Mendengar teriakan Sulis. Kumi menoleh dan melihat Shaka tergeletak di tanah. “Shaka!” Ia berdiri mematung. Dia dilema mana yang harus ia tolong Parang atau Shaka? Kumi menoleh ke Parang. Lelaki itu membuka mata dan melambaikan tangannya pelan. “Kumi… tolong…” Napas Kumi nyaris terhenti, ia tak kuasa melihat Parang yang bersimbah darah. Ia menduga Parang terjatuh dari pohon mangga. Lalu pisau yang dibawanya menancap diperutnya. Selanjutnya, otak Kumi berpacu cepat bagaimana menyelamatkan nyawa kakak beradik itu. Dia berlari mengambil pakaian dan handuk di jemuran kemudian memeriksa luka tusuk di perut Parang. Ia tidak berani mengambil resiko mencabut pisau yang tertancap di perut Parang. Tapi, Kumi mencoba menghentikan pendarahannya dengan menumpuk handuk lalu menekan perut Parang. “Mbok Irah sini. Tolong Mbok Irah lakukan seperti saya!” ia panik, tapi tetap berusaha untuk tenang. Mbok Irah mengikuti perintah Kumi. “Sulis cepat pan
Hati Kumi seketika patah mendengar berita dari ibunya. Ia berusaha untuk tenang, meski hatinya gundah. “Ibu, tolong bawa Kaluna ke Rumah Sakit Siloam. Kumi ada di sini, Parang kecelakaan dan Shaka terkena serangan jantung.” Suara Kumi tercekat di tenggorokannya. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. “Apa mereka baik-baik saja Nduk?” suara ibunya terdengar cemas. “Ibu siap-siap saja, Kumi akan pesankan taksi!” Kumi menutup saluran telponnya. Dua orang yang disayanginya sedang sakit, dan membutuhkan dirinya. Kumi mengkhayal, andaikan saja dia punya kantung Doraemon, dan bisa membelah dirinya jadi dua, mungkin masalahnya lebih ringan. Kemudian dia menelpon Dokter Ridwan, setelah itu dia menelpon Rio, memberitahu keadaan anaknya. “Cepatlah kembali ke rumah sakit. Anakku sakit dan sedang dalam perjalanan ke mari.” “Oke dear! 10 menit lagi gue sampai!” jawab Rio di seberang. 10 menit terasa lama sekali, Kumi berjal
“Kenapa kamu baru bilang sekarang Rio?” Ingin sekali Shaka menggampar Rio, yang tidak memberitahu perihal anaknya Kumi yang masuk ruang PICU. “Sorry Bos! Ini atas permintaan Kumi! Dia tidak ingin Bos Shaka jatuh sakit lagi,” kata Rio menenangkan Shaka. Shaka tertunduk. Di saat darurat pun. Kumi masih memikirkannya. Emosinya perlahan turun. Nenek menghela napas panjang. Meski Kaluna bukan cucunya, dia turut sedih. Bayi itu lucu dan cantik sekali dan telah menjadi malaikat penghiburnya. “Rio, tolong panggilkan Dokter Ridwan kemari. Nenek mau bicara dengannya,” pinta Nenek hangat. “Baik Nek.” Rio kemudian menghubungi Dokter Ridwan. “Rio, tolong kamu jaga Nenek. Aku mau melihat Kaluna dan Kumi.” Shaka tergesa-gesa memakai sandal selopnya. Di depan pintu dia bertubrukan dengan Rhea yang datang bersama Arka. “Sorry!” kata Shaka tanpa memedulikan kedatangan mereka. Ia cepat-cepat berlari.
“Oma… Oma… “ Kaluna tertawa-tawa memanggil Omanya. Dia cantik sekali dengan gaun putih dan bandana berenda menghiasi kepalanya. Disekelilingnya ada cahaya putih yang mengelilinginya. Ibu tercekat melihat ada perempuan cantik memakai gaun putih dengan model yang sama seperti Kaluna datang lalu menggandeng tangan Kaluna dan mengajaknya pergi. Sebuah mobil sedan hitam telah menunggu mereka. “Jangan dibawa cucuku! Jangan dibawa cucuku.” Ibu berteriak-teriak lalu mengejar Kaluna. Ia menarik bocah itu ke dalam dekapannya, sebelum perempuan cantik itu masuk ke mobil. “Bu, bangun… bangun!” Ayah menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. Ibu terbangun dengan napas tersengal-sengal. Hatinya tiba-tiba tak tenang. “Kaluna… Kaluna. Antarkan Ibu ke Kaluna sekarang.” Ia lalu menarik tangan suaminya. *** Dokter Nuri bersama 3 orang perawat datang. Mereka mengecek keadaan Kaluna kemudian Dokter Nuri melakukan CPR pada Kaluna. “Kaluna, kembalilah pada kami, kasihan mom
Darah Kumi mendidih. “Dia bukan anakmu, dan aku tak pernah mengijinkan kamu maupun keluargamu untuk menengoknya!” tukasnya dingin. “Aku yakin aku papanya! Dan aku siap melakukan tes DNA!” kata Arka dengan percaya diri. Sebenarnya saat mencari Rhea, Arka tadi tanpa sengaja melihat keluarga Kumi tergopoh-gopoh berjalan. Karena penasaran ia mengikuti mereka. “Ayolah Kumi, itu sudah masa lalu. Aku mau memperbaikinya.” Arka mencoba memegang tangan Kumi. Tapi perempuan itu menepisnya. “Ngomong-ngomong siapa yang sakit?” “Gak usah sok akrab deh. Toh tidak ada untungnya sama sekali buat kamu.” Kumi membalikkan badannya dan ia kaget melihat Ayah berdiri di depannya. “Kumi, biarkan Arka melihat Kaluna,” kata Ayah mencoba menjadi penengah. “Untuk apa aku bermanis-manis di depan orang yang pernah menyakitiku?” balas Kumi acuh. Ia acuh dengan nasehat ayahnya. Shaka melihat perubahan mimik Kumi yang tak nyaman
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Kumi dengan nada geram saat melihat Arka kembali. “Arka memaksa Ayah Nduk.” “Nama yang pas untuknya adalah Ava Arabela artinya suara anak perempuan yang cantik.” Arka meneruskan omongannya yang tertunda tadi. Kumi semakin merengut, ia kesal sekali dengan ayahnya. “Sudah… sudah, kita kocok aja nama mana yang keluar.” Ibu mengambil jalan tengah. “Jika diteruskan perdebatannya ini tak bakalan selesai.” Kemudian ia mengambil bolpoin dan menulis nama untuk anak Kumi, lalu menggulungnya. “Kumi ambillah,” perinta Ibu. Kumi mengambil satu gulungan kertas itu. Senyumnya merekah. “Yashi Ayra!” - artinya kemenangan yang diberkati. *** Esok harinya, Kaluna dipindahkan ke kamar perawatan. Kesehatan Yashi semakin baik. Setelah 2 hari di kamar perawatan, Dokter Nuri mengijinkannya pulang. Kumi menciumi wajah anaknya dengan rasa bahagia. “Yashi, kamu sud
Minggu ke tiga. Kumi tergesa-gesa berjalan melintasi deretan kursi kosong yang tertata rapi di sebuah rumah makan Sunda. Musik gamelan Sunda lirih terdengar, sedikit meneduhkan hatinya yang panas. Suasana masih lengang. Hanya ada satu waiter yang sedang membersihkan meja. Mata wanita itu berkeliling dan menemukan sesosok lelaki yang telah menunggunya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Kumi datang. Tapi Kumi menyambut senyumnya dengan dingin. Guratan-guratan kekesalan tampak jelas di wajah Kumi yang lelah. “Duduklah! Aku mau kamu menemaniku makan!” pinta Arka dengan senyumnya yang menawan. Perut Kumi kaku melihatnya. ”Tidak usah! Berapa nomor rekeningmu. Aku mau transfer uangmu sekarang!” Ia lalu merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Arka memegang tangannya, dan memaksanya duduk. “Duduklah dulu, please. Kalau kamu tidak mau makan, biar kupesankan minum untukmu. Setelah itu aku janji akan memberikan nomor rekeningku.” Denga
Kumi kelabakan, dia mengejar Shaka. “Wait Shaka! Itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Arka telah membayar uang rumah sakit Yashi tanpa sepengetahuanku. Aku tadi telah bertemu dengannya untuk mengembalikan uangnya, tapi dia menolak,” sanggah Kumi. “Kalau kamu tidak percaya ini uangnya.” Kumi mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang. “Kenapa dia menolak?” tanya Shaka. Matanya mengamati mata Kumi yang berkaca-kaca. Emosi wanita kembali bergulir. Ia memalingkan muka pada serumpun bambu kuning yang tumbuh subur di samping coffee shop. “Dia mau aku dan Yashi kembali padanya,” imbuh Kumi lirih, suaranya tersangkut di tenggorokannya. Shaka mengepalkan tangan. “Kurang ajar! Semakin dikasih hati semakin belagu dia!” Kemudian dia mengambil ponsel dan menelpon seseorang. “Tolong kirimi saya nomor rekening Bapak Arka segera!” ia lalu menutup telponnya. “Berapa uang Arka?” mata Shaka fokus menatap layar ponselnya. Kumi memberitah
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad