Sore semua ( ╹▽╹ ) Ini bab pertama sore ini. Selamat membaca (◠‿・)—☆ Bab Bonus: 4/6 Bab Bab Reguler: 1/1 Bab
Para praktisi bela diri Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural memilih menyerang Juliana dan Lindsay. Mereka tahu tidak bisa mengalahkan Ryan secara langsung, tapi setidaknya bisa mengalihkan perhatiannya dengan menyerang kedua gadis itu!Ryan menatap dingin ke arah gerombolan penyerang. "Bersembunyi di belakangku dan beri aku tiga detik," perintahnya pada kedua gadis tanpa menoleh.Ia tidak ingin membuang waktu. Entah bahaya macam apa yang sedang dihadapi Larry Brave saat ini. Meski tidak punya hubungan pribadi dengan pria itu, keselamatannya terkait dengan imbalan yang Ryan incar.Dalam sekejap, aura dingin merembes keluar dari tubuh Ryan. Raungan naga menggelegar di udara saat naga darah melesat keluar dan terbang ke ketinggian seratus meter, menatap tajam ke bawah.Gush dan Thiery terkesiap melihat pemandangan itu. Namun sebelum mereka sempat bereaksi, Ryan sudah bergerak!"Naga Darah, datanglah padaku!"Naga darah menukik turun dan menyatu dengan Pedang Suci Caliburn.
Di sepanjang jalan mereka menemukan mayat-mayat dan bekas pertempuran di mana-mana. Senjata berserakan–mulai dari pedang dan tombak tradisional hingga senjata api modern."Tuan Ryan," Lindsay memecah keheningan, "tahukah Anda mengapa Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural bersikap seperti ini? Mereka seharusnya datang untuk menyelamatkan Wolf Squad dan ayahku, bukan?"Ryan membungkuk mengambil sebilah pedang dari tanah, mengamatinya sejenak sebelum menjawab, "Terkadang, kepentingan pribadi dan keserakahan bisa membuat orang mengkhianati siapa saja, bahkan negara mereka sendiri. Itulah sifat dasar manusia." Ia menatap Lindsay dengan serius. "Tidak hanya Rendy Zola. Mulai sekarang, jangan percaya siapa pun kecuali ayahmu."Lindsay mengangguk tanpa berkata-kata.Di sampingnya, Juliana juga mengambil beberapa pecahan senjata, memeriksanya dengan teliti. Saat jarinya menyentuh permukaan logam, sedikit darah merembes keluar. Matanya membulat, ia segera meraih tangan Ryan."Tuan R
Suara pekikan kecil terdengar diikuti oleh suara dentingan piring yang jatuh, membuat suasana pesta menjadi hening.Ryan Pendragon menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar 10 tahun, berdiri kaku dengan wajah pucat. Di depannya, seorang pria tinggi besar dengan mata tajam berdiri menjulang, jasnya yang mahal kini bernoda makanan yang tumpah."Ma-maafkan saya, Tuan," gadis kecil itu terbata-bata, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Pria itu menatap gadis kecil tersebut dengan tatapan dingin yang menusuk. Tangannya terkepal erat, dan Ryan bisa melihat urat-urat di lehernya menegang karena menahan amarah.Melihat situasi yang semakin tegang, Ayah Ryan–William Pendragon bergegas menghampiri mereka. Ia berlutut di samping gadis kecil itu, mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya."Tidak apa-apa, Nak. Itu hanya kecelakaan," ujar William lembut sambil mencoba membersihkan noda di sepatu gadis itu. Kemudian ia berdiri dan menghadap pria
“Terima kasih,” ucap Ryan setelah turun dari taksi dan memberikan bayaran ke sopir.Beralih menatap sebuah bangunan kantor yang menjulang tinggi di hadapan, Ryan membaca lagi secarik kertas yang diberikan oleh gurunya, memastikan ini adalah tempat yang harus dia tuju.“Snowfield Group,” ulang Ryan, lalu mengangkat pandangan untuk melihat plang besar yang terpatri nyata di depan gedung. “Benar ini,” ucapnya sebelum masuk ke dalam lobi.Awalnya, Ryan berniat untuk langsung pergi ke Ibu Kota–Riverdale dan mencari Master Lucas, pria yang muncul di kediamannya lima tahun lalu dan membunuh ayahnya. Bagaimanapun, dia adalah orang yang paling ingin Ryan bunuh selama lima tahun terakhir. Namun, gurunya bersikeras agar Ryan terlebih dahulu pergi ke Golden River dan menemui seorang wanita bernama Rindy Snowfield. Oleh karena itu, di sinilah Ryan sekarang, di lobi perusahaan Snowfield Group.Mengenakan kaos, topi, dan tas selempang kusam yang tersampir di bahunya, penampilan Ryan yang sederhana
Keheningan mencekam menyelimuti lobi gedung Snowfield Group. Semua mata tertuju pada sosok pemuda yang berdiri tenang di tengah kekacauan. Dua penjaga keamanan tergeletak tak sadarkan diri di dekat pecahan kaca, sementara pemuda itu hanya berdiri diam, seolah tak terjadi apa-apa."Astaga, apa yang baru saja terjadi?" bisik salah seorang karyawan, matanya terbelalak ketakutan."Ssst! Jangan keras-keras. Kau mau jadi korban berikutnya?" balas temannya, menarik lengan si karyawan untuk menjauh.Para resepsionis muda bersembunyi di balik meja, ketakutan. Mereka bahkan tidak melihat pemuda itu menyerang. Semuanya terjadi begitu cepat, seolah-olah kedua penjaga itu tiba-tiba saja terpental dan tak sadarkan diri.Ryan melirik kedua penjaga yang tak sadarkan diri itu dan menggelengkan kepalanya dengan jengkel. Tanpa menghiraukan tatapan ketakutan dari orang-orang di sekitarnya, ia melangkah santai dan duduk di sofa. Dengan tenang, ia mengambil koran yang tergeletak di meja, mulai membacanya
Adel menghela napas lega saat melangkah keluar dari gedung Snowfield Group.Hari ini sungguh tidak terduga, tapi setidaknya situasi dengan pemuda misterius itu sudah mereda. Dia membuka pintu Mercedes-nya, bersiap untuk pergi ke pertemuan berikutnya.Tepat saat dia hendak masuk, pintu penumpang terbuka. Adel terkejut melihat Ryan meluncur masuk dengan santai."Hei! Apa yang kau lakukan?" seru Adel, matanya melebar.Ryan menatapnya dengan serius. Dia bisa melihat aura gelap menyelimuti Adel, tanda adanya bahaya yang mengintai. Teknik Matahari Surgawi-nya memperingatkan bahwa gadis ini akan menghadapi ancaman besar dalam waktu dekat."Kupikir kau mungkin butuh teman ngobrol dalam perjalanan," jawab Ryan ringan, menyembunyikan kekhawatirannya.Adel mengangkat alisnya. "Oh, benarkah? Dan sejak kapan kita jadi teman ngobrol?"Ryan tersenyum. "Sejak aku memutuskan untuk berterima kasih atas bantuanmu tadi."Adel memutar matanya, tapi ada senyum kecil di bibirnya. "Baiklah, tuan misterius.
Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada sosok Ryan yang baru saja membela Adel dengan berani. Tak seorang pun menyangka akan ada yang berani menentang Effendy Shaw, apalagi di wilayah kekuasaannya sendiri."Hei, kau!" Yohan, salah satu penjilat Effendy, berdiri dengan wajah merah padam. Dia menunjuk ke arah Ryan dengan jari gemetar, suaranya bergetar menahan amarah. "Dasar orang bodoh! Apa kau tahu siapa yang kau hadapi? Lihat pakaianmu, bahkan itu tidak sampai bernilai ratusan ribu. Beraninya orang desa sepertimu menyinggung Tuan Muda Shaw!"Ryan hanya melirik Yohan sekilas, tatapannya dingin dan menusuk. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aura intimidasi yang dipancarkannya membuat Yohan mundur selangkah.Merasa terhina oleh sikap acuh tak acuh Ryan, Yohan melanjutkan ancamannya dengan suara bergetar, "A-aku hanya perlu menelepon, dan kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupanmu di Golden River!"Ryan mendengus pelan, seolah menganggap ancaman it
Beberapa waktu berlalu, dan suasana di ruangan itu semakin mencekam. Adel, dengan wajah pucat, mencondongkan tubuhnya ke arah Ryan."Dengar," bisiknya, suaranya bergetar, "kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Keluarga Shaw mungkin baru naik daun dalam lima tahun terakhir, tapi pengaruh mereka di Golden River tidak bisa diremehkan."Ryan menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya? Ceritakan padaku."Adel menarik napas dalam-dalam, matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Keluarga Shaw... mereka bukan sekadar keluarga kaya biasa. Lima tahun lalu, mereka hanya pemilik beberapa properti di Golden River. Tapi sekarang? Mereka menguasai hampir setengah pasar real estate kota ini."Ryan mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit sedikit mendengar perkembangan pesat keluarga Shaw."Bukan hanya itu," Adel melanjutkan, suaranya semakin pelan. "Mereka punya koneksi politik yang kuat. Walikota, kepala kepolisian, bahkan beberapa anggota dewan kota—semuanya berada di bawah pe
Di sepanjang jalan mereka menemukan mayat-mayat dan bekas pertempuran di mana-mana. Senjata berserakan–mulai dari pedang dan tombak tradisional hingga senjata api modern."Tuan Ryan," Lindsay memecah keheningan, "tahukah Anda mengapa Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural bersikap seperti ini? Mereka seharusnya datang untuk menyelamatkan Wolf Squad dan ayahku, bukan?"Ryan membungkuk mengambil sebilah pedang dari tanah, mengamatinya sejenak sebelum menjawab, "Terkadang, kepentingan pribadi dan keserakahan bisa membuat orang mengkhianati siapa saja, bahkan negara mereka sendiri. Itulah sifat dasar manusia." Ia menatap Lindsay dengan serius. "Tidak hanya Rendy Zola. Mulai sekarang, jangan percaya siapa pun kecuali ayahmu."Lindsay mengangguk tanpa berkata-kata.Di sampingnya, Juliana juga mengambil beberapa pecahan senjata, memeriksanya dengan teliti. Saat jarinya menyentuh permukaan logam, sedikit darah merembes keluar. Matanya membulat, ia segera meraih tangan Ryan."Tuan R
Para praktisi bela diri Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural memilih menyerang Juliana dan Lindsay. Mereka tahu tidak bisa mengalahkan Ryan secara langsung, tapi setidaknya bisa mengalihkan perhatiannya dengan menyerang kedua gadis itu!Ryan menatap dingin ke arah gerombolan penyerang. "Bersembunyi di belakangku dan beri aku tiga detik," perintahnya pada kedua gadis tanpa menoleh.Ia tidak ingin membuang waktu. Entah bahaya macam apa yang sedang dihadapi Larry Brave saat ini. Meski tidak punya hubungan pribadi dengan pria itu, keselamatannya terkait dengan imbalan yang Ryan incar.Dalam sekejap, aura dingin merembes keluar dari tubuh Ryan. Raungan naga menggelegar di udara saat naga darah melesat keluar dan terbang ke ketinggian seratus meter, menatap tajam ke bawah.Gush dan Thiery terkesiap melihat pemandangan itu. Namun sebelum mereka sempat bereaksi, Ryan sudah bergerak!"Naga Darah, datanglah padaku!"Naga darah menukik turun dan menyatu dengan Pedang Suci Caliburn.
Beberapa praktisi lainnya awalnya ingin menyerang Ryan secara bersamaan, namun pemandangan mengerikan di hadapan mereka membuat tubuh mereka membeku. Kabut darah yang tersisa dari tubuh Yoko Yamigashi perlahan menghilang tertiup angin, meninggalkan bau amis yang menusuk hidung.Mereka sangat mengenal kekuatan Yoko Yamigashi. Bahkan yang terkuat di antara mereka masih jauh di bawah level sang ahli. Namun pemuda ini telah membunuhnya hanya dengan satu tebasan pedang, seolah sedang memotong sayuran!Adegan kematian Yoko Yamigashi terukir dalam di ingatan mereka. Tak seorang pun berani menatap langsung ke arah pedang di tangan Ryan–Pedang Suci Caliburn yang masih memancarkan aura membunuh yang mencekam.Ryan menyimpan pedangnya dengan santai, seolah baru saja melakukan hal yang sangat biasa. Ia berpaling menatap Juliana dan Lindsay yang masih terpana. "Mengapa kalian di sini?"Lindsay berdiri dari batu tempatnya duduk, matanya sesekali melirik waspada ke arah para ahli yang masih membe
Para ahli yang tersisa langsung menyadari ada yang tidak beres. Mereka bergegas menuju kedua gadis itu, berniat menjadikan mereka sandera. Namun baru beberapa langkah...SWISH!Bilah angin tajam menyambar ke arah mereka! Pupil mata mereka mengerut saat mereka buru-buru melompat mundur. Bilah angin itu meninggalkan bekas goresan dalam di tanah tempat mereka berdiri asedetik lalu."Siapa di sana?" teriak salah satu dari mereka."Berhentilah menyembunyikan dirimu seperti seorang pengecut dan keluarlah menghadapi kami!"Di tengah kekacauan itu, seorang lelaki tua dengan jubah abu-abu tua bergerak cepat dan tiba-tiba muncul di hadapan Lindsay."Orang-orang dari Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural ini tidak berguna," dengusnya meremehkan. "Aku harus mengambil tindakan sendiri. Gadis kecil, maafkan aku, tapi kau tidak boleh pergi!"Tangannya bergerak cepat, melayangkan pukulan telapak tangan ke arah punggung Lindsay.Namun sebelum serangannya mendarat, sebuah siulan tajam membela
Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Ryan kini sudah semakin dekat dengan koordinat yang dimaksud. Semakin dalam ia masuk ke Pegunungan Qiroud, semakin pekat aroma darah yang tercium. Mayat-mayat berserakan di mana-mana, beberapa di antaranya bahkan terpotong-potong dengan cara yang brutal. Pertarungan besar jelas telah terjadi di sini belum lama ini.Seratus meter di depan, Ryan melihat sekelompok orang membentuk perimeter keamanan. Mereka terdiri dari anggota Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural Nexopolis dan beberapa kultivator yang memiliki aura luar biasa kuat.'Kultivator ranah Golden Core?' Ryan menganalisis. 'Mungkin mereka dari Gunung Langit Biru. Masuk akal, mengingat Dragon Vein adalah harta yang sangat berharga bagi praktisi bela diri dan kultivator.'Saat Ryan masih mengamati situasi, sebuah keributan menarik perhatiannya. Di kejauhan, dua sosok gadis muda berusaha menerobos masuk namun dihalangi dengan kasar oleh para penjaga. Para ahli dari Departemen Pen
Tetua Meng tertawa dingin meski darah masih mengalir dari sudut bibirnya. "Aku orang yang sedang sekarat. Aku akan menyimpan rahasiaku selamanya. Haha! Jangan pernah berpikir bahwa kau bisa mendapatkan informasi apa pun dariku!"Ryan menggelengkan kepalanya. Dengan gerakan santai, ia mengeluarkan selusin jarum perak dari sakunya.Jarum-jarum itu berkilau dingin di bawah sinar matahari."Kau tahu, ada banyak cara untuk membuat seseorang bicara," ujar Ryan sambil tersenyum tipis. Dalam sekejap mata, jarum-jarum itu melesat dan menancap di titik-titik vital tubuh Tetua Meng. Begitu tertanam, jarum-jarum itu mulai bergetar dengan frekuensi tertentu."ARGHHHH!" Jeritan memilukan terdengar dari mulut Tetua Meng. Wajahnya yang tadinya pucat kini merah padam. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang jauh melebihi apapun yang pernah ia alami sebelumnya. Seolah ada ribuan semut api yang menggerogoti setiap inci tubuhnya, dari permukaan kulit hingga sum-sum tulang."Kau... Apa yang kau lakukan p
Di bawah, lelaki tua berjubah–Tetua Meng–mengamati sekeliling dengan dahi berkerut. "Ada praktisi bela diri di sekitar sini. Mereka yang membunuh orang-orang ini–bahkan tidak sempat melawan.""Semuanya waspada," dia melanjutkan. "Kita belum tahu siapa lagi yang berkeliaran di sini. Kali ini bukan hanya para praktisi dari Gunung Langit Biru yang berebut Dragon Vein. Tapi Grandmaster Rendy bertekad mendapatkannya.""Tetua Meng," seorang pria paruh baya berkata ragu, "bukankah Dragon Vein selalu dijaga para praktisi kuat? Lagipula letaknya tersembunyi di bawah tanah. Bagaimana bisa merebutnya? Apa Grandmaster Rendy benar-benar akan..."Sebelum dia menyelesaikan pertanyaannya, Tetua Meng melambaikan tangan. Seketika lubang menganga muncul di dada pria itu, membunuhnya seketika."Ada orang yang mati karena terlalu banyak bicara," Tetua Meng menatap mayat itu dingin. "Kalian mengerti maksudku? Jika ingin bernasib sama, silakan terus mengoceh. Sekarang, temui Grandmaster Rendy!""Baik, Tetua
Tak lama kemudian Ryan dibawa ke sebuah jet pribadi canggih. Setelah beberapa jam penerbangan, pesawat mendarat mulus di bandara kecil dekat Pegunungan Qiroud di Provinsi Xivi.Begitu turun, Ryan langsung merasakan kehadiran intimidating gunung-gunung raksasa yang menjulang ke langit. Kabut tipis menyelimuti puncak-puncaknya, menciptakan pemandangan yang misterius sekaligus mengancam. Area ini tampak sepi dan tak tersentuh–mungkin karena belum dikembangkan untuk pariwisata. Ryan bahkan tidak melihat satu pun tanda kehidupan.Ryan memeriksa koordinat yang dikirim ke ponselnya, menunjukkan lokasi terakhir Larry Brave dan timnya terdeteksi. Jaraknya masih puluhan kilometer ke dalam pegunungan, membuat Ryan menggeleng dan segera mengaktifkan teknik gerakannya menuju kedalaman hutan pegunungan.Sepanjang perjalanan dia menemukan jejak-jejak pertarungan dahsyat yang masih baru. Bekas-bekas energi spiritual yang kuat masih terasa di udara. Tim Larry Brave jelas bukan orang sembarangan–
Pada akhirnya, lelaki tua itu tetap menolak dengan tegas. "Berapa pun yang kau berikan padaku, jawabanku akan tetap sama. Kau boleh pergi sekarang.""Gons, antar tamu kita keluar!"Tak lama kemudian, seorang pria beraura kuat melangkah masuk. Meski berpakaian kasual, setiap gerakannya menunjukkan latihan bertahun-tahun. Dia melirik Ryan dengan tatapan menilai. "Tuan Ryan, silakan."Ryan menyipitkan mata, berdiri, dan pergi dengan jentikan lengan bajunya yang anggun. Jika orang tua ini tak mau bicara, dia akan mencari cara sendiri–dengan atau tanpa bantuan.Namun baru beberapa langkah, deringan tajam telepon memecah keheningan. Lelaki tua itu merogoh saku, melirik ID penelepon, dan ekspresinya langsung berubah drastis begitu mendengar suara di seberang."Ryan, berhenti!" serunya setelah menutup telepon dengan tergesa. "Jika kau ingin tahu lokasi kediaman Keluarga Ravenclaw, aku bisa mengatakannya. Tapi kau har