Aku berlalu pergi meninggalkan Mas Rohim yang belum selesai berbicara. Lelaki itu berjalan mengekoriku, entah bagaimana pemikiran lelaki yang telah membersamaiku selama lima tahun ini, sungguh tak punya malu sama sekali.Belum sempat sampai di dapur, aku terkejut melihat Ibu yang sudah berdiri menghadang kami dengan tangan kanan membawa spatula, lalu ada sapu di tangan kirinya.Bergegas Ibu menarik tubuhku dan menyembunyikan tubuh Mungil ini dibelakangnya."Heh, mau apa kamu kesini?! Jangan harap bisa membawa putriku lagi!" ucap Ibu dengan mengarahkan spatula ke arah lelaki yang notabenenya masih sah menjadi menantunya itu. Kurang sejengkal saja, mungkin spatula itu sudah terkena wajahnya. Wajah lelaki itu terlihat pucat pasi.Ingin sekali aku tertawa saat melihat wajah Mas Rohim yang ketakutan. Sesekali lelaki itu menatapku dengan wajah menghiba. Mungkin Ia berharap aku akan membantunya."Ma—af, Bu." "Ba-Bu-Ba-Bu. Kamu pikir kamu siapa memanggilku dengan sebutan, Bu?! Nggak sudi aku
"Baik, Pak. Rohim akan pulang," ucap Mas Rohim lalu berganti menatapku. "Rum, Mas pulang dulu, ya! Jaga diri baik-baik dan pikirkan semuanya dengan pikiran dingin!" ucapnya yang tak kupedulikan sama sekali.Akhirnya lelaki itu pulang, yang pastinya tanpa membawaku.Biarlah dia meminta waktu satu Minggu. Tapi sudah kupastikan, aku tak akan berubah pikiran."Bagaimana denganmu, Rum?" tanya Bapak saat Mas Rohim telah meninggalkan rumah ini."Pak! Ibu tetap nggak bakal ngizinin kalau Rumi balik sama tuh cecunguk! Emang Bapak ikhlas putri semata wayang kita di sakiti seperti itu?!" repet Ibu. Terlihat Bapak menghela napas panjang."Nggak ada orang tua yang mau anaknya disakitin, Buk," tutur Bapak dengan lembut.Memang begitulah Bapakku, berbeda sekali dengan Ibu. Tapi aku salut dengan Bapak, selama ini masih setia mendampingi Ibu dan begitu menyayangi Ibu."Nah, makanya! Lalu kenapa Bapak masih bertanya sama Rumi? Bapak ingin Rumi balikan sama tuh laki?!" ucap Ibu dengan nada suara yang ma
Bergegas aku masuk, saat aku sedang mengambil formulir, aku tersentak kaget saat tiba-tiba seperti ada seseorang yang memegang pundakku. Aku memutar tubuh ..."Hai ...," sapa seseorang yang membuatku tersentak kaget. Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat sosok lelaki sedang berdiri di hadapanku sambil mengulas senyum.Melihatku yang hanya diam, ia berkata, "Kamu lupa sama aku?" tanya lelaki itu yang seketika membuatku kembali mengorek masa lalu. Kuingat-ingat kembali, siapakah pemilik sosok wajah tersebut. Namun aku tak kunjung mengingat siapa pemilik wajah itu."Sudahlah, Rum. Tak perlu bersusah payah untuk mengingat. Lebih baik kita berkenalan lagi. Namaku Rendra," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Siapa lelaki itu? Apakah dia teman masa laluku? Tapi kenapa aku tak kunjung mengingatnya juga?"Hey!" "Eh, iya, Maaf." Kupalingkan wajahku, untuk menutupi rasa maluku."Namaku Rendra." "Nama saya Rumi," ucapku dan membalas u
POV Ibu Rohim.Apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi sudah. Menantu yang begitu menyayangiku, merawatku dengan begitu baik, kini tahu rahasia yang selama lima tahun ini kamu sembunyikan. Bangkai yang kami tertimbun, akhirnya tercium sudah.Rumi, menantuku pergi meninggalkanku. Bahkan saat aku pingsan dan masuk rumah sakit pun ia tak berniat mengunjungiku. Sesakit itu kah hatinya?Rasa bersalah terus menghantui. Ada rasa tak tega memperlakukan Rumi yang begitu baik, dengan begitu kejamnya. Namun apa boleh buat, hanya itulah jalan satu-satunya."Mana Rumi? Kamu nggak berhasil bawa menantuku kesini?" tanyaku pada Rohim. Dia baru saja datang menghampiriku yang sedang tergolek lemas di atas ranjang pasien. Bukannya menjawab, Rohim malah diam. Namun, tanpa di jawab pun aku tahu hasilnya. Pasti ia tak sanggup membawa Rumi untukku. Kuhela napas panjang."Ibu pinjam ponselmu," ucapku pada anak lelakiku. Kedua netranya menyipit. "Untuk apa, Bu?""Biar Ibu hubungi menantu Ibu. Ibu sudah hapal
POV Rumi.Ponsel yang tergeletak di atas bantal berdering, pertanda ada pesan masuk. Kuambil lalu kutekan tombol power. Nomor asing yang tertera pada bagian pengirim pesan tersebut. Kuusap benda pipih itu.[Selamat malam, Rum. Ini aku Rendra. Masih ingat atau sudah lupa?] Begitulah bunyi pesan tersebut. [Selamat malam juga. Alhamdulillah, masih ingat kok.] Kutulis balasan untuk Rendra, yang kusisipi emot senyum.Tak berselang lama, ponsel bergetar. Pertanda ada panggilan masuk, dan nomor asing yang ternyata milik Rendra lah yang menghubungi. "Kenapa malam-malam kok telfon segala?" lirihku dengan kedua netra memandangi layar ponsel. Dengan ragu, akhirnya kuangkat panggilan tersebut."Halo, assalamualaikum," ucapku saat panggilan baru saja kuangkat. "waalaikum salam," balas seseorang yang ada di seberang sana."Bagaimana kabarmu, Rum?" tanya Rendra. Memang, setelah pertemuan waktu aku mendaftarkan gugatan ceraiku, Rendra tak pernah menghubungiku."Alhamdulillah, baik. Ada apa ya, Ren?
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada suara menyela. "Loh, kamu disini?" Sontak, aku menoleh ke arah sumber suara. "Rendra?!" ucapku saat melihat Rendra berdiri di sampingku. "Siapa, Rum? Teman?" tanya Ibuku. Bergegas Rendra menyalami kedua orang tuaku secara bergantian."Iya, Bu. Teman waktu sekolah," ucapku."Eh, silahkan duduk, Nak ....""Rendra, Pak, namanya," selaku."Silahkan duduk, Nak Rendra!" ucap Ibu melanjutkan. Terlihat Rendra mengangguk, lalu menggeser kursi, lantas duduk di kursi tepat di sampingku."Habis sidang?" tanya Rendra dan aku mengangguk."Loh, Nak Rendra tahu permasalahan Rumi?!""Kalau soal perceraian, Rendra memang sudah tahu, Bu. Soalnya, waktu mendaftarkan gugatan perceraian, Rumi bertemu Rendra!" ucapku. Terlihat kedua orang tuaku mengangguk. "Memang dasar tuh si mantan suami Rumi! Tega-teganya melakukan itu dengan Rumi. Padahal ... kami yang merawatnya pun nggak pernah menyakiti Rumi dengan begitu kejamnya!" geram Ibu. "Udah, Bu. Jangan begitu! Memang ta
Akhirnya kulajukan kendaraan kami masing-masing menuju rumah. Namun, saat kami sudah sampai, terlihat ada sosok perempuan, yang sebentar lagi akan menjadi mantan Ibu mertuaku, sedang duduk di teras rumah. Seketika berbagai pertanyaan mulai timbul memenuhi isi kepala. Untuk apa ia datang kemari? Apa dia akan berusaha membujukku, setelah anak lelakinya tak berhasil membawaku kembali?Dengan langkah malas, aku mendekat. Sedikitpun sudah tak ada lagi rasa hormat untuk perempuan yang selama lima tahun ini begitu kusayangi."Ada apa kemari?! Mau membawa Rumi?! Jangan harap!" sungut Ibuku. Terlihat Bapak mendekat ke arah kami. Sedangkan calon Mantan Ibu mertua hanya berdiri dengan wajah yang begitu terlihat sedih."Bapak dan Ibu masuk ke dalam dulu, ya. Biarkan kami bicara dua orang," pintaku kepada kedua orang tuaku."Jangan sampai kamu kembali ke rumah itu, Rum! Ibu tak terima kamu diperlakukan seperti itu!" sungut Ibuku. "Sudah, Bu. Biarkan mereka bicara dulu! Kita masuk yuk!" ajak Bapak.
POV Rohim6 bulan kemudian."Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu rumah Ibu. "Waalaikum salam," jawab seseorang dari dalam rumah. Tak berselang lama, pintu mulai terbuka. Hingga menampilkan sosok perempuan yang selama ini kuminta untuk menemani Ibu. Bik Minah namanya."Bagaimana dengan keadaan Ibu, Bik?" tanyaku sambil berjalan menuju kamar Ibu. Terdengar Bik Minah menghembuskan napas kasar. "Ibu selalu mencari Mbak Rumi, Pak. Kalau tidur pun selalu memanggil nama Mbak Rumi," ucap Bik Minah yang membuatku menghembuskan napas panjang."Ya sudah. Rohim ke kamar Ibu dulu!" ucapku.Aku terus melangkah menuju kamar Ibu dengan perasaan tak karuan. Tak bisa dipungkiri jika Ibu memang begitu menyayangi Rumi. Perempuan itu begitu baik dan sayang dengan Ibu. Pasti berat sekali jika tiba-tiba harus berpisah. Apalagi selama ini, Ibu dan Rumi tinggal seatap.Dengan pelan, kubuka daun pintu agar tak menimbulkan suara. Saat pintu terbuka sempurna, terlihatlah Ibu yang sedan
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk
POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar
POV Rumi***Tanganku memegang rak barang, agar tak terjatuh. "Lepaskan!" teriakku. Seseorang itu melepaskan jilbabku dengan sedikit menyentak. "Kamu siapa?" ucapku saat sudah kutahu ada sosok perempuan yang sedang berdiri di depanku. Raut wajahnya terlihat merah padam. Aku mengernyit. Mencoba mengenali siapa gerangan yang ada di depanku, dan menyerangku secara tiba-tiba. Mendengar penuturanku, bibir perempuan berlipstik merah merona itu berdecih."Aku tekankan sama kamu, ya, jangan pernah deketin Rendra! Kau dengar?!" Alisku saling bertautan. Ucapan perempuan itu bukan lagi terdengar seperti permintaan, melainkan perintah."Memang kamu siapa? Pacarnya? Atau ... tunangannya?" Tangan perempuan itu terangkat, telunjuknya mengarah tepat di wajahku. "Itu bukan urusanmu. Kau mengerti?! Lakukan saja perintahku!" Kutangkap tangan perempuan yang belum kutahu siapa namanya, lalu kuturunkan, membuat kedua matanya mendelik sempurna."Mbak siapa? Aku nggak kenal Mbak loh," ucapku berusaha te
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu tak asing terbatuk-batuk. Lebih tepatnya pura-pura batuk. Bergegas kuurai pelukanku. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok lelaki itu berdiri tak jauh dari tempat kami."Sepertinya ada yang lagi ngomongin Bapak nih, Nak Rendra." Canda Bapak yang sedang berdiri di samping Rendra. Bergegas aku bangkit dari tempat duduk ku pun juga Ibu. Entah sejak kapan Kedua lelaki itu berdiri di sana."Loh, Nak Rendra ada disini?" tanya Ibu yang dibalas anggukan oleh Rendra."Ibu ini bagaimana sih, dari tadi ada kamu kok nggak denger. Untung tadi Bapak pulang dari kebun, kalau nggak ... mungkin Rendra sudah jamuran berada di di depan rumah. Tamu kok dibiarin di depan aja tanpa dibukakan pintu. Eh kalian malah sedang asyik di sini."Kan Ibu enggak dengar, Pak. Maaf ya Nak Rendra." Rendra mengangguk sembari bibir mengulas senyum."Tapi apa benar yang dikatakan oleh Bapak, kalau Nak Rendra sudah lama berada di depan?" tanya ibu yang memasang raut
POV Rumi * * * "Loh Rum, kamu nggak kerja?" tanya Ibu saat ia melihatku berjalan mendekat kearah beliau. Aku terus berjalan lalu berhenti dan duduk di samping Ibu yang masih sibuk memotong sayuran. "Enggak, Bu," jawabku dengan singkat yang tiba-tiba membuat Ibu menghentikan gerakannya, lalu meletakkan pisau. Terlihat Ibu mengulurkan tangan lalu ditempelkan punggung tangannya di dahiku. "Kamu sakit? Nggak enak badan? Mana yang sakit?" Ibu memberondongku dengan pertanyaan. "Rumi baik-baik saja kok, Bu. Rumi nggak sakit," ucapku. Ibu menarik kembali tangannya dari dahiku. "Lalu kenapa nggak kerja? Atau jangan-jangan ...," "Kenapa, Bu?" potongku. Sebenarnya aku tahu apa yang akan diucapkan oleh Ibu. "Jangan bilang kamu nggak kerja hanya karena ingin menghindari Rendra!" tebak Ibu dengan tatapan penuh selidik. Aku memasang wajah tak berdosa dengan bibir tersenyum nyengir. Terlihat Ibu menepuk pelan dahinya. "Rumi bingung, Bu." "Kenapa?" "Ya ... Rumi takut jika bertemu dia, terus