Bab 174Matahari sudah lama condong ke barat. Di terminal keberangkatan bandara Soekarno – Hatta, Kumi duduk mengamati lalu lalang penumpang yang hendak berangkat.Mata perempuan itu tertuju pada perempuan gendut yang sedang menggendong bayi dan menyeret kopor. Sekilas wajahnya mirip Tante Yuni,Kumi mengamati perempuan itu yang mulutnya sibuk memanggil 2 anak lelaki kembarnya Bima dan Bumi yang aktif. Umur mereka kira-kira 5 tahun. Kelihatan sekali wanita itu kewalahan menangani anaknya.“Bima, Bumi, jangan berlarian. Nanti kita ketinggalan pesawat!”Ke dua anak itu berlarian ke sana ke mari, mereka sama sekali tidak patuh dengan perkataan sang ibu. Kumi mengelus dada melihatnya. Ada rasa kasihan menyelinap di hati Kumi.Ia teringat pada anaknya, Yashi yang tenang saat perjalanan. Anaknya tidak pernah merepotkannya meski perjalanan yang mereka tempuh sama sekali tidak nyaman. Hhhh… ibu macam apakah dia? Kumi pergi tanpa pamit pada anak dan kedua orang tuanya.Sebuah pertanyaan bergul
Bab 175“A-apa maksud Anda?” Bibir Kumi bergetar saat mengucapkannya. Dia tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh lelaki yang ikut memeriksa Dara.“Teman Anda meninggal Mba. Profesi saya dokter. Saya menduga beliau terkena serangan jantung waktu turbulansi hebat tadi. Sekaranfg aya akan melaporkannya kepada awak kabin pesawat.” Lelaki itu berjalan ke tempat awak kabin berada.“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Suara Kumi tercekat di kerongkongannya. Ia teringat dengan permintaan Dara padanya sebelum pesawat lepas landas. “Mba, siapa tahu ini perjalanan saya yang terakhir.” Mata Kumi dipenuhi oleh air mata.Rasa menyesal merangkul Kumi. Andaikan ia tahu Dara akan meninggal, dia akan memberikan tempat duduknya tadi. Tetapi semuanya telah terlambat, wanita itu telah meninggal dunia tanpa bisa melihat keindahan awan dari balik jendela pesawat.Kumi kemudian menoleh pada 3 anak Dara yang masih balita. Bayi perempuannya menangis mencari puting susu Dara. Bayi itu kehausan dan tak tah
Bab 176 “Apakah tidak ada telpon dari pihak keluarganya yang menanyakan kabar Dara dan anak-anaknya?” tanya Kumi. Rasanya aneh, bila suami maupun keluarganya tidak menghubungi seorang istri yang bepergian membawa 3 anaknya sendirian. “Belum ada Kak. Kami sudah merilis kematian Ibu Dara melalui sosial media kami dan berharap pihak keluarganya menghubungi kami segera.” Pikiran jelek muncul di benak Kumi. Bagaimana bisa telpon suami berganti sang istri tidak mengetahuinya? Mungkinkah suami Dara selingkuh dan sengaja mengecoh istrinya supaya berangkat ke Bali terlebih dahulu supaya dia bisa bersenang-senang dengan kekasihnya? Namun, Kumi tidak mau memanjangkan pikirannya dengan menambahkan asumsi-asumsi yang justru membuat pikirannya kian keruh. Ia putus pikiran negatifnya itu dan kembali fokus pada anak-anak Dara. “Iya, saya kira itu langkah bagus. Saya tunggu saja berita selanjutnya. Kasihan juga melihat anak-anak itu,” ucap Kumi sendu. Arum mengiyakan. “Maaf Kak, saya harus pergi
Bab 177Lelaki itu berlalu dari hadapan Kumi dengan langkah sombong dan ia ingin meninju muka songongnya.Kumi kembali masuk ke dalam kamarnya. Bima dan Bumi masih menangis, mereka bergulingan di lantai. Kemudian untuk ketiga kalinya si adek muntah-muntah lagi. Kumi panik! Ia takut si bungsu dehidrasi. “Kakak, Tante tahu kalian lelah dan sedih. Tapi tolong berhentilah menangis.” ratapnya memohon. Kumi tidak bisa berpikir dengan jernih menghadapi situasi chaos di depannya. “Di mana dokternya, kenapa lama sekali?” tanya Kumi ke resepsionis melalui telepon sambil membersihkan muntahan dengan tissue.“Dokter apa Bu?” tanya resepsionis yang bertugas shift malam dengan nada bingung.“Sejam lalu saya menelpon resepsionis perempuan dan bilang kalau saya butuh dokter. Anaknya Ibu Dara sedang demam tinggi, dan sampai sekarang dokternya belum datang!” Kumi mulai emosi.“Sebentar Bu, saya cek dulu ke teman saya. Saya akan menghubungi Ibu kembali.”“Tidak usah! Tolong pesankan taksi sekarang, s
Bab 178 Kumi kaget dengan ucapan Ibu. Belum sempat ia menjawab, Ibu telah menutup saluran telponnya dengan kasar. Baru kali ini ibunya marah besar pada Kumi. Selama ini Ibu selalu bersikap baik dan cenderung membelanya. Namun, kali ini beda. Dengan gagap Kumi berupaya menelpon ibunya berkali-kali. Akan tetapi Ibu langsung mematikan ponselnya. Kumi tidak menyerah. Dia menelpon nomor ayahnya. “Ayah, Kumi mau berbicara dengan Ibu,” pinta Kumi. “Sebentar, Nduk.” Ayah bergerak ke kamar menemui istrinya. “Ibu, anak kesayanganmu telpon, bicaralah sebentar padanya. Jangan marah begitu,” kata Ayah membujuk Ibu. Kumi gembira. Sayangnya kegembiraan itu lenyap berganti dengan kekecewaan yang menelan dadanya. “Gak mau! Kamu bilang saja pada Kumi gak usah balik-balik lagi ke rumah. Ibu sudah jengkel sekali dengan dia. Anak kok suka sekali minggat tiap ada masalah.” “Hush! Istighfar Bu, ngomong jangan ngawur. Kamu juga ikut andil. Coba kalau kamu gak memintanya menikah dengan Arka. Ayah ya
Bab 179Kumi menengok ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya dan 3 anak Dara.Mungkinkah tamu di sebelah kamarnya? Ah tidak mungkin! Suara perempuan itu terdengar jelas seperti berada di dekatnya.Atau jangan-jangan suara itu milik Dara? Dia sedang mengunjungi anaknya!Hiii!! Bulu kuduk Kumi merinding. Kemudian dia melihat ke adek bayi. Bayi itu sedang menggeliat dan mulai merengek meminta susu. Tapi ia diam setelah mendengar suara perempuan menyanyikan lagu Nina Bobo untuknya.Suara perempuan lain tak berwujud yang ada di kamar bersama mereka. Bayi itu tersenyum, kakinya menggelinjang senang, sedangkan tangannya seolah – olah sedang menyentuh wajah seseorang.Badan Kumi kaku melihatnya. Hatinya terenyuh mendengarkan nyanyian Nina Bobo itu. Air menggenang di matanya dan merembes deras ke luar. Ia merasakan kerinduan dan sakit seorang Ibu bersamaan. “Dara, kamukah itu?”Mobil-mobilan milik Bumi yang ada di atas meja tiba-tiba jatuh dengan sendirinya. Bu
Bab 180Mereka tiba di hotel 30 menit lebih lambat. Arum sudah menunggunya di resepsionis. Ketegangan kentara sekali di mukanya.“Sorry tadi kami terjebak macet.” Kumi langsung meminta maaf.Arum langsung membawa Kumi menjauh dari area resepsionis. “Aku langsung ikut ke sini karena khawatir dengan Kakak. Suami Ibu Dara galak sekali. Dia mulai tadi marah-marah. Jefry sedang bersamanya di restoran.”Kening Kumi saling bertautan. “Ibunya Mba Dara di mana?”“Pesawatnya baru landing, sebentar lagi pasti menyusul ke hotel.”“Oke, mari kita temui suami Ibu Dara,” kata Kumi tenang menemui suami Dara dengan rasa ingin tahu tinggi.Kurang dari 10 langkah, Arum telah memberi tahunya sosok suami Dara. “Itu suami Ibu Dara Kak.” Langkah Kumi terhenti. Ia kaku melihat lelaki yang duduk bersama Jefry. Kumi membalikkan badannya.“Apa itu benar suaminya Dara?” Kumi terlihat ragu.“Benar Kak. Kami mendapatkan informasi dari salah satu netizen yang membaca postingan kami di media sosial. Netizen tersebu
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad