Terima Kasih Kak Agus atas dukungan Gem-nya. untuk itu, hari ini othor UP 2 bab (≧▽≦) ditunggu(◠‿・)—☆
Ryan tidak menyadari bahwa ia telah menjadi target terbaru keluarga Herbald. Mereka akan berusaha keras menarik Ryan ke sisinya.Akan tetapi, pikirannya Ryan saat ini dipenuhi oleh rencana-rencana kultivasi dan balas dendam yang telah ia susun selama lima tahun terakhir. Saat ini, tidak ada yang lebih diinginkannya selain berkultivasi dengan tenang dan melakukan perjalanan ke Ibu Kota untuk membunuh orang yang telah memusnahkan keluarganya.Setelah keluar dari Paviliun Kejayaan, Ryan awalnya berniat memanggil taksi. Namun, mungkin karena saat itu sedang jam kerja, tidak ada satu pun taksi yang lewat setelah dia menunggu cukup lama."Yah, sepertinya aku harus berolahraga sedikit," gumam Ryan pada dirinya sendiri, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Lagipula, apartemen Adel tidak terlalu jauh dari sini."Sambil menarik tudung hoodie-nya, Ryan mulai berlari dengan langkah mantap. Jika ada yang memperhatikan dengan seksama, mereka mungkin akan melihat energi Qi samar di bawah kakinya,
Entah apa alasannya, pria bertopi itu terus merasa bahwa dirinya sedang diselimuti oleh lapisan udara aneh yang membuatnya berpikir bahwa ia akan mati jika dirinya berbohong! Perasaan ini membuatnya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya meski udara siang itu cukup sejuk di bawah awan mendung. "K-keluarga Blackwood!" pria itu tergagap, suaranya bergetar. "Orang yang menyebar kabar ini adalah Jeremy Blackwood! Itu saja yang aku tahu, tolong lepaskan aku!" Ryan mengangkat alisnya, ekspresinya campuran antara terkejut dan geli. "Oh? Tuan Blackwood yang terhormat itu? Menarik sekali." Pria itu, merasa sedikit lega karena Ryan tidak langsung membunuhnya, melanjutkan dengan terburu-buru, "Aku juga mendengar, hari ini Jeremy Blackwood telah mengerahkan banyak orang dalam mencarimu. Kabar yang beredar, dia juga memeriksa seluruh CCTV di setiap kawasan untuk mencarimu…" Ryan mengangguk pelan, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia akhirnya mengerti segalanya. Tiga hari yang
Adel mendengar suara di belakangnya dan tahu bahwa Ryan telah kembali. Jantungnya berdegup kencang, namun ia berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan tetap fokus pada cermin di hadapannya.Adel berbalik, memutar matanya pura-pura kesal. Namun Ryan bisa melihat rona merah samar di pipinya. "Dalam mimpimu, Ryan," ujarnya, berusaha terdengar sarkastis meski gagal total.Ryan menyeringai, matanya menelusuri lekuk tubuh Adel yang dibalut pakaian seksi. "Oh, ayolah. Kau tidak bisa menyangkal bahwa kau memang berpakaian seperti ini untukku," godanya.Adel mendengus, tapi senyum kecil tersungging di bibirnya. "Jangan terlalu percaya diri, Ryan . Aku selalu berpakaian seperti ini saat akhir pekan.""Benarkah?" Ryan mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. "Kalau begitu, mungkin aku harus lebih sering pulang cepat di akhir pekan."Adel tertawa kecil, lalu bertanya dengan nada menggoda, "Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat cantik memakai ini?"Ryan terdiam sejenak, matanya tidak bisa lepa
Tujuh tahun yang lalu, saat keluarga Pendragon masih ada, dia pernah jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu bernama Selly Hilton, putri bungsu dari keluarga Hilton yang tersohor. Dengan rambut pirang berkilau dan mata biru cemerlang, Selly adalah definisi dari kecantikan yang mampu membuat setiap pemuda di sekolah terpesona.Ryan, yang saat itu masih berusia lima belas tahun, tidak terkecuali. Setiap kali Selly lewat di koridor sekolah, jantung Ryan berdegup kencang, dan ia merasa seolah dunia berhenti berputar. Meski Ryan berasal dari keluarga Pendragon yang cukup berpengaruh, ia selalu merasa kecil dan tidak pantas di hadapan Selly.Hari demi hari berlalu, dan perasaan Ryan semakin dalam. Ia menghabiskan waktu berjam-jam melamun di kelas, membayangkan skenario-skenario romantis yang hanya ada dalam mimpinya. Terkadang, ia bahkan memberanikan diri untuk mencuri pandang ke arah Selly saat gadis itu sedang bercanda dengan teman-temannya di kantin."Ayolah, Ryan," bisik temannya
Menyadari beberapa orang yang lewat menoleh ke arah mereka, Adel menatap Ryan dengan tajam dan berkata, "Omong kosong. Jika kau menginginkanku, kau harus mengambil bintang dari langit dan membawanya kepadaku!" Ryan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah serius. "Benarkah?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak. Adel tidak menyadari kilatan aneh di mata Ryan. Dalam benaknya, Ryan hanyalah seorang pria desa yang kebetulan memiliki formula ajaib entah dari mana. Namun bagi Ryan, permintaan Adel terdengar seperti lelucon kecil. Ryan tahu bahwa pada tingkat kultivasi tertinggi, seseorang dapat melintasi luar angkasa, mengendalikan matahari dan bulan sesuka hati. Betapa tidak berartinya memetik bintang dari langit baginya? Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bisa ia lakukan sekarang, tapi suatu hari nanti. Melihat ekspresi serius Ryan, Adel mulai panik. Dia tidak menyangka Ryan akan menanggapi candaannya dengan begitu serius. "Ya, ya, ya," kata Adel cepat-cepat, mengangguk-angguk
Ryan mengamati wanita itu. Meskipun dia terlihat cukup menarik, tapi menurut Ryan, tampang wanita itu berada beberapa tingkat lebih rendah dibandingkan dengan Adel. Terlebih lagi, sangat kebetulan bahwa Ryan juga mengenali wanita itu. Dia adalah teman sekelas Ryan dan Adel di SMP—Hanna Chick. Ryan mengingatnya dengan jelas karena beberapa alasan. Selain fakta bahwa Hanna pernah menjadi teman Selly, Hanna juga sering mem-bully Ryan. Hinaan keluar dari bibirnya seperti ular yang menyemburkan bisa—"Ryan sampah", "Sampah keluarga Pendragon", atau variasi lain dari hinaan yang sama. Seorang pria jangkung dan tampan yang mengenakan barang-barang bermerek berdiri di samping Hanna. Mata pria itu menatap dada besar Adel penuh nafsu tanpa malu, membuat Ryan ingin memutar bola matanya. "Adel, aku tidak percaya itu kamu!" Hanna berseru dengan nada yang dibuat-buat ceria. "Kenapa kamu tidak menghadiri acara reuni SMP tahun lalu? Kudengar kamu sekarang bekerja di Snowfield Group? Apakah kam
Di Butik Louis Vuitton, suasana elegan dan mewah menyambut Ryan dan Adel begitu mereka melangkah masuk. Aroma parfum mahal menguar di udara, bercampur dengan wangi kulit asli yang khas. Lantai marmer yang mengkilap memantulkan cahaya dari lampu kristal di atas, menciptakan atmosfer kemewahan yang nyaris memabukkan. Melihat penampilan Ryan dan Adel, pelayan toko tampak agak skeptis. Matanya menyapu pakaian Ryan yang sederhana dan sedikit usang, lalu beralih ke Adel yang mengenakan pakaian olahraga. Namun, profesionalisme mengambil alih dan dia tetap melayani mereka dengan sopan. "Selamat datang di Louis Vuitton," sapa pelayan itu dengan senyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" Adel, yang masih terlihat sedikit gugup, mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko. Dia jelas tidak begitu paham dengan mode busana pria, tetapi tekadnya untuk membuktikan sesuatu pada Hanna membuatnya nekad. Ryan, di sisi lain, hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang. Dia bisa merasakan kegugup
Petugas kasir butik Louis Vuitton mengulurkan tangan untuk mengambil kartu debit di tangan Adel. Sebelum dia bisa melakukannya, Adel menarik tangannya kembali dengan tiba-tiba. Gerakannya yang mendadak membuat kasir itu terlonjak kaget. "Nona, Anda..." petugas itu berusaha berbicara, namun Adel memotongnya dengan cepat. Adel berpura-pura melihat pakaian itu sekali lagi. Alisnya saling bertautan membentuk kerutan dan berkata, "Aku sudah memutuskan bahwa warna pakaian ini sama sekali tidak cocok untuknya. Kita cari yang lain saja." Tanpa menunggu jawaban siapa pun, Adel meraih tangan Ryan dan bergegas menuju pintu keluar. Ryan, yang sejak tadi hanya diam mengamati, mengikuti langkah Adel tanpa protes. Dia bisa merasakan ketegangan dalam genggaman Adel dan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. 'Kalau ada yang tahu aku tidak punya cukup uang di kartuku, aku akan benar-benar mempermalukan diriku sendiri,' pikir Adel panik. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai me
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy."Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan.Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu.""Tapi..." Adel masih tampak ragu."Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota."Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?""Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona.Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal, menanda
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan.""Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat.Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya.Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu.Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam."Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya."Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda sedang b
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang."Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!""Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!""Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!"Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya."Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang meraung
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka.Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul!'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi.Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu."Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!""Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!"Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat menghadap
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn.Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas.Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas.""Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?""Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun."Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?"Lucas Ravenclaw meleta
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural."Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan."Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya.Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting."Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku."Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian.""Pengasingan
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya!Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati."Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret.Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!""Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang.Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat.Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya."Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?""Tidak membunuhmu sudah m