Hmmm… jadi betul foto yang diperlihatkan Khandra tempo hari? Kumi bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan kabar yang ia dapatkan, sebelum dia mendapatkan bukti-bukti konkret atau melihatnya secara langsung. Sehingga waktu itu dia setengah hati menyerap cerita dari Khandra. “Apakah dia bilang sendiri kepadamu soal itu?” tanya Kumi dengan mata menyelidik Shaka mesem. “Aku tahu dari Rio. Dia mendapatkan informasi itu dari temannya.” Masuk akal! Komunitas Rio luas dibandingkan dengan Kumi. Selain itu dia pasti gampang mendeteksi orang yang sefrekuensi dengannya. Katanya mereka punya “g*yradar”. Dia mengerti sekarang, kenapa sikap Shaka dan Nada berdua terkesan tak peduli satu sama lain. “Satu-satunya alasanku mempertahankan pertunangan adalah Nenek. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sudah muak harus berpura-pura happy di depannya,” ucap Shaka. Ia menghembuskan napas pelan ke udara. “Apartemen tadi kubeli supaya aku bisa melepaskan di
Setelah melakukan meeting dengan Fuad dan partner bisnisnya yang lain. Shaka melanjutkan meeting berdua dengan Matthew. Kumi dan Rio telah kembali ke kantor. Matthew memperlihatkan grafik laporan pertumbuhan PT. Dream Land merosot tajam. Lelaki tua itu mengamati Shaka. Anak muda yang seusia anaknya memainkan bolpoin di tangannya. Sedangkan urat-urat di keningnya tampak menonjol. Setelah dihantam sederet permasalahan, PT. Dream Land yang bergerak di bidang real estate susah payah untuk bertahan, ditambah dengan adanya virus corona dan semakin mencuat ke permukaan setelah menghilangnya Bernard, sang CEO yang membawa uang perusahaan. “Bagaimana kita mengatasi masalah ini?” tanya Shaka. Ia mengatupkan bibirnya rapat. Otaknya berpikir keras bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Matthew selain CEO senior, dia adalah salah satu orang kepercayaan Shaka dan keluarganya. Sebelum orang tua Shaka meninggal, mereka telah menit
“Pegangan yang kuat Kumi!” teriak Shaka. Untuk menghindari kecelakaan, reflek, Shaka membanting stir ke kanan. Lantas ia mengambil celah menyalip mobil yang berada di depannya. Adrenalinnya terpacu. Jantung Shaka berpacu lebih cepat dari biasanya. Dia tidak mau mati konyol karena kebodohan orang lain. Sementara Kumi, ia pasrah, mulutnya komat-kamit membaca doa. Aksi Shaka menghindari tabrakan itu membuatnya tegang. Keringat dingin meluber ke mana-mana.Shaka lega. Tadi, nyaris saja dia menabrak orang. Setelah agak jauh, dia menepikan mobilnya di tepi jalan dan melihat wajah Kumi yang pucat pasi. Sedetik kemudian, tangannya meremas jemari Kumi yang berkeringat dingin. “Tenanglah, kita aman.” “I-iya, k-kita selamat. A-aku ta-tadi takut sekali, tidak bisa bertemu dengan Yashi lagi.” Kumi menjawabnya dengan terbata-bata. Ia belum meninggalkan anaknya sendirian di dunia. Kumi mengambil botol air untuk dirinya dan Shaka. Dia meneguknya beber
Kumi terduduk di tepi jalan, memandangi lalu lintas yang masih ramai. Lalu ia bergantian menatap langit yang gelap, seperti pikirannya saat ini. Perlahan hujan mulai turun. Kumi tetap diam, duduk mematung. Dia membiarkan air hujan menembus kulitnya. Dingin. “Lagi patah hati ya Mba?” kata seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor. Ia berhenti di depan Kumi dan membuka helm teropongnya. “Gak, saya lagi main hujan-hujanan.” “Ikut saya aja Mba, nanti saya belikan makanan dan minuman,” ajak lelaki itu. Tiba-tiba Shaka muncul. Dia membawa payung. “Hei, jangan ganggu istri saya!” Dia berteriak lantang. Lelaki yang mengendarai motor itu menoleh. Dia tersenyum mengejek. ”Oh, kirain dia wanita stres.” Lalu dia pergi tanpa basa-basi. Shaka melihat ke Kumi, dia memayungi wanita itu. “Maafkan bila aku salah kata. Tapi, aku benar-benar frustrasi dengan keadaan ini. Aku cinta kamu Kumi! Aku tak
Lorong menuju kamar jenazah begitu lengang dan menyeramkan. Kumi melirik jam di tangannya, hampir tengah malam. Lamat-lamat dia mendengar namanya di panggil. “Kumi… Kumi… cepatlah, aku kedinginan di sini.” Wanita itu menoleh ke kiri dan ke kanan, hanya dia dan AKP Fauzi yang berjalan. Tidak ada orang selain mereka. “Pak, apakah Anda mendengar suara?” tanya Kumi. Spontan tangannya memegang lengan AKP Fauzi. Lelaki di samping Kumi itu tersenyum. “Bacalah doa, jika Anda takut.” Bulu kuduk Kumi semakin merinding. Sementara itu, bayangan perempuan yang tadi berjalan di sampingnya. Kini mendahuluinya, jalannya seperti melayang. Meski dia gemetaran, mata Kumi terus mengikutinya lantas menghilang masuk ke kamar jenazah. AKP Fauzi membuka pintu kamar jenazah. Seketika bau karbol menyengat hidung Kumi. Ada satu petugas yang menunggu di sana. Lelaki tua yang berusia sekitar 50 tahunan. Mukanya kaku dan masam tanpa senyum sedikitpun. “Malam P
“Aku juga ikut,” sela Shaka. “Rio, tolong pesankan tiket buatku dan Arka ke Bali, kamu tanya Kumi jam berapa dia berangkat.” Kumi tidak memberikan komentarnya. Kepalanya sakit dan ia sangat lelah. Tak jauh dari tempatnya, Ayah dan Khandra duduk terkantuk-kantuk menunggu kremasi Nora. Rasa kasihan timbul di hatinya. Wanita itu mendekati mereka sambil membawa nasi kotak yang ia pesan. Dia lalu menepuk pundak Khandra. “Khandra, apa kamu dan Ayah sudah makan?” Pemuda gagah itu menggeleng. “Belum Kak.” “Makanlah dulu, nanti kamu sakit.” Khandra mengiyakan. Ia membangunkan ayahnya. “Kamu ajak yang lain juga Nduk,” Kumi mengiyakan. Lalu mereka makan bersama-sama. Shaka berulang kali melihat ke Kumi. Dia sudah berganti pakaian. Semalam dia menelpon Khandra untuk membawakan Kumi baju ganti. Diam-diam lelaki itu semakin mengagumi Kumi. Ia tahu wanita itu lelah, tapi m
“Kamu jangan sembarangan bicara Ka!” Mata Kumi berkilat marah. “Abu Nora baru kita larung, sekarang kamu malah membuat gossip tentang dia.” Wanita itu jengkel sekali dengan Arka. Shaka melihat suasana menjadi tegang. “Kumi, Arka sebaiknya kita bicara setelah kita di darat. Tolong tenangkan pikiran kalian dulu,” nasehatnya. “Aku menghamili Nora, Kumi. Dia memberitahuku kehamilannya kemarin. Tapi aku malah menyuruhnya menggugurkannya.” Arka menangis. “Ya Tuhan, anai aku tentang penyakitnya. Aku tidak akan sebodoh itu!” Kumi diam. Air matanya berderai mendengarkan cerita Arka. Ia lalu melemparkan pandangannya ke bunga mawar yang berserakan di tengah laut dengan tatapan gamang. Belum usai rasa terkejutnya dengan kematian Nora, kini ia harus menerima kebenaran pahit soal kehamilan temannya itu. “Malang sekali nasibmu, Nor.” Kumi mengusap bulir-bulir bening yang jatuh berdesakan di pipinya. Meski hatinya mencoba un
“Apa kamu tidak melihat Arka sedang rapuh saat ini?” Kumi mencibir. “Biarkan saja! Dia pantas menerimanya! Arka telah banyak menyakiti hati perempuan!” erang Kumi. Dia menghempaskan pantatnya di atas kursi dengan kasar. “Bukan hanya Nora, tapi aku juga dia sakiti, dan aku akan selamanya hidup dengan luka dan cerita yang ia torehkah. Tidakkah kamu mengerti itu?” ucap Kumi lirih. Shaka menghela napas. “Aku tahu sayang…” lelaki itu tak mau meneruskan kata-katanya. Ia takut akan merusak mood makan Kumi. “Sebaiknya kita turun sekarang ke lobbi,” ajak Shaka. Dia memperhatikan wajah Kumi yang cemberut. Kumi melengos. “Pergilah sendiri, aku malas keluar.” “Aku tidak mau pergi kalau kamu tidak ikut,” sahut Shaka. “Apa kamu tidak kasihan sama aku? Perutku lapar sekali, rasanya mau pingsan…” Dia tidur telentang di atas pembaringan, sambil mengusap perutnya. Kata-kata Shaka membuat Kumi tertawa
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad