Setelah pintu gerbang terbuka, serta merta tangan Rhea melemparkan Yashi ke udara, lalu dia kembali ke dalam rumah tanpa peduli dengan tangisan anak itu. Sementara Kumi secara insting, menoleh dan melihat Yashi di atasnya. “Ya Allah! Ya Allah, Yashi! Yashi…!!” Untuk beberapa detik. Semua yang ada di situ diam terpaku melihat perbuatan Rhea. Sementara Kumi panik, dia berlarian mengangkat tangannya ke atas hendak menangkap Yashi, yang menangis kencang. Lalu, Kumi melompat ke atas mengambil Yashi, tapi gagal! Arka menubruknya. Mereka sama-sama terjatuh dengan tubuh bertindihan. Arka tepat berada di bawah Kumi, dan lelaki itu tersenyum manis, memamerkan giginya yang rapi. Ia memeluk Kumi erat. “Aku sayang kamu Kumi.” “Masa bodo!” Kumi berdiri, dia mencari-cari suara anaknya yang menangis kencang. “Mommy… mommy!” jerit Yashi ketakutan. Dia berada dalam gendongan Khandra, di apit oleh Ayah dan dan ibunya. “Cepat Kak!” seru K
Saat Teguh datang, sama sekali ia tak bertanya maupun menyinggung soal Yashi. Lelaki itu tampak sibuk dengan gadgetnya. Rini tak bersuara dia memandangi wajah suaminya. Lelaki itu tampak lebih muda, segar dan sumringah. Matanya berbinar-binar dan senyumnya mengembang lebar. Semilir angin berhembus pelan. Samar, hidung perempuan itu mengendus bau parfum yang dipakai Teguh-suaminya. Aromanya bukan yang biasa dia pakai. “Mama bawakan teh dan gorengan ya Pa,” kata Rini memecah kesunyian. “Ma, aku bosan makan gorengan. Bisakah kamu bawakan aku Shiraz dan keju Gouda ke teras?” ucap Teguh tanpa melihat ke arah istrinya. Dia masuk ke rumah tanpa mengajak istrinya. “Ya,” jawab Rini pendek. Pertanyaan mulai bergumul di kepalanya. Sejak beberapa menit lalu, Teguh memberinya kejutan-kejutan luar biasa. Bukan hanya soal Yashi. Selera minuman dan camilannya telah berubah drastis menjadi kebarat-baratan. Muncul pergumulan pertanyaan di kepala Rini. Suaminya jarang mem
Tengah Malam, Rhea terbangung, karena perutnya mulas sekali. Dengan malas ia menyeret kakinya ke kamar mandi. Selanjutnya selama beberapa jam kemudian dia terpaksa bolak-balik karena diare. “Arka, bangun dong. Aku sakit perut nih,” Rhea mengaduh seraya memegangi perutnya yang melilit. Dia berulangkali membangunkan suaminya yang tertidur pulas. Lelaki itu sama sekali tak terusik dengan aktifitas Rhea. Arka bergumam tak jelas, dan malah menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya, disusul suara dengkurannya yang terdengar keras. “Dasar! Lelaki tak sayang istri! Molor saja bisanya.” Dia melemparkan bantal guling ke badan Arka dengan keras. Lelaki bangun, matanya seperti ditindih batu, susah sekali dibuka. “Apaan sih kamu, gangguin orang tidur!” ucap Arka dongkol. Setelah itu dia melanjutkan tidurnya lagi tanpa peduli dengan sakitnya Rhea. Perempuan itu kesal, tidur malamnya terganggu karena diare. Di kamar mand
Kumi memandangi wajah Yashi yang sedang tertidur pulas, lantas ia menyibakkan anak rambut yang menutupi sebagian muka putrinya itu. “Tidur yang nyenyak, Nak. Jangan takut, Mommy ada di sini.” Kumi meletakkan Yashi di tempat tidur, lalu mengecupnya sebentar. Matanya terus memandang anaknya dengan perasaan mengharu-biru. Setelah beberapa bulan tidak melihat Yashi. Bayinya itu tumbuh pesat, rambutnya yang ikal mulai panjang. Dia juga makin cantik dan menggemaskan. Sebelumnya, Kumi sempat khawatir Yashi tidak mau kepadanya. Tapi dia salah. Yashi langsung mengingatnya saat dia menggendongnya. Ibu datang menyentuh pundak Kumi. “Kamu sebaiknya tinggal bersama kami Nak, biar ada yang menjaga Yashi selama kamu kerja,” bujuk Ibu pada Kumi. Dia khawatir Kumi akan tetap tinggal di tempat kosnya. “Nantilah, kupikirkan. Kumi mau senang-senang dulu sama Yashi,” jawab Kumi. Dari segi kepraktisan, saran Ibu bagus. Dia akan lebih tenang bekerja meninggalkan Yashi diasuh oleh oma-opanya. Di sisi la
Kumi bangun dengan energi baru, ia sangat lega melihat Yashi tidur dengan nyenyak memeluk boneka bunny di sampingnya. Sedangkan ibunya bersama Ayah dan Khandra tidur di lantai, beralaskan karpet dan selimut. Mereka telah dua hari menginap di tempat kosnya yang tidak begitu luas, dan rela tidur ala kadarnya. Kumi menarik napas panjang. Ia seharusnya memaafkan sikap Ayah dan menuruti kemauan Ibu untuk kembali tinggal di rumah mereka. Dengan begitu ia lebih fokus bekerja karena Yashi berada di bawah pengawasan orang tuanya sendiri. Perempuan itu baru menyadari menjadi single parent tidaklah semudah yang diucapkan. Ada banyak faktor yang membuatnya tak bisa leluasa bergerak. Pemikirannya dalam mengasuh anak cenderung konvensional. Dia lebih menyukai kerepotan mengurus anaknya sendiri, jika ada pengasuhpun haruslah “Baru bangun, malah melamun. Apa yang kamu pikirkan Nduk?” tanya Ibu sambil menggelung rambutnya ke atas. “Yashi, Bu.” Dia mengelus pipi anaknya. Kumi tersenyum tipis, seka
“Keparat! Dasar wanita murahan kamu, Kumiiiii!!” desis Rhea. Tangannya hendak menjambak rambut Kumi. Tapi dicegah oleh karyawan minimart. “Tolong jangan buat keributan di tempat ini. Saya tahu Ibu yang salah, bukan Kakak tadi.” “Heh! Ngapain ikut-ikutan masalah saya!” bentak Rhea geram. Dilihatnya Kumi sudah hilang dari pandangannya. “Maaf Bu saya mash banyak pekerjaan.” Karyawan itu tidak mau meladeni kemarahan customersnya. Ia beranjak meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Rhea mengentakkan kakinya ke lantai. Ia pulang dan lupa dengan tujuannya datang ke minimarket. Sebaliknya, Kumi tengah berada di jalan raya. Ia mengumpat berulang kali di dalam mobilnya. “Kenapa sih dia selalu memusuhiku. Memangnya aku salah apa coba. Seenak udelnya sendiri dia memaki orang. Hah! Sok suci banget, lupa ngaca kali ya? Siapa juga yang mau ngerebut Arka?” Bibir Kumi mencibir. “Apa perlu aku bawain kaca segede gaban? B
Kumi terperangah! Dia mau bersembunyi, tapi terlambat! Perempuan itu menoleh dan melihatnya. Ia sekarang berjalan kea rah Kumi. Kaki Kumi serasa terpaku di lantai. Ia menunduk, perasaannya bercampur aduk. Dia mau mengumpat Shaka, kenapa lelaki itu tak memberitahunya saat dia ada tamu? Ditekannya rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul menggelitik hatinya. “Halo, perkenalkan namaku Nada? Kamu Kumi kan?” sapa Nada ramah. Ia tergelitik melihat wajah pias Kumi. “Sorry, kita bertemu di waktu yang kurang tepat.” “Eh, i-iya, s-saya Kumi,” jawab Kumi gugup, jantungnya berdetak tak beraturan. “Mmm… tolong jangan salah sangka, saya tidak menginap, saya hanya meminjam pakaian Shaka. Karena, karena saya dapat accident sebelum mengantarkan makanan Shaka,” ungkap Kumi panjang lebar. Ia khawatir terjadi kesalah pahaman di antara mereka berdua. Nada tersenyum lebar. Ia memperhatikan kemeja yang di pakai Kumi. “It’s okay. Kamu santai saja.
Hmmm… jadi betul foto yang diperlihatkan Khandra tempo hari? Kumi bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan kabar yang ia dapatkan, sebelum dia mendapatkan bukti-bukti konkret atau melihatnya secara langsung. Sehingga waktu itu dia setengah hati menyerap cerita dari Khandra. “Apakah dia bilang sendiri kepadamu soal itu?” tanya Kumi dengan mata menyelidik Shaka mesem. “Aku tahu dari Rio. Dia mendapatkan informasi itu dari temannya.” Masuk akal! Komunitas Rio luas dibandingkan dengan Kumi. Selain itu dia pasti gampang mendeteksi orang yang sefrekuensi dengannya. Katanya mereka punya “g*yradar”. Dia mengerti sekarang, kenapa sikap Shaka dan Nada berdua terkesan tak peduli satu sama lain. “Satu-satunya alasanku mempertahankan pertunangan adalah Nenek. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sudah muak harus berpura-pura happy di depannya,” ucap Shaka. Ia menghembuskan napas pelan ke udara. “Apartemen tadi kubeli supaya aku bisa melepaskan di
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad