawat untuk menemui Mama dan Ragil. Ternyata Mama sedang duduk di kursi, di samping brankar. Terlihat pula Ragil sedang terlelap. Kuhembuskan napas panjang."Ma ...." Mama menoleh ke arahku. Ia mengangguk. "Duduklah," ucap Mama sembari menunjuk ke arah sofa. Kubalas dengan anggukan lalu aku melangkah, dan kudaratkan tubuhku di sofa hitam itu, pun juga Mama.Terdengar beliau menghembuskan napas berat, seperti ingin mengeluarkan beban yang begitu besar yang ada di dalam rongga dadanya. "Bagaimana?" Mama membuka percakapan. Mama menoleh ke arahku. Terlihat dari wajahnya seperti menyimpan suatu harapan."Mudah-mudahan ini keputusan yang terbaik, Ma. Tapi, semua ini juga memerlukan kehadiran Mama untuk masuk ke dalam rencana yang akan Rohim ambil. Itu pun kalau Mama setuju." Terlihat Mama mengerutkan keningnya."Rohim ingin
POV Rumi.***"Tapi aku tak tahu kapan aku siap untuk menikah lagi, Ren. Lebih baik kamu cari perempuan lain. Di luar sana, banyak sekali perempuan yang jauh lebih baik dariku. Jangan menungguku. Aku tak tahu, kapan hati ini akan kembali terbuka. Atau malah hati ini tak akan terbuka, selamanya ...." Terdengar suara derit kursi, lalu sedetik kemudian deru langkah terdengar mendekat. Rendra berdiri di sampingku, sekilas aku menoleh ke arahnya."Andai semudah itu mencari penggantimu, mungkin sudah kulakukan sejak dulu, Rum ...." Ucapan lelaki itu sontak membuatku menoleh ke arahnya. Kedua mataku menyipit dengan alis yang saling bertautan. Terdengar Rendra menghembuskan napas panjang."Aku menyukaimu sejak kita masih SMA." Aku menatapnya dengan tak percaya. Rendra menatapku dengan lekat. "Aku mencintaimu sejak dulu. Bahkan sebelum kamu mengenal mantan suamimu itu. Sudah puluhan kali aku mencoba menjalin hubungan kembali dengan perempuan lain, namun percuma, Rum. Namamu tak pernah terga
POV Rumi * * * "Loh Rum, kamu nggak kerja?" tanya Ibu saat ia melihatku berjalan mendekat kearah beliau. Aku terus berjalan lalu berhenti dan duduk di samping Ibu yang masih sibuk memotong sayuran. "Enggak, Bu," jawabku dengan singkat yang tiba-tiba membuat Ibu menghentikan gerakannya, lalu meletakkan pisau. Terlihat Ibu mengulurkan tangan lalu ditempelkan punggung tangannya di dahiku. "Kamu sakit? Nggak enak badan? Mana yang sakit?" Ibu memberondongku dengan pertanyaan. "Rumi baik-baik saja kok, Bu. Rumi nggak sakit," ucapku. Ibu menarik kembali tangannya dari dahiku. "Lalu kenapa nggak kerja? Atau jangan-jangan ...," "Kenapa, Bu?" potongku. Sebenarnya aku tahu apa yang akan diucapkan oleh Ibu. "Jangan bilang kamu nggak kerja hanya karena ingin menghindari Rendra!" tebak Ibu dengan tatapan penuh selidik. Aku memasang wajah tak berdosa dengan bibir tersenyum nyengir. Terlihat Ibu menepuk pelan dahinya. "Rumi bingung, Bu." "Kenapa?" "Ya ... Rumi takut jika bertemu dia, terus
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk
POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar
POV Rumi***Tanganku memegang rak barang, agar tak terjatuh. "Lepaskan!" teriakku. Seseorang itu melepaskan jilbabku dengan sedikit menyentak. "Kamu siapa?" ucapku saat sudah kutahu ada sosok perempuan yang sedang berdiri di depanku. Raut wajahnya terlihat merah padam. Aku mengernyit. Mencoba mengenali siapa gerangan yang ada di depanku, dan menyerangku secara tiba-tiba. Mendengar penuturanku, bibir perempuan berlipstik merah merona itu berdecih."Aku tekankan sama kamu, ya, jangan pernah deketin Rendra! Kau dengar?!" Alisku saling bertautan. Ucapan perempuan itu bukan lagi terdengar seperti permintaan, melainkan perintah."Memang kamu siapa? Pacarnya? Atau ... tunangannya?" Tangan perempuan itu terangkat, telunjuknya mengarah tepat di wajahku. "Itu bukan urusanmu. Kau mengerti?! Lakukan saja perintahku!" Kutangkap tangan perempuan yang belum kutahu siapa namanya, lalu kuturunkan, membuat kedua matanya mendelik sempurna."Mbak siapa? Aku nggak kenal Mbak loh," ucapku berusaha te
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu tak asing terbatuk-batuk. Lebih tepatnya pura-pura batuk. Bergegas kuurai pelukanku. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok lelaki itu berdiri tak jauh dari tempat kami."Sepertinya ada yang lagi ngomongin Bapak nih, Nak Rendra." Canda Bapak yang sedang berdiri di samping Rendra. Bergegas aku bangkit dari tempat duduk ku pun juga Ibu. Entah sejak kapan Kedua lelaki itu berdiri di sana."Loh, Nak Rendra ada disini?" tanya Ibu yang dibalas anggukan oleh Rendra."Ibu ini bagaimana sih, dari tadi ada kamu kok nggak denger. Untung tadi Bapak pulang dari kebun, kalau nggak ... mungkin Rendra sudah jamuran berada di di depan rumah. Tamu kok dibiarin di depan aja tanpa dibukakan pintu. Eh kalian malah sedang asyik di sini."Kan Ibu enggak dengar, Pak. Maaf ya Nak Rendra." Rendra mengangguk sembari bibir mengulas senyum."Tapi apa benar yang dikatakan oleh Bapak, kalau Nak Rendra sudah lama berada di depan?" tanya ibu yang memasang raut
POV Rumi * * * "Loh Rum, kamu nggak kerja?" tanya Ibu saat ia melihatku berjalan mendekat kearah beliau. Aku terus berjalan lalu berhenti dan duduk di samping Ibu yang masih sibuk memotong sayuran. "Enggak, Bu," jawabku dengan singkat yang tiba-tiba membuat Ibu menghentikan gerakannya, lalu meletakkan pisau. Terlihat Ibu mengulurkan tangan lalu ditempelkan punggung tangannya di dahiku. "Kamu sakit? Nggak enak badan? Mana yang sakit?" Ibu memberondongku dengan pertanyaan. "Rumi baik-baik saja kok, Bu. Rumi nggak sakit," ucapku. Ibu menarik kembali tangannya dari dahiku. "Lalu kenapa nggak kerja? Atau jangan-jangan ...," "Kenapa, Bu?" potongku. Sebenarnya aku tahu apa yang akan diucapkan oleh Ibu. "Jangan bilang kamu nggak kerja hanya karena ingin menghindari Rendra!" tebak Ibu dengan tatapan penuh selidik. Aku memasang wajah tak berdosa dengan bibir tersenyum nyengir. Terlihat Ibu menepuk pelan dahinya. "Rumi bingung, Bu." "Kenapa?" "Ya ... Rumi takut jika bertemu dia, terus