Bab 167Mulut Kumi seketika terkunci. Ia sangat hapal suara Rio, sekalipun dia menggunakan aksen yang berbeda."Apa itu benar suara Rio?" tanya Aji, matanya nanar memandang Kumi."Jangan menatapku seperti itu, Aji. Kamu membuatku ketakutan," protes Kumi. Ia meremas-remas tangannya yang mendadak basah oleh keringat."Aku hanya mau meyakinkan, apakah itu suara Rio?""Sorry, aku tak terlalu yakin," sahut Kumi gamang. Kakinya masih bergetar. Ia bingung harus mengatakan apa.Wanita itu masih syok dan belum bisa berpikir jernih.Jika itu benar suara Rio, apa tujuan lelaki flamboyan itu sebenarnya. Selama ini hubungan pertemanan mereka nyaris tak pernah ada gejolak. Sikapnya pada Rio selalu baik, pun begitu dengan Rio.Ia suka membantu masalahnya bahkan meminjamkan dana jika lelaki itu butuh uang.Namun, mengapa Rio menginginkan dia mati dan melemparkan semua pekerjaan kotornya kepada Nenek?Bukankah Shaka dan keluarganya juga baik padanya. Dia bersahabat lama.dengan Shaka dan mendapatkan f
Bab 168Keesokan harinya saat Kumi mengambil laptop dan ponselnya di tempat servis. Pulangnya ia melewati jalan yang berbeda menuju rumahnya. Ia ingin mencari tahu tentang Uncle Pa.Kemarin ia ingat, Ibu dan Ayahnya datang dari arah timur. Wanita itu menduga rumah teman kedua orang tuanya itu berada di sebelah timur rumahnya.Tapi siapakah mereka? Ibu sama sekali tak pernah menceritakan soal teman barunya itu dengannya.Pelan-pelan ia menjalankan mobil di jalan menuju rumahnya seraya membuka kaca mobil. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri dan melihat Tante Yuni sedang berjalan di hari yang panas.Karena kasihan Kumi berhenti dan menawari perempuan itu tumpangan."Mari saya antarkan pulang Tante," ajak Kumi ramah."Kok tumben kamu baik sama saya?" Yuni membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Kumi.Kumi menarik napas dan tersenyum tipis. Dia mengabaikan sindiran pedas Yuni."AC-nya bisa dikencengin gak, saya kepanasan." Kumi menuruti. 'Tante dari mana?" tanya Kumi basa-basi melihat
Bab 169"Ibu tahu Nak, kamu sakit hati dengan perlakuan mereka dulu. Tapi itu adalah masa lalu dan kamu tak bisa membawa kebencian sepanjang sisa hidupmu," kata Ibu memberikan nasehat putrinya."Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka tabur, dan kini kita harus mendukung mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik," lanjutnya lagi dengan bijak.Kumi melengos. Dia belum bisa memaafkan begitu saja perlakuan mereka dulu. Kebencian-kebencian itu seperti menjamur dalam hatinya. "Kumi tidak mau, titik!"Wanita itu bergegas masuk kamar dan menutup pintu. Ia merebahkan dirinya di atas kasur. Ras penat menjalar di sekujur tubuhnya. Kepalanya pening.Kumi memijit keningnya sambil merenungi kata-kata Ibu. Ibu adalah orang yang paling baik yang ia kenal. Selama hidup Kumi, perempuan yang telah mengandungnya itu selalu mengajarkan hal-hal baik, memberikan cinta kasih dan tak menaruh dendam. Entah terbuat dari apa hati Ibu. Ibu selalu legawa menerima hidup dan cepat sekali memaafkan kesalahan o
Bab 170 Berita penangkapan Rio seperti sebuah palu yang menghantam keras dada Kumi. Dadanya menjadi sesak. Ia segera menutup telponnya tanpa berkata apa-apa pada Shaka. Sekujur badannya gemetar sedangkan ubun-ubunnya panas, menerima kabar buruk tentang Rio. Shaka kembali menelponnya, tapi ia mengabaikannya. Dirinya lebih memilih menenangkan diri di bawah pancuran. “Kumi… Kumi! Ada Nak Aji, ada berita penting katanya,” Ibu mengetuk pintu berkali-kali. Kumi hanya diam tak bersuara. Dia mendengar langkah Ibu yang menjauh dari kamarnya. Kemudian ia mendengar suara Ibu berbicara dengan Aji. “Kumi masih mandi Nak.” “Saya akan menunggunya Bu,” kata Aji. Dia datang bersama dua orang temannya yang berseragam preman. Ibu menjadi khawatir. Jarang-jarang Aji bersikap begitu kaku. “Apakah ada berita serius yang menyangkut Kumi?” “Iya Bu. Ada berita penting yang ingin saya sampaikan ke Kumi secara pribadi.” Sekonyong-konyong, Khandra berlari mencari ibunya yang duduk bersama Aji di teras.
Bab 171 “Apakah kamu mencintai Shaka?” tanya penyidik itu sekali lagi. “Iya Pak. Kalau tak cinta, ngapain saya siap sedia bekerja untuknya 24 jam. Saya rela ditelpon berjam-jam maupun datang pada waktu tengah malam, hanya untuk mendengarkan dia bercerita tentang Kumi.” Rio mendengus kesal. “Walaupun hati saya dongkol, saya tetap temani dia, supaya dia nyaman dan bahagia,” jawab Rio dengan nada cemburu. “Saya suka melihatnya tersenyum.” “Bukankah Shaka memiliki istri? Tapi kenapa kamu tidak cemburu pada istrinya. Kamu malah kelihatan sekali membenci Kumi.” Rio terlihat mengatur napas. Dia agak ragu menjawab. “Nada - istri Shaka seorang l*sb**n. Shaka tidak pernah mencintainya dan sudah menceraikan Nada di saat malam pertama. Dia berencana menikahi Kumi sekalipun Nenek tidak merestui.” Kilatan amarah terpercik di mata Rio. Penyidik itu mengetukkan jemarinya di atas meja. Suaranya tuk, tuk, tuk mengalihkan ketegangan Rio. “Jadi, kamu tak suka dengan rencana Shaka dan ingin melenya
Bab 172 Shaka memandang mata Kumi lekat. Kemudian tangan kanannya menyibak anak rambutnya yang berantakan. Gerakan Shaka sangat lembut hingga membuat perempuan itu kesulitan bernapas. Ia selalu suka perlakuan Shaka yang sederhana, tidak berlebihan dan tampak sangat memujanya. "Selepas aku bercerai, aku ingin menikahimu secepatnya." Shaka menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kondisi Nenek buruk. Dia stroke dan tidak akan bisa complain jika mengetahui kita telah menikah. Aku sangat mencintaimu, Kumi. Aku berjanji mau melindungimu dan Yashi selamanya." Kumi gelisah, ia menggeser dan mengubah posisi duduknya berulang kali. Pernyataan Shaka melambungkan gairah sekigus membuatnya sangat ketakutan. Aneh! Bukankah itu yang selama ini ia inginkan. Shaka berjuang untuknya? Tapi kenapa hatinya menjadi ragu? Wanita itu mencintai Shaka, tapi ia tak mau bila hubungan mereka berjalan tanpa restu Nenek. Perempuan lain mungkin sebagian tak peduli. Mereka berusaha keras mengej
Bab 173 “Tolong Nduk! Kamu iyain saja, supaya jeng Rini tenang,” Ibu membujuk Kumi. Kumi melihat Ayah datang. Dia mengambil ancang-ancang untuk menyergap Rini dari belakang. “Istighfar Mba, kasihan Arka. Lihat anakmu itu. Dia butuh Mba,” kata Ayah mencoba mendekati Rini. Desakan Shaka, desakan Ibu memenuhi otak Kumi. Dirinya merasa tertekan dengan tekanan – tekanan yang datang beruntun seperti sebuah ombak di lautan. Ia menjadi membenci keadaan. “F*ck!” rutuknya sambil meremas-remas kepalanya yang mendadak pusing. “Tolong bantu Jeng Rini Nduk, kasihan dia dan Nak Arka.” Sekali lagi Ibu berusaha membujuk anak perempuannya. “Arrghhhh!!! Tidak! Kenapa kalian memaksaku untuk menikahi Arka! Biarkan saja Tante Rini bunuh diri. Kumi tidak peduli!” Ia histeris di telepon. Rini mendengarnya. Rini makin agresif. “Tante minta kamu menikahi Arka, Kumi. Dia butuh kamu. Hanya kamu wanita yang baik untuk Arka. Kalian juga sudah punya anak!” “Tidak! Saya tidak mau. Tante bunuh diri saja sana!
Bab 174Matahari sudah lama condong ke barat. Di terminal keberangkatan bandara Soekarno – Hatta, Kumi duduk mengamati lalu lalang penumpang yang hendak berangkat.Mata perempuan itu tertuju pada perempuan gendut yang sedang menggendong bayi dan menyeret kopor. Sekilas wajahnya mirip Tante Yuni,Kumi mengamati perempuan itu yang mulutnya sibuk memanggil 2 anak lelaki kembarnya Bima dan Bumi yang aktif. Umur mereka kira-kira 5 tahun. Kelihatan sekali wanita itu kewalahan menangani anaknya.“Bima, Bumi, jangan berlarian. Nanti kita ketinggalan pesawat!”Ke dua anak itu berlarian ke sana ke mari, mereka sama sekali tidak patuh dengan perkataan sang ibu. Kumi mengelus dada melihatnya. Ada rasa kasihan menyelinap di hati Kumi.Ia teringat pada anaknya, Yashi yang tenang saat perjalanan. Anaknya tidak pernah merepotkannya meski perjalanan yang mereka tempuh sama sekali tidak nyaman. Hhhh… ibu macam apakah dia? Kumi pergi tanpa pamit pada anak dan kedua orang tuanya.Sebuah pertanyaan bergul
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad