Di Rumah Baron….
Clara dan Adrian baru saja tiba di rumah.Mereka pulang sedikit terlambat, karena Adrian mengajak Clara untuk makan malam di luar.Ini adalah pertama kali mereka dinner berdua saja.Tentu Adrian tidak akan melewatkan kesempatan ini karena dia juga tidak tahu bagaimana kedepannya.Apa setelah hari ini mereka akan mempunyai waktu lagi untuk jalan-jalan bersama karena Adrian akan semakin sibuk dengan pekerjaan. Begitu juga dengan Clara yang harus membantu Baron mengelola perusahaan mereka yang baru mulai bangkit kembali.Cindy sudah menunggu anak dan menantunya itu di ruang tamu.Dari tadi dia sebenarnya ingin menelpon Clara untuk memintanya cepat pulang, tetapi dia mengurungkan niatnya itu karena takut mengganggu dan membuat Adrian berpikir yang aneh tentangnya.Sedangkan dia berharap sekali kalau saat mereka pulang nanti Adrian membelikan sesuatu yang mahal untuknya. Jadi Cindy berusaha untuk bersabar mAdrian jadi bingung sendiri. Dia sebenarnya tidak tahu harus melakukan apa, setelah tahu kalau Pamannya sudah bertanya tentang dirinya pada Joseph. Dia yakin kalau Pamannya yaitu Sandy menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku harus menyelidiki ini secepatnya!" gumamnya yakin. Adrian memutuskan untuk tidur, ada banyak hal yang harus dia lakukan besok. Clara berdiri di depan pintu Adrian, dia ingin sekali mengetuk pintunya untuk sekedar mengucapkan terimakasih dan selamat malam. Tapi karena teringat ucapan Mamanya yang bernada ancaman, dia pun mengurungkan niatnya dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Besok paginya….Seperti biasa pagi ini mereka sarapan bersama. Tidak ada yang mengobrol, hanya terdengar bunyi alat makan dan piring yang saling beradu. Baron melirik Adrian sekilas. Dia merasa tidak enak pada Adrian karena tidak bertemu dengannya kemarin, akhirnya buka suara juga untuk sekedar
"Apa?!" ucapnya sedikit terkejut. Ronald pikir sudah salah mendengar apa yang diucapkan Baron barusan. Lalu sedetik kemudian dia pun tertawa. "Hahaha!"Baron jadi semakin kesal melihat tingkah keponakannya yang pongah itu. "Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu?!" Baron bertanya heran sekaligus geram. Ronald pun menghentikan tawanya. "Aku hanya terkejut saja, Paman. Bagaimana bisa Paman mengklaim kalau itu proyek Paman, sedangkan semua orang juga tahu kalau akulah yang memenangkan tender ini!" desisnya dengan tatapan tajam. Baron menahan emosinya karena takut penyakitnya kumat lagi. Dia berusaha mengatur napas sebaik mungkin agar tidak terlihat lemah di mata musuh yang ada di depannya saat ini. "Iya, benar! Kau memang pemenangnya tapi seharusnya itu adalah milikku! Kau pasti sudah curang! Lihat saja aku akan merebutnya darimu!" tunjuk Baron di depan wajah Ronald. Ronald meny
"Apa kamu yakin?" teriak Ronald kaget. Matanya terbelalak lebar. ["Iya, Pak. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya. Jadi mereka akan menarik kontrak kerjasama yang sudah mereka kirimkan pada kita," jelasnya dengan rinci.]"A-apa?!" Ronald tidak terima. Braakkk!!! Dia pun langsung membanting telepon itu dengan kasar sampai kabelnya terlepas. "Sialan! Apa ini ulah Paman Baron?! Ini tidak mungkin!"Ronald kembali teringat apa yang Baron ucapkan saat di ruang meeting. "Brengsek! Pria tua bangka itu selalu saja membuatku kesal! Lihat saja nanti aku akan membalas penghinaan ini!" gumamnya sambil mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Baru saja dia ingin bersenang-senang karena merasa sudah mengalahkan Baron, tapi sekarang Baron berhasil membuktikan ucapannya itu dan berbalik menyerangnya. Kilatan api dendam tampak jelas di kedua matanya. Ronald jadi semakin membenci Pamannya
Adrian pun sudah tiba di rumah. Pak Mario langsung membukakan pintu gerbang untuknya. Pria itu tidak merasa curiga sama sekali dengan kondisi pagar yang terbuka sedikit. Adrian pun turun dari mobil. Dia yakin kalau Clara sedang ada di kamar atau membaca buku di ruang keluarga seperti biasa. Dia tersenyum malu memikirkan itu, apalagi mengingat saat masih mencuri pandang ke arah istrinya saat sedang bekerja membereskan kebun belakang. Kening Adrian sedikit berkerut melihat pintu yang terbuka. Dia pun dengan cepat melangkah masuk. Adrian terkejut saat melihat Daniel berada di atas tubuh Clara. Pria yang setengah sadar itu sedang berusaha untuk membuka pakaian terakhir yang digunakan oleh Clara. Baju kaos yang dipakai istrinya sudah terkoyak di bagian depan karena ditarik paksa oleh Daniel. "Brengsek! Lepaskan tangan kotormu!" teriak Adrian dengan murka. Adrian pun berlari untuk menghampiri mereka berdua.Lalu dengan cepat dia menarik tubuh Daniel dari atas istrinya itu dan la
Keduanya saling memeluk satu sama lain dan mulai menikmati suasana romantis yang mereka ciptakan. Adrian tidak akan melepaskan kesempatan malam ini.Dia pun melepaskan pagutan bibir mereka.Kedua tangannya menangkup wajah Clara dan menatapnya dengan sorot mata yang sangat dalam. "Sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku tidak punya keberanian dan sekarang aku ingin bilang kalau … aku mencintaimu! Sejak pertama kali aku melihatmu! I love you, Clara!"Seketika itu juga mata Clara terbelalak lebar, pupilnya pun membulat.Dia tahu memang ada yang aneh dengan Adrian dan sekarang terbukti.Ternyata orang yang menikahinya selama ini menyimpan rasa yang sangat besar padanya.Lalu Clara tersenyum lalu memeluk Ardian dengan sangat erat.Adrian merasa lega karena sudah mengatakan hal yang sangat mengganjal di hatinya selama ini. Clara pun melerai pelukan mereka dan sekali lagi netra keduanya beradu sa
"Apa katamu?!" pekik Cindy dengan mata melotot seolah tidak percaya.Adrian pun menatap Clara sama terkejutnya dengan Mama mertuanya. Dia tidak menyangka kalau Clara akan mengatakan hal itu. Adrian pikir dia sudah salah dengar. "Ma, apa Pak Mario tidak memberitahu Mama soal tadi malam?" Cindy tambah bingung dengan ucapan Clara. "Soal apa? Memangnya apa yang terjadi pada kalian?!" ujarnya ketus. Clara pun memejamkan mata mencoba untuk menguatkan dirinya menceritakan hal yang menyakitkan itu pada Mamanya. "Semalam Daniel datang dan dia hampir saja memperkosaku, Ma! Lalu saat itu Adrian pulang dan langsung menghajarnya. Pak Mario sudah menelpon polisi dan membawa pria brengsek itu ke penjara!" jelasnya dengan penuhi penekanan. "A-apa?!" pekiknya dengan suara yang lebih nyaring dari sebelumnya. Belum selesai rasa terkejutnya melihat Adrian ada di dalam ka
Joana terkejut mendengar kabar yang tidak mengenakkan di pagi hari ini. Pantas saja semalam suaminya itu tidak mengangkat telepon darinya, bahkan tidak pulang ke rumah. "Apa, Pak? Apa Bapak yakin kalau itu adalah suami saya?" tanya Joana masih tidak percaya. ["Benar, Bu. Silahkan datang untuk memberikan keterangan. Selamat pagi!" ucapnya tegas.]Setelah itu panggilan pun dimatikan sepihak oleh polisi. "Halo?! Halo, Pak? Saya belum selesai bicara!" teriaknya kesal. Dia bahkan tidak sempat menanyakan kenapa Daniel bisa ada di kantor polisi. "Apa yang sudah dia lakukan?" gumamnya penasaran. Tanpa membuang waktu lagi, wanita berambut pirang itu segera bersiap. Dia akan menitipkan anak mereka terlebih dahulu ke rumah orangtuanya. Di Kantor Polisi…Jantung Joana berdegup kencang, dia berharap kalau bukan Daniel suaminya yang ada di tangkap oleh polisi. Joana akan malu saat bert
Adrian pun terdiam mendengar pertanyaan Joseph. Dia juga sempat berpikir seperti itu, tapi entah kenapa masih belum berani mengambil keputusan. "Apa aku harus kembali ke rumah, Jo?" Adrian malah balik bertanya. Joseph pun tersenyum tipis. "Tentu saja, Tuan. Kenapa tidak? Justru itulah yang aku harapkan. Tuan kembali memimpin perusahaan! Kalau tidak, untuk apa aku mencari Tuan sampai kemari?" jawabnya tegas. Adrian pun mengangguk paham. Dia memang tidak menyalahkan Joseph dalam hal itu, tapi dia masih ragu untuk ikut rencana Joseph kali ini. Apalagi setelah hubungannya dengan Clara mulai menemui titik terang, tidak mungkin dia melepaskan semua yang ada di sini begitu saja. Clara juga sudah membuka hati untuknya, hal yang sangat Adrian harapkan selama ini. Joseph pun kembali membujuk Adrian agar mau mendengarkannya. "Lagipula Tuan sudah menghabiskan banyak waktu karena showroom kecil ini. Kita bi
Adrian menatap lekat lembaran foto di tangannya secara bergantian.Sorot matanya yang tajam meneliti setiap detail petunjuk yang ada.Raut wajahnya penuh tanda tanya. “Siapa pria ini, Jo? Lalu apa yang dia lakukan dengan Pamanku?” Joseph pun duduk dan terlihat antusias sekali.“Aku yakin pria ini adalah orang penting sampai mereka harus bertemu di tempat tersembunyi, Tuan!” ungkapnya bersemangat.Kening Adrian berkerut mendengar itu. Masih tetap tidak puas dengan penjelasan Asistennya.“Tapi, kenapa kau memberikan foto ini padaku? Memangnya apa yang menarik dari dia?” ucapnya kesal dan melempar asal ke meja.Dia sudah pusing dengan masalah perusahaan dan sekarang harus mengurusi orang asing pula!“Nah itu dia, Tuan! Apa Tuan tidak penasaran siapa dia sebenarnya? Tapi, tenang saja karena aku sudah mencari tahu siapa pria itu!” ucap Joseph dengan senyuman misterius.Dia pun membuka Tab miliknya dan mendekatkan lay
Pria paruh baya itu memberikan tatapan menusuk.Sementara pemuda lajang di seberang sana tampak duduk dengan gelisah, susah payah menyembunyikan raut wajah kesal karena kembali mendengar kata-kata yang sangat ia benci.‘Huh! Lagi-lagi cuma bisa menyalahkanku!’ hanya berani menggerutu dalam hati.Tangan kanannya mengambil gelas whisky, menghabiskan sisa minuman itu hingga tandas dan meletakkannya kembali ke atas meja kaca.Butuh sesuatu yang menantang untuk berbicara dengan pria itu.“Aku sudah mengatur semuanya, Bos! Dia gadis yang bodoh. Bahkan tidak memberitahuku kalau si cecunguk itu punya rekaman videonya!” jelasnya berkelit.Yup!Sandy dan Bastian bertemu diam-diam hari ini.Tentu untuk membahas situasi yang makin rumit karena rencana pemuda itu yang hanya ampuh di awal dan menguap begitu saja setelah Adrian berhasil memutar balikkan keadaan.Sandy menyenderkan punggungnya ke sofa.Senyuman miring pun terbit di sudut bibirnya, “Hahaha! Kalian berdua itu sama-sama bodoh! Kau itu s
“A-apa? Ti-tidak mungkin!” ucapnya dengan bibir bergetar. “Kalian pasti salah orang!”[“Tidak, Pak. Kami sudah memeriksa di dalam selnya dan memastikan informasi ini dengan dokter terkait,” jelasnya lagi.]Tangan Bryan lemas dan ponselnya pun jatuh ke lantai.Pria di seberang sana masih bicara, tetapi pria paruh baya itu sudah tidak peduli.“Ti-tidak! Putraku tidak mungkin mati! Ronald … tidak mungkin! Tidaakkkkk!!!”Suaranya menggema di ruangan kerjanya.“Tidak mungkin! Hu-hu-huaaaaa!” Tangis pria itu akhirnya pecah.Kedua bahunya berguncang karena terisak pilu.Setelah semua kejadian yang dialaminya, dia selalu berusaha untuk kuat.Namun, sekarang adalah puncaknya.Putra satu-satunya dan kebanggaan baginya sudah pergi untuk selamanya.Dan dalam beberapa jam saja, berita kematian Ronald langsung laris manis mengisi stasiun televisi.Semua orang pun membicarakan berita itu dengan berbag
Sementara itu…Seorang pria paruh baya baru saja ingin merebahkan badan karena lelah seharian bekerja.Namun atensinya teralihkan saat mendengar bunyi ponsel yang ada di samping ranjang.Saat melihat nama yang ada di layar, raut wajahnya langsung berubah menjadi masam.“Halo! Untuk apalagi kau menelponku?” jawabnya ketus.Pria di seberang sana mencoba bersabar walaupun juga sama kesalnya.[“Tidak usah ketus begitu, Baron! Aku hanya ingin minta keringanan hukuman untuk Ronald! Kau bisa kan bicara pada polisi?” ucapnya sedikit memaksa.]Ya, Bryan menghubungi Baron untuk minta potongan masa tahanan putranya dan mereka tidak tahu sama sekali soal kedatangan Adrian dan rencana licik Ronald yang terbongkar.Belum ada yang memberitahu kedua pria ambisius itu.Jadi, apapun akan dia lakukan meskipun mengemis pada Adik satu-satunya.Baron merasa sangat emosi mendengarnya tetapi berusaha tetap tenang demi kesehatannya
Semua orang di ruangan terkejut mendengar ucapannya barusan.Tanpa banyak basa-basi lagi, Adrian melangkah mendekat ke arah pria yang dulu sangat sombong padanya.Orang yang menghancurkan keluarga istrinya, meskipun ada satu pengecualian karena berkat hal itu dia bisa menikah dengan Clara.Dengan cepat kedua tangannya menarik kerah baju berwarna oranye itu.Wajahnya berbalik ke belakang menatap Asistennya, “Berikan pisaunya, Jo!” teriak Adrian murka.Joseph yang tersadar langsung menaikkan celana kainnya di kaki kiri dan terlihat di balik kaos kaki itu sebuah benda tajam terbungkus dengan kulit khusus berwarna coklat.Dia pun mengambil bilah pisau lipat itu dan tanpa ragu memberikan pada Adrian.“Ini, Tuan!” ucapnya pelan.Adrian langsung mengambilnya dengan cepat dan kasar tanpa peduli kalau tangannya akan terluka.Dia langsung mengarahkan ke leher Ronald.Melihat itu salah satu petugas melarang Adrian untuk melakukan niatnya.“Jangan lakukan apapun, Pak Adrian! Ini kantor polisi dan
“Apa?!” teriaknya dengan raut wajah terkejut.Dia sampai bangkit berdiri dari kursi.Helaan napas panjang langsung keluar dari mulutnya.'Ini tidak mungkin!’ hatinya menolak percaya.Tentu saja!Bagaimana caranya dia membayar orang?Karena Joseph yakin kalau saat itu Ronald sedang berada di dalam penjara.“Kenapa pria itu masih bisa … ah, sudahlah. Cepat berikan semuanya pada kantor polisi atas nama Tuan Adrian. Aku akan menyusul ke sana!” putusnya cepat.[“Baik, Bos!”]Napas Joseph memburu lalu secepat kilat melangkah masuk ke dalam ruangan Tuannya.“Tuan, a-aku ada kabar buruk!” ucapnya sedikit ragu.Adrian memijat keningnya yang pusing karena dari pagi moodnya sudah jelek, ditambah informasi yang diterima dari Asistennya itu semua adalah masalah.“Ada apalagi, Jo?” jawabnya dengan ketus.Adrian terlihat malas meladeni Asistennya itu.Joseph pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Adrian.“Orangku bilang, kalau pria yang menabrak Tuan kemarin dibayar oleh Ronald. Dia pelaku
Klik!Panggilan telepon itu dimatikan sepihak oleh Bastian.“Ha-halo! Hei, aku belum selesai bicara!” teriaknya kencang.Nayla menatap layar ponselnya dengan nanar. Tanpa basa-basi lagi dia pun langsung membantingnya ke lantai.“Aarrgghhhh!!! Aku benci kalian semua! Dasar brengsek!”Tubuh gadis itu merosot ke lantai.Kedua bahunya berguncang karena menangis dengan histeris.Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa aman di sini.Dengan cepat dia menghapus air matanya dan segera bangkit menuju kamarnya.Nayla akan melakukan rencana yang terakhir supaya bisa hidup dengan tenang.Di Apartemen Joseph…Baru saja pria itu ingin merebahkan badan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan keningnya pun berkerut saat melihat nomor asing di layar.Meskipun ragu, ia akhirnya mengangkatnya juga.“Halo? Siapa ini?” ucapnya langsung.[“Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam. Tapi, aku sudah mendapatkan lokasi gadis itu!” ungkap pria di seberang s
Pria itu menarik sudut bibirnya dan tetap santai saja. Setelah seharian sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk, sekarang barulah ia tertarik meladeni gadis itu.[“Aku tentu saja sedang di kantor. Ada apa?” pria itu bertanya dengan nada malas.]Nayla semakin geram mendengar Bastian yang bersikap cuek padanya. Bahkan dia yakin kalau pria itu pasti sudah menonton berita yang mengguncang dirinya.Meskipun memakai inisial tapi semua karyawan perusahaan Adrian bisa menebak siapa orang yang dimaksudkan. Dan bukannya mendukung, malah mereka semua pasti akan menyalahkan dirinya.Kedua kaki Nayla menghentak ke lantai, “Kenapa kau membuat berita gosip tanpa persetujuan dariku? Kenapa membawa namaku, hah? Aku tidak terima!” teriaknya dengan kencang.Bastian sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.Tetapi, bukannya merasa bersalah malah menampilkan senyuman licik di sudut bibirnya.[“Memangnya aku harus minta pendapatmu kalau ingin melakukan sesuatu? Tidak ‘kan? Kau ti
"Baik, Tuan!" jawab Joseph patuh. Adrian membuka jasnya dengan cepat dan memberi perintah lagi, “Hapus berita murahan itu sekarang!”Pria itu pun mengangguk dan segera ke luar dari sana sebelum Tuannya semakin murka. Adrian pun mendudukkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Dia pun memegang kepalanya yang berdenyut pusing dengan kedua tangannya. "Apalagi sekarang?!" teriaknya frustasi. Tentu saja karyawan di perusahaan ini tahu siapa yang dipecat secara tidak hormat olehnya. Sebagian orang pasti ada yang percaya dengan berita itu dan Adrian tidak ingin hal itu memperngaruhi kinerja mereka. Juga dengan inisial nama yang sudah jelas merujuk pada Nayla. Adrian tidak menyangka kalau gadis itu masih berani bermain api dengannya setelah apa yang terjadi. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjauh dan tidak pernah memberikan celah pada wanita manapun untuk mendekatinya. Sedetik kemudian ia teringat kalau ponselnya masih dalam mode silent. Dengan terburu-buru Adrian merogoh saku jasnya.