Hai Readers. Terima kasih untuk yang sudah mau membaca ceritaku hingga sejauh ini. Btw, ini adalah chapter favoritku. Karena sambil nulis membuatku jadi teringat dan kangen masa-masa saat aku bekerja di salah satu hotel terkeren di kotaku. Terima kasih atas dukungan pembaca semua.
“Azzalyn. Aku ingin bicara denganmu.” Ujar Abyl dengan wajah penuh harap. “Mau bicara apa? Kamu benar-benar susah dibilangin ya? Aku udah bilang untuk nggak muncul di hadapanku lagi. Sekarang pulanglah. Jangan sampai aku makin membencimu!” “Aku nggak mau pulang sebelum kau bicara denganku.” “Jangan menyulitkanku Abyl. Aku sedang bekerja. Nggak bisa seenaknya bicara dengan tamu hotel. Bisa-bisa aku ditegur.” “Aku nggak peduli. Aku akan tetap di sini sampai kau mau bicara denganku.” “Terserah!” kata Azzalyn sambil berbalik dan kembali masuk ke dalam. Meninggalkan Abyl dan Ninda yang bengong di belakangnya sejak tadi. Abyl mengusak rambut. Sulit sekali meyakinkan Azzalyn untuk bicara berdua dengannya. “Mbak, bisa minta tolong suruh Azzalyn keluar nggak? Tolong, saya Cuma mau bicara sebentar.” Ninda tampak bimbang. “Mmm… Tapi kalau dia nggak mau gimana Pak?” tanya Ninda kalut. “Paksa Mbak! Bilang sama dia, saya akan teriak kalau dia nggak mau keluar!” ancam Abyl. Ia seperti sudah
“Yang dilakukannya bukan cuma di masa lalu Abyl, tapi juga sekarang. Hal yang ia lakukan dulu, mungkin masih bisa ku lupakan. Tapi apa yang sudah ia lakukan sekarang, tak akan pernah ku maafkan seumur hidupku.”“Apa yang sudah Mama lakukan? Tolong katakan padaku Azzalyn.”“Apa kau akan percaya? Kau hanya akan terus menyangkal kalau ku katakan semua hal jahat yang telah Mamamu lakukan pada keluargaku.”“Coba katakan, aku akan mendengar.” Kata Abyl dengan memasang wajah serius.Azzalyn diam sejenak. Ia masih menimbang-nimbang untuk mengatakan semuanya atau tidak.“Katakanlah Azzalyn, jangan ragu.” Ujar Abyl.“Baik kalau kau memaksa. Aku akan mengatakan semuanya. Om Kris dan Ibuku dulunya adalah suami istri sebelum akhirnya Riska hadir dan mengganggu pernikahan mereka. Riska datang dalam keadaan sedang mengandung, dan Ibuku yang saat itu belum hamil diusir dari rumah oleh Oma Narti yang jahat. Namun ternyata saat diusir Ibuku sudah mengandungku dan memilih untuk tak memberi tahu Om
“Aku tahu karena aku sudah mengikutimu sejak tadi.”Azzalyn tampak tak mengerti. “Maksud kamu?”Bintang tak menjawab pertanyaan Azzalyn. Ia justru mengusap lembut pipi Azzalyn yang basah karena air mata. “Apa maksudmu kalau kau mengikutiku sejak tadi Bintang?” Azzalyn mengulang pertanyaannya. Namun lagi-lagi Bintang tak menjawab. “Boleh aku memelukmu?” tanya Bintang. “Kau pasti sangat kedinginan.” Azzalyn tak menyahut. Air matanya kembali jatuh. Saat ini ia memang memerlukan sebuah pelukan yang menghangatkan tubuh dan hatinya. Melihat Azzalyn yang tak menjawab, membuat Bintang berpikir kalau gadis itu tak menolak. Dengan penuh kelembutan Bintang mendekap erat Azzalyn di dadanya yang bidang sambil mengelus lembut rambut hitam panjang milik Azzalyn. Tangis Azzalyn pecah. Kali ini bahkan lebih keras. Rasa lega karena ia sekarang tak sendiri membuatnya ingin menumpahkan segala kesedihannya sampai habis.“Menangislah Azzalyn. Jangan ditahan. Keluarkan semuanya. Aku akan menung
Bintang langsung salah tingkah. Ia terlihat menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.“Azzalyn, kenapa tiba-tiba kau mau ke rumahku?”“Aku hanya mau menumpang tidur. Apa nggak boleh?”“Boleh...” Bintang tergagap. “Tapi kenapa mendadak?”“Aku nggak punya uang lebih kalau untuk bayar penginapan, mau pulang ke kost aku nggak enak. Lagi pula, aku belum pernah main ke rumahmu kan? Aku ingin mengenalmu lebih jauh.” “Kita udah kenal lama kan? Kenapa, sekarang kau bilang ingin mengenalku lebih jauh?” tanya Bintang semakin tak paham.“Ya beda dong. Selama ini aku mengenalmu hanya sebatas teman. Sekarang aku ingin tahu lebih tentang seluk-beluk calon pacarku. Aku takut di kemudian hari terjadi hal yang nggak masuk akal seperti sebelumnya.” Ujar Azzalyn sambil menahan tawa, melihat Bintang yang baru saja menyemburkan sedikit kopinya saat mendengar ia mengatakan ‘calon pacar’ barusan.Sekarang pemuda itu terlihat memandangnya tanpa kedip, seolah-olah memastikan kalimat yang baru s
“Kenapa... Kau memintaku untuk tetap di sini?” Tanya Bintang dengan suara yang terdengar bergetar karena grogi.“Temani aku Bintang. Aku takut sendiri.”“Tapi....”“Nggak apa Bintang. Kita kan nggak ngapa-ngapain.”Bintang mengangguk. “Kalau gitu kamu tunggu sebentar nggak apa? Aku mau beresin sampah di luar, sekalian mau ambil alas tempat tidur. Aku akan tidur di bawah.”Azzalyn mengangguk. “Makasih ya.”Bintang keluar dan dengan cepat membersihkan sisa-sisa sampah yang ada di ruang tamunya. Setelah itu dia kembali masuk ke kamar tempat di mana Azzalyn berada, hendak meletakkan alas tempat tidur. Namun geraknya terhenti saat pandangannya tertuju pada Azzalyn yang ternyata sudah tertidur.Bintang hanya bisa tersenyum. Ia berpikir Azzalyn pasti sangat lelah dan mengantuk. Dengan hati-hati ia membetulkan selimut Azzalyn. Kemudian ia meletakkan bantal di lantai, di atas alas tempat tidurnya dan langsung merebahkan diri. Ia pun langsung memejamkan mata. Ia harus langsung tidur seba
“Maaf Pak. Saya nggak melakukan apa-apa. Tadi saya diminta untuk mengambil barang di atas, dan setelah saya sampai di sini saya diminta untuk mengembalikan ke atas lagi.” “Trus masalahnya di mana?” tanya Andri agak marah. “Itu adalah masalah buat saya Pak. Saya capek kalau harus bolak-balik, sementara hanya karena untuk mengambil barang, saya harus meninggalkan tugas saya sebagai Doorgirl.” “Itu kan memang sudah tugas dan kewajiban kamu di sini, harus memberi servis terbaik buat tamu kan?” “Maaf, setahu saya Mbak Dwita statusnya sekarang bukan tamu hotel, dia juga staf seperti saya. Meski mungkin jabatannya lebih tinggi, tapi kami di sini sama-sama karyawan yang nggak punya hak untuk memberi perintah. Kecuali kalau yang memberi perintah itu minimal adalah supervisor saya, baru itu saya anggap suatu kewajaran. Tapi kalau yang memerintah adalah karyawan baru yang seenaknya, saya nggak bisa Pak, karena tanggung jawab saya bukan untuk melayani dia.” Jawab Azzalyn dengan berani. Ia tak
“Anak itu, bagaimana bisa jadi nggak punya otak seperti ini?”Riska benar-benar geram mendengar pernyataan Andri. Berulang kali ia menghembuskan napas dengan kasar.“Kenapa Kak Abyl bisa senekat itu sih? Nggak takut apa kalau sampai hal ini didengar sama saingan bisnis perusahaan kita?” ujar Dwita kesal.“Abyl memang sama dengan Papamu. Sama-sama nggak pernah bisa membuang perasaan kalau sedang jatuh cinta. Mereka jadi orang yang benar-benar bodoh.” Kata Riska makin geram.“Aku heran, kenapa sih semua orang menyukai Azzalyn? Papa, Kak Abyl dan Kak Bintang. Mereka semua seolah-olah sedang tergila-gila dengan perempuan miskin dan rendahan itu.”“Dia itu pandai merayu seperti Ibunya yang murahan itu,” Riska berkata dengan nada penuh emosi.Andri yang sejak tadi mendengar percakapan antara ibu dan anak itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, tanda tak mengerti. Ia sungguh tak bisa memahami konflik apa yang sudah terjadi antara mantan Bos dan juga bawahannya itu.“Masih ada lagi yang mau
“Apa maksudmu bilang seperti itu, Riska?”“Tapi benar kan, itu sekarang yang ada dalam pikiran Mas?”“Kalau pun iya, memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku mau menjaga anakku sendiri? Aku udah pernah bilang kalau mulai sekarang aku akan menebus kesalahanku padanya selama ini. Jangan lupa Riska, kau yang telah membuat ia sebatang kara seperti sekarang.“Jangan membawa-bawa masalah itu Mas. Semua ini berawal darimu, jadi jangan berbicara seolah-olah aku adalah orang yang paling bersalah di sini. Kalau ditanya siapa orang yang paling jahat, itu adalah kamu, Mas!” kata Riska dengan napas memburu penuh emosi.“Kenapa kamu bicara seperti itu, Riska? Kamu nggak pernah seperti ini.” Bu Narti tampak tak terima saat mendengar sang menantu menyalahkan putra satu-satunya itu.“Saya udah nggak tahan, Bu. Ibu pernah membayangkan nggak kalau seandainya berada di posisi saya seperti sekarang ini? Selama puluhan tahun hidup dengan suami yang selalu masih dibayang-bayangi sosok mantan istri