Doni termangu. Dia tahu nama Shaka Mahasura sebagai pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Sayangnya dia belum pernah bertemu dengannya. Maka ia mengambil ponsel dan mengetik nama lelaki itu di gawai. Seketika Doni gemetar melihat foto yang terpampang di ponselnya. Kesombongannya langsung tiarap. Doni langsung mengatupkan kedua tangannya ke depan dada, memohon ampun pada Shaka. “Maafkan saya Pak, maafkan…” kata Doni ketakutan. Tangisnya pecah, ia sangat takut sekali Shaka memecatnya. Shaka tersenyum. “Aku maafkan. Lain kali, jangan begitu ya. Sekarang pergilah dan jangan pernah ganggu Kumi lagi.” “B-baik P-pak!” Doni langsung pergi tanpa menoleh. “Sekarang aman,” kata Shaka. Tawa Kaluna berderai ketika Shaka mengangkatnya ke udara, pria itu berputar dua kali lalu mengayunkan bayi itu ke kanan dan ke kiri. Mata kumi merebak melihat kegembiraan Kaluna dan Shaka. Ia tahu pria itu sangat menyayangi Kaluna. Kumi c
“Itu Kaluna sedang mengejar anak kucing.” Tunjuk Shaka kalem. Jarak Kaluna sekitar satu setengah meter dengan mereka. Kumi mengikuti arah telunjuk Shaka dan melihat Kaluna merangkak mengejar anak kucing. Ia berlari mengambilnya. “Aduh, kamu membuat Mommy khawatir.” Kumi memencet hidung Kaluna. “Biarkan saja Kaluna bermain. Kita awasi dia dari sini,” teriak Shaka. Sementara itu, tak jauh dari mereka sepasang mata memperhatikan tingkah laku Kaluna dengan seksama. Dia adalah Rini-mantan mertua Kumi. Tawa bayi itu terus terngiang di telinga Rini. Semalaman ia kurang tidur karena membayangkan mendekap bayi itu. Bayi cantik bermata belok, kulitnya putih, badannya montok dengan rambut ikal di kuncir dua, telah membuatnya jatuh cinta. Wanita berperawakan tambun itu melenguh. Kerinduannya dengan kehadiran suara bayi semakin membuat dadanya sesak. Ia lalu beringsut ke tepi jendela, melihat serumpun bunga mawar yang mekar di balcony dengan tatapan sayu. Pelan-pelan
Teguh menunduk. Ia membenarkan kata-kata istrinya. Rini memang tidak cantik, tapi dia pandai mengatur rumah tangga dan menyenangkan perutnya. “Arka mau pindah saja dari rumah ini!” “Silahkan saja, mama tidak keberatan! Tugas Mama akan jauh lebih ringan tanpa kalian berdua.” Arka tidak percaya dengan pendengarannya. Ia tidak menyangka reaksi mamanya berbanding terbalik dengan sangkaannya. Mama sama sekali tidak histeris dengan keputusan yang ia buat untuk pindah rumah. Ia juga tak merayu Arka untuk tetap tinggal bersamanya. Aneh! “Apa Mama yakin, Mama tidak akan sedih Arka dan Rhea pindah dari rumah ini?” tanya Arka sebelum langkahnya mencapai pintu. “Tidak! Sama sekali tidak! Kamu sudah punya istri dan dia wajib melayanimu. Bukan malah Mama yang menjadi pelayan istrimu.” “Ma, jangan tersulut emosi. Nanti Mama menyesalinya,” tegur Teguh, suaminya. Namun Rini tidak mendengarkan perkataan suaminya. Ia turun ke bawah. Diik
“Sial!” rutuk Arka berkali-kali. Matanya meleng dan menubruk mobil angkot yang sedang parkir sembarangan di tepi jalan dan membuat body mobil angkot tersebut penyok di bagian belakangnya. Sopir angkot itu turun dan menggedor kaca jendela mobil Arka dengan kasar. Arka menurunkan kaca mobilnya. “Lo apa gak lihat mobil gue parkir? Mata elu dibawa ke mana sih? Gue gak mau tahu, pokoknya lo harus tanggung jawab sekarang!!” Sopir angkot itu meneriaki Arka. “Abang yang salah! Abang parkir sembarangan dan itu bukan murni kesalahan saya!” elak Arka. Lelaki itu mencengkram kerah leher Arka. “Banyak alesan lo! Gue gak mau tahu, elu harus tanggung jawab.” Matanya merah. Bau keringatnya menusuk indra penciuman Arka. Arka membaca situasi, tak ada gunanya ia berdebat di sini, memperdebatkan asal muasal siapa yang salah dan benar. Semua itu hanya akan memperlambat waktunya menuju kantor. Pria itu mendengus. Ia sedang tergesa-gesa karena Shaka akan datang ke kantornya. “
Arka tak mengira jawaban Kumi begitu menohok. Mata dia blingsatan menahan amarahnya. “Berlagu sekali dia,” gerutunya kesal. Ia duduk di depan Rio dengan muka berlipat. Rio mendengar gerutuan Arka. Tanpa bicara dia meraih ponsel dan mengambil foto lelaki di depannya itu. “Hei Bos, jangan salahkan Kumi. Dia tidak salah, justru dia memperingatkan kamu untuk berhati-hati pacaran dengan sekretarismu itu!” Kemudian Rio memberikan hasil jepretannya pada Arka. Mata Arka hendak melompat keluar melihat bekas lipstick warna merah sangat mencolok sekali di kerah kemejanya yang berwarna biru langit. “Ah f*ck!” umpat Arka dengan murka. Mukanya kini merah karena malu. Dia ingat Niken tadi menciumnya! Kedua tangannya mengepal. Shaka pasti tadi melihatnya. Dia mengkhawatirkan reputasinya di depan Shaka. “Menurutmu apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pada Rio. Rio mengangkat kedua bahunya. “Jangan tanya saya. Saya tidak berpengalaman soal itu. Lagian Anda sendiri yang bikin mas
Muka Arka seketika berang melihat Kumi berada di kantornya ia langsung menghentikan permainannya. Cepat-cepat dia menarik resleting celananya kemudian menurunkan Niken dari meja dengan kasar. “Pergilah!” Napasnya masih memburu. Niken berusaha menutupi rasa kikuknya dengan tersenyum pada Kumi, sembari merapikan rambut dan bajunya, lalu dia keluar. Arka bersungut dan menghampiri Kumi. “Apa kamu pikir ini kantormu? Masuk seenak jidatnya sendiri?” Lelaki itu berteriak menutupi rasa malunya. Kumi mendengkus jengkel. “Iya aku salah! Tapi kamu lebih salah karena melakukan seks saat bekerja.” “Ini kantorku, aku bisa melakukan apa saja sesuai kehendakku. Apa kamu sudah jelas! Satu lagi, kamu tak bisa mengaturku!” Arka semakin mendekat. Samar-samar ia mencium parfum Kumi yang lembut. “Terus kamu mau apa ke sini? Apa kamu sengaja mau mencari kesalahanku heh?” Dia mengelus pipi Kumi. Halus. “Dasar bajingan!” rutuk Kumi. “Aku mau mengambil ponselku yang ke
Mendengar teriakan Sulis. Kumi menoleh dan melihat Shaka tergeletak di tanah. “Shaka!” Ia berdiri mematung. Dia dilema mana yang harus ia tolong Parang atau Shaka? Kumi menoleh ke Parang. Lelaki itu membuka mata dan melambaikan tangannya pelan. “Kumi… tolong…” Napas Kumi nyaris terhenti, ia tak kuasa melihat Parang yang bersimbah darah. Ia menduga Parang terjatuh dari pohon mangga. Lalu pisau yang dibawanya menancap diperutnya. Selanjutnya, otak Kumi berpacu cepat bagaimana menyelamatkan nyawa kakak beradik itu. Dia berlari mengambil pakaian dan handuk di jemuran kemudian memeriksa luka tusuk di perut Parang. Ia tidak berani mengambil resiko mencabut pisau yang tertancap di perut Parang. Tapi, Kumi mencoba menghentikan pendarahannya dengan menumpuk handuk lalu menekan perut Parang. “Mbok Irah sini. Tolong Mbok Irah lakukan seperti saya!” ia panik, tapi tetap berusaha untuk tenang. Mbok Irah mengikuti perintah Kumi. “Sulis cepat pan
Hati Kumi seketika patah mendengar berita dari ibunya. Ia berusaha untuk tenang, meski hatinya gundah. “Ibu, tolong bawa Kaluna ke Rumah Sakit Siloam. Kumi ada di sini, Parang kecelakaan dan Shaka terkena serangan jantung.” Suara Kumi tercekat di tenggorokannya. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. “Apa mereka baik-baik saja Nduk?” suara ibunya terdengar cemas. “Ibu siap-siap saja, Kumi akan pesankan taksi!” Kumi menutup saluran telponnya. Dua orang yang disayanginya sedang sakit, dan membutuhkan dirinya. Kumi mengkhayal, andaikan saja dia punya kantung Doraemon, dan bisa membelah dirinya jadi dua, mungkin masalahnya lebih ringan. Kemudian dia menelpon Dokter Ridwan, setelah itu dia menelpon Rio, memberitahu keadaan anaknya. “Cepatlah kembali ke rumah sakit. Anakku sakit dan sedang dalam perjalanan ke mari.” “Oke dear! 10 menit lagi gue sampai!” jawab Rio di seberang. 10 menit terasa lama sekali, Kumi berjal
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad