Kumi memijat keningnya perlahan. Mendadak kepalanya pusing setelah menelpon Bapak Dedy. Wanita itu menghembuskan napas panjang. “Siapa dia?” tanya Rio penasaran melihat Kumi menjadi tak bergairah. “Ayahnya Nora, dia meminta bertemu,” Kumi mendengkus. Rio ikutan panas. Kumi telah menceritakan tentang Nora padanya. “Ah, paling-paling dia meminta warisan!! Belagu banget! Pas anaknya hidup dia gak peduli, eh pas anaknya sudah mati, dia datang dan meminta warisannya.” Lelaki feminim itu langsung mengipas-ngipasi badannya. “Duh kok jadi gue yang panas ya? Terus apa yang mau elo lakukan?” “Apa lo mau bantu gue menemui Pak Dedy biar sekalian kita sama-sama ke hotel tempat Nora tinggal?” “Oke, sepulang kerja. Wait, apa kamu menceritakan soal ini ke Shaka?” Kumi mengedikkan bahunya. ”Entahlah, gue masih belum tahu. Shaka masih banyak urusan. Kasihan juga kalau masalah ini menambah pikirannya.” Rio ma
Setelah sholat subuh Kumi membuka jendela kamar, dan menyibakkan tirai. Hawa dingin berdesakan masuk menembus celah pori-porinya. Di luar mendung tebal menggantung di langit, tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya lalu diikuti oleh suara petir yang menulikan telinga. Yashi terbangun, anak kecil yang usianya mendekati 2 tahun menangis ketakutan. “Mommy…!!” “It’s okay honey. Itu hanya suara petir,” kata Kumi memeluknya. Dia mengambilkan segelas air hangat untuk Yashi. Anak itu meminumnya beberapa teguk. Tangis Yashi reda. Dia tetap berada di pelukan. “Mommy, takut.” Dia mengambil boneka bunny kesayangannya. “Mommy, call Daddy,” kata Yashi tiba-tiba sambil tangannya menggaruk-garuk telinganya yang gatal. “Daddy sedang sibuk sayang,” jawab Kumi mengecup keningnya. Dia tersenyum kecut. Hatinya miris karena anaknya masih menyebut Sakha dengan panggilan daddy. “Kita baca buku cerita saja ya?” kata Kumi mengalihkan pertanyaan Yashi.
Ayah bergegas ke ruang tamu dan mengintip dari balik gorden. Di depan gerbang rumahnya, ada beberapa orang lelaki dan perempuan yang menunggu. Di sana juga ada Yuni – si tukang gosip komplek. Lelaki itu mendesah panjang kembali ke kamar Kumi. “Apa kamu mau menemui para wartawan itu Nduk?” tanya Ayah. Kumi terdiam, ia hendak menelpon Marcus, tapi sepertinya terlalu pagi. Sedangkan dia juga harus bersiap-siap ke kantor. Dia lalu menelpon Yuni. “Pagi Tante, ada berapa orang di sana? Kumi mau membelikan mereka sarapan?” “Ada 7 orang sama Tante. Kamu mau pesan makanan apa?” “Ada deh, terima kasih Tante,” jawab Kumi. Dia lalu memesan nasi uduk. Ibu mengerti apa rencana Kumi. Melihat wajah anaknya yang tenang, hati Ibu tenang. “Ibu mau membuat kopi dan teh. Ayah tolong bukakan pintu gerbang dan mari kita jamu para wartawan itu baik-baik.” Sebelum ke dapur, ia pergi ke kamar Khandra. Anaknya itu sedang r
“Rio, aku tak suka melihat Kumi dan Arka akrab,” dengkus Shaka kesal. “Saya tahu Bos, tapi saya juga tak bisa menyalahkan Kumi. Dia satu team dengan Arka. Kinerja mereka berdua bagus.” “Iya aku tahu itu,” sesal Shaka. Dia merasa bersalah telah menyatukan Kumi dan Arka dalam satu team. “Tapi aku tetap tidak suka. Aku takut Kumi jatuh cinta pada Arka. Kamu tahu kan, siapa Arka?” katanya berapi-api. “Tenang Bos. Saya rasa Kumi bukan wanita seperti itu. Dia akrab dengan Arka semata-mata karena pekerjaan. Bos saja yang terlalu cemburu padanya.” “Ahh! Jika aku menukar posisi Arka dengan Fadil, apakah menurutmu bagus?” Ide itu tercetus begitu saja di kepala Shaka. “Saya rasa tidak! Aku yakin Kumi bakalan tak nyaman berduet dengan Fadil. Karena lelaki itu pernah menggoda Kumi,” kata lelaki feminim itu terus terang. “Oh ya, sejak kapan itu? Kenapa aku tidak tahu?” Shaka menelengkan kepalanya.
“Aku mau dong disuapin.” Nada langsung membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan gugup Kumi memenuhi permintaan Nada. Nada mengunyahnya pelan-pelan. “Shak, pantas kamu suka disuapin Kumi, enak soalnya.” Ia membuka mulutnya lagi minta disuapin. Shaka tersedak. Buru-buru Kumi mengambil botol air dan memberikannya pada Shaka. Lelaki itu meminumnya. Kumi kikuk berada di antara Shaka dan Nada. “Maaf, saya harus kembali ke kantor,” ucapnya datar. “Eits, gak boleh, nasinya masih banyak.” Nada buru-buru mencegah Kumi. “Kamu harus menyuapiku dan Shaka. Kamu mau kan Shak?” “No, aku sudah kenyang. Kamu saja yang makan.” Shaka tak sanggup melihat Kumi menyuapi Nada. “Beneran nih?” tanya Nada. “Lumayanlah, Aku belum makan siang.” Dia sama sekali tidak jijik dengan sendok yang telah dipakai oleh Kumi dan Shaka. “Iya.” Shaka melirik Kumi yang sedang menyuapi Nada. Lelaki itu kesal, kenapa Kumi tak membantah permintaan Nada. “Kumi, pergilah ke kantor. Biarkan Nada makan sendiri,” tukasnya. Nada pr
Shaka dan Nada terkesiap dengan kemunculan Mama Nada yang tiba-tiba di rumah Shaka. Nada langsung bangun dari duduknya. “Gak bisa! Mama tidak bisa seenaknya mengatur kami. Nada tidak mau mengikuti kehendak Mama!” ucap Nada blingsatan. Mama Nada mencibir. “Kamu ikuti keinginan kami, jika tidak, seumur hidup Mama tidak mau menikahkan kamu,” ancamnya. Dia lalu melihat ke Shaka. “Tolong panggilkan nenekmu. Tante mau bicara dengan beliau.” “Tante, bisakah kita bicara sebentar. Kita tidak bisa memutuskan keputusan ini sepihak,” pinta Shaka mengulur waktu. “Anak muda, Tante sudah mendengar apa yang kalian bicarakan tadi. Jadi menurut Tante, lebih baik kalian langsung diikat pada pertalian perkawinan. Tante tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Lebih cepat lebih baik. Sekarang tolong panggilkan Nenek. “Selamat siang Nyonya Hong, aku terbangun karena mendengar suara keributan. Pasti ada hal yang sangat penting hingga kamu datang ke sini.” Nenek mempersilakan tamunya duduk. Nyonya Hong terse
Menyadari ada darah keluar dari mulutnya. Seketika Parang panik. Dia berlari ketakutan ke sana ke mari menabrak semua yang di laluinya. “Kumi…! Kumi… darah!” Ia terus berteriak memanggil-manggil Kumi. Suasana menjadi kacau. Barang-barang yang ada di meja berjatuhan. Rio memanggil-manggil Wahyu yang sedang menyapu halaman. Lelaki itu datang terburu-buru dan berusaha menenangkan Parang kemudian membawanya masuk ke rumahnya. Sejenak Shaka tertegun. Seumur-umur dia belum pernah memukul abangnya. Ia menyesal tapi pikirannya terlalu rumit untuk diurai. “Lepaskan aku!” teriaknya pada Rio. Rio melepaskan pelukannya. Setelah itu Shaka mengambil kunci mobil. Dengan langkah lebar dan setengah berlari ia menuju ke mobilnya. “Bos mau ke mana? Aku ikut!” Rio berusaha mengejar Shaka. Tapi Shaka mendorongnya hingga lelaki itu terjatuh. Ia langsung melompat ke dalam mobil dan melesat ke luar. Satpam yang berjaga
“Ya Tuhan, maaf gue belum sempat menelpon Shaka. Gue tadi sibuk sekali mengurusi permintaan Nyonya Hong.” Kumi merasa bersalah dengan Rio. “Beb, gue tahu lo sibuk. Tapi lo coba pikir, jika kita tidak menemukan Shaka malam ini. Kita berdua besok dead. Bukan hanya kita, tapi semua orang. Lo tahu maksud gue kan?” kata Rio frustrasi. “Segera kabari gue, kalau lo tahu dia di mana?” “Oke…” Sehabis menerima telpon Shaka. Nenek menelponnya. “Kumi, apakah shaka bersamamu, dia belum pulang dari tadi siang. Telponnya juga tidak aktif?” Suara Nenek sangat cemas. “Tidak Nek. Kumi dan Rio masih mencarinya.” Terdengar suara desahan Nenek yang berat. “Nenek tahu kamu pasti sangat lelah. Nenek sangat khawatir dengan Shaka. Nenek mohon, tolong temukan Shaka dan bawa dia besok pagi ke rumah Nada. Nenek sangat berharap kepadamu.” “Baik Nek. Kumi mohon, sebaiknya Nenek istirahat dulu, supaya besok segar,” sarannya. “Kamu memang anak baik.” Nenek menutup saluran
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad