"Mas, kamu masih ingat kan sama Nisya? Sahabatku yang cantik banget itu, lho," ucap Kania saat tengah menemani Dika makan malam.
Sontak, Dika terbatuk-batuk sampai mengeluarkan sebagian isi mulutnya. Ia pun langsung meminum habis segelas air dingin di depannya."Mas, pelan-pelan dong makannya. Sampai tersedak gini." Kania menghampiri Dika lalu menepuk pelan punggung suaminya. "Udah enakan?""Mas nggak pa-pa, Dek. Udah enakan. Tadi kamu bilang apa?"Kania kembali ke tempat duduknya semula sambil mengambil secentong nasi ke piringnya."Nisya, Mas masih ingat dia?"Dika mengangguk pelan. "Memangnya dia kenapa?""Dia udah balik lagi ke sini. Kemarin dia datang ke rumah. Aneh deh, Mas, Aksara langsung anteng sama dia. Kayak udah kenal lama. Padahal anak itu kan jarang mau digendong sama orang asing."Dika seketika melebarkan matanya. Keringatnya mulai menyeruak dan membasahi wajahnya. "Jadi tanpa setahuku, Nisya sudah menemui Aksara? Dasar ceroboh! Gimana kalau Kania curiga?" Dika terus berucap dalam hati. "Ya, ya, pasti karena dia itu sahabat kamu, Dek.""Iya, sih. Nisya juga bilang begitu. Tapi aku seneng sih, Mas, karena akhirnya dia balik lagi ke sini. Aku jadi nggak kesepian dan ada yang bantuin jagain Aksara.""Ya su-dah. Tapi kamu hati-hati, Dek. Sahabat kamu itu kan belum punya anak. Mas takut Aksara diapa-apakan sama dia." Dika mencoba mencari alasan agar Nisya tidak sering datang ke rumahnya dan menemui Aksara."Maksud, Mas?""Ya kayak berita yang ada di tivi-tivi itu.""Diculik?" Kania tertawa. "Mas ini ada-ada aja. Nggak mungkinlah Nisya menculik Aksara. Dia tidak sejahat itu. Lagian aku juga akan jagain Aksara dengan baik.""Ya, Mas cuma kasih tau kamu aja biar lebih waspada."Sejak nama Nisya disebut, jantung Dika berdentum, tangannya pun sudah basah. Beruntung sikap anehnya tidak terlalu diperhatikan oleh Kania yang sedang fokus mengambil makanan.***Siang itu Nisya datang berkunjung ke rumah Kania. Tentu saja tidak dengan tangan kosong. Banyak yang dibawanya untuk Aksara: susu, baju, mainan dan aneka hadiah lainnya.Kania pun merasa terbantu dengan kehadiran Nisya, karena selama ini ia merasa kerepotan mengurus Aksara dan mengurus rumah sekaligus. Sampai suatu hari, saat Kania meninggalkan Aksara berdua dengan Nisya karena ia harus memasak, Kania merasa ada yang aneh dengan kedekatan Nisya dan Aksara. Dari arah belakang, ia memergoki Nisya seperti sedang memberi Aksara ASI. Seketika mata Kania membola. Kania pun lekas mendekati Nisya."Nis, kamu lagi ngapain? Kamu ngasih ASI ke Aksara?" cecar Kania dengan mata berkilat.Wajah Nisya seketika pias. Cepat-cepat ia menutup kancing atas bajunya dan menimang-nimang Aksara yang sudah terlelap."Sttss, Kan. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Aksara udah tidur."Kania menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat mulut. Setelah berhasil menguasai emosinya, Kania mengambil Aksara dari pelukan Nisya. "Sini, biar aku taro dia di boks-nya. Kamu tunggu di sini."Setelah meletakkan Aksara di kamar, Kania kembali menemui Nisya yang sedang minum air putih."Sekarang coba kamu jawab pertanyaanku tadi.""Aku nggak ngasih Aksara ASI, Kan. Aku cuma ...." Nisya tidak langsung menjawab seraya mencari jawaban. "Aku cuma ngedeketin dia ke dada."Jawaban Nisya membuat Kania mengerutkan dahi. Tadi, dia memang hanya melihat Nisya dan Aksara dari belakang, tapi ia sangat yakin kalau Nisya sedang memberi ASI pada Aksara. Meskipun ia belum pernah menyusui ia tahu bagaimana posisi seseorang jika tengah menyusui."Yang aku tau, anak kecil itu akan sangat nyaman kalau mendengar detak jantung ibunya. Itu bisa bikin dia tenang.""Tapi, kan, kamu bukan ibunya Aksara, Nis. Yang ibunya itu aku." Kania masih kesal.Sedangkan Nisya berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam. Ia pun mengepalkan tangan kuat-kuat agar emosinya tidak terpancing."Iya aku tau, aku cuma mau bikin anak itu nyaman aja. Kan selama ini Aksara juga nyaman aku gendong. Udahlah. Kamu kenapa si, Kan tiba-tiba marah gitu? Padahal aku cuma mau bantu kamu buat nidurin Aksara." Nada suara Nisya meninggi membuat Kania terkejut."Iya tapi ....""Alah udahlah. Aku balik.""Nis, tunggu."Kania mencoba untuk mencegah kepergian Nisya, tapi Nisya terus melengos dan meninggalkan Kania tanpa pamit.Setelah kejadian itu, Nisya tidak sering lagi datang ke rumah Kania. Hal itu membuat Aksara lebih rewel daripada biasanya."Duh, kamu kenapa sih, Nak? Kan barusan sudah Ibu kasih susu," ucap Kania yang sedang bingung mendiamkan Aksara."Kenapa, Dek? Aksara dari tadi rewel terus, ya?" Dika yang mau berangkat bekerja menghampiri istri dan bayinya."Iya ni, Mas nggak tahu kenapa. Padahal udah aku kasih susu."Dika pun lekas menggendong Aksara. "Badannya agak demam, Dek. Pantas aja dia rewel."Kania terperenyak lalu cepat-cepat menyentuh dahi Aksara. "Oh iya. Tapi tadi dia enggak pa-pa, Mas. Gimana nih?""Ya udah. Mas nggak berangkat ke kantor. Kita bawa Aksara ke dokter."Mereka berdua pun membawa Aksara ke rumah sakit terdekat. Namun, sepulang dari sana Aksara tetap rewel. Meski sudah diberi obat dia tidak juga mau tidur.Tiba-tiba Kania teringat pada Nisya. "Mas apa kita panggil Nisya aja, ya?"Ucapan Kania membuat Dika membelalak. "Nisya? Apa hubungannya sama dia?"Kania pun menceritakan perihal kedekatan Aksara dengan Nisya. Bahkan ia juga menceritakan saat ia melihat Nisya sedang menyusui Aksara.Sontak, wajah Dika semakin menegang. Dahinya pun sudah berpeluh.Tanpa disadari oleh Dika, Kania memperhatikan sikap suaminya itu.Kenapa wajah Mas Dika kelihatan pucat? Apa ada hubungannya dengan Nisya? Kania membatin. Ingatannya tentang Aksara dan Nisya satu per satu muncul di kepalanya. Mulai dari wajah Aksara yang sangat mirip dengan Dika dan kedekatan Aksara dengan Nisya. Ada apa sebenarnya?Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu. Nisya tiba-tiba sudah muncul di rumah Kania. Ia pun langsung masuk karena mengira Dika sudah berangkat ke kantor."Assalamualaikum, Kan, sorry aku langsung masuk. Aku kangen sama Aksara. Mana dia?" Namun wajah Nisya seketika pucat saat ia bertatapan dengan Dika yang tengah berdiri di depan pintu. "Mas Dika?"Dika pun tak jauh berbeda. Matanya sontak membulat dan refleks ia memelototi Nisya.Bersambung.Nisya masih membeku saat Dika memandangnya tajam. Lelaki itu seolah berkata, Kenapa kamu datang ke sini nggak bilang aku dulu?Beruntung Kania segera memutus tatapan tajam Dika dengan menyambut Nisya. Istri dari Dika itu lekas memeluk Nisya. Kania menganggap Nisya sudah memaafkannya atas tuduhannya kemarin. "Nis, aku seneng kamu dateng. Sorry ya atas sikapku tempo hari," kata Kania dengan ceria. Ia bahkan tidak menghiraukan sikap Nisya dan Dika yang masih mematung. Di pikiran Kania hanya ingin segera membuat Aksara lekas sembuh, dengan bantuan Nisya. "I-ya, Kan. Enggak pa-pa," ucap Nisya sambil terus melihat ke arah Dika. Namun, Nisya lekas beralih ke arah Kania saat sahabatnya itu kembali mengajaknya bicara. "Untung kamu dateng sekarang, karena tadinya aku yang mau ke rumah kamu. Aksara, Nis.""Emang kenapa, Kan? Aksara baik-baik aja, kan?" kata Nisya dengan nada khawatir. Kania tidak langsung menjawab. Ia malah melihat ke arah Dika. "Kan, cepet jawab.""Aksara lagi sakit, Nis.
Dua tahun lalu“Sya, kenalin. Ini Mas Dika,” ucap Kania seraya mengenalkan suaminya pada sang sahabat. Karena Dika kerja di luar kota, baru kali itu Nisya bertemu dengannya.Sontak, bola mata Nisya membulat. Ia memandang Dika bagai kucing melihat ikan. Lelaki 35 tahun itu sukses membangunkan jiwanya yang fakir kasih sayang: sejak sang suami meninggal dunia beberapa tahun lalu. Hatinya yang gersang pun pelan-pelan menyejuk.Kania selalu menceritakan mengenai Dika, sehingga membuat Nisya penasaran. Sahabatnya itu berkoar jika Dika lelaki sempurna. Dikalah yang terbaik."Sya, lihat ni, Mas Dika abis beliin gelang. Bagus, kan?""Sya, Mas Dika tuh nggak bisa makan kalau bukan aku yang masak.""Sya, Mas Dika tu harus denger aku ngomong i love you dulu setiap pagi baru dia semangat kerja."Dika beginilah, begitulah, dan masih banyak lagi, hingga membuat Nisya yang merasa lebih baik dan cantik daripada Kania, mendadak jengah. Menurutnya Kania sangat beruntung. Sahabatnya itu bisa bersuamikan
Saat tengah sibuk di dapur, terdengar alunan 'Sang Dewi' milik penyanyi Lyodra hingga membuat Kania mengecilkan kompor lalu mendekati meja makan--tempat ponselnya terletak. Senyumnya seketika tersungging saat melihat nama sang suami di layar iPhone 13-nya. Ia lalu merapikan rambutnya dengan tangan sebelum menarik tombol hijau ke atas. “Kenapa, Mas, tumben video call?” ucap Kania setelah menjawab salam Dika. Ia pun sempat melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam tiga sore. “Biasanya kalau udah di kantor suka lupa sama yang di rumah,” ucapnya hingga membuat Dika tersenyum.“Dek, kamu lagi ngapain?”“Tuh lihat. Aku lagi masak, buat makan malam.”“Sekarang kamu matiin kompor dan cuci tangan. Nggak usah masak. Terus kamu pergi ke salon dan dandan yang cantik. Nanti jam lima Mas jemput. Kita makan malam di luar.”Sontak, mata Kania membulat. Sudah cukup lama Dika tidak pernah mengajaknya makan di luar. “Beneran, Mas?”“Iya. Kalau perlu kamu beli baju baru. Mas mau ajak kamu makan ke resto
Nisya langsung menarik ketat bibirnya, kemudian bicara, “Maaf kalau kedatanganku mengganggumu, Mas. Soal Kania, aku udah kasih tau dia, kok, tapi ponselnya mati,” katanya sambil melihat ke arah kiri atas. Ia lalu memandangi Dika hingga lelaki itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam laci dan membuat Dika jadi salah tingkah. Meski sempat curiga Dika akhirnya mengangguk. “Oke. Nggak masalah. Aku cuma kaget aja. Biasanya nggak ada yang berkunjung pas makan siang. Apalagi tamunya tenyata kamu. Ada perlu apa, ya?"“Ini, Mas. Aku cuma mau kasih ini. Sebagai ucapan terima kasihku atas undangan makan malam kemarin.” Nisya mengangsurkan sebuah tas kecil berwarna merah yang bertuliskan Tupperware di atasnya. Hingga membuat Dika memandangnya dengan penuh tanda tanya."Apa ini? Harusnya kamu nggak perlu repot. Itu bukan hal besar. Lagipula aku mengundangmu karena permintaan Kania."Saat Dika menyebut nama Kania, dada Nisya sempat memanas. Tapi ia berusaha tetap tenang. "Mas pasti belum makan sia
Sebelum menyalakan mobilnya, Dika mengirim pesan pada Nisya. "Nis, kamu udah siap? Aku sebentar lagi sampai."Tidak sampai dua detik. Nisya pun sudah mengirim balasan. "Sudah sejak tadi, Mas. Aku tunggu, ya."Tidak sampai lima belas menit Dika tiba di kediaman Nisya yang hanya berjarak lima blok dari rumahnya. Namun, Dika sengaja memutar lewat jalan belakang kompleks agar tidak ada yang mencurigainya. Maklum saja waktu masih menunjukkan pukul 19.00 WIB masih banyak yang berlalu lalang. Awalnya Dika mau menyuruh Nisya agar bertemu langsung di kantornya tapi ia tidak tega. Selain itu pasti orang-orang kantornya akan merasa aneh. Jantung Dika terus berdebar-debar karena dua hal. Karena ia sudah membohongi Kania dan karena dia akan menemui Nisya. Sejak kedatangan sahabat istrinya itu ke kantornya, Dika jadi sering memikirkan Nisya. Terlebih setelah rekan kerjanya mengganggap bahwa Nisya adalah istrinya. Bukan Kania.Dika baru mematikan mesin mobilnya saat pandangannya terpaku. Matanya ba
Mentari sudah muncul malu-malu kala Dika memicing. Dengan matanya yang masih berat ia meraba sisi kanannya. Namun, ia mendadak sadar jika saat itu ia tidak berada di ranjangnya. Bahkan, tubuhnya seperti tersengat listrik kala melihat Nisya tengah menatapnya sambil tersenyum. Wanita beraroma vanila itu sudah tampil cantik seraya duduk di sisi sofa ruang tamu--tempat Dika terlelap semalam. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" ucap Dika sambil menegakkan punggungnya. Ia lekas mencari ponselnya dan langsung menepuk dahinya saat tampak puluhan kali panggilan dari Kania. "Enggak tega, Mas. Kelihatannya kamu capek banget.""Sstss," ucap Dika sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Ia pun langsung menelepon sang istri. Diabaikannya Nisya yang terus menatapnya tajam sambil mengerucutkan mulut. Beberapa detik kemudian terdengar suara Kania di ujung telepon. "Hallo, Mas. Akhirnya kamu telepon juga. Kamu di mana, Mas?""A-aku masih di .... di hotel, Dek. Maaf semalam rapatnya baru selesai tenga
"Aku sudah lama suka sama Mas Dika. Sejak pertemuan pertama kita, aku sudah jatuh cinta," ucap Nisya yang membuat Dika terbatuk-batuk.Nisya berdiri lalu menepuk-nepuk pelan punggung Dika. Nisya juga memberikan segelas air mineral pada lelaki itu.Setelah batuk Dika mereda, Nisya bicara lagi,"Aku juga tahu kalau hubunganmu dengan Kania sedang renggang.""Jangan sok tahu," ucap Dika gugup. "Kania yang bilang. Lagian terlihat jelas kok dari sikap Mas ke aku. Mas begitu nyaman denganku, bahkan Mas tidak pernah membicarakan tentang Kania saat bersamaku." Nisya menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu karena aku tidak ingin menganggu suasana hatimu. Nggak ada hal lain."Nisya kembali menghampiri Dika lalu melihat langsung ke matanya. "Katakan itu sekali lagi. Bilang kalau Mas nggak punya perasaan apa pun untukku."Beberapa menit ke depan, Dika hanya diam lalu menarik napas berkali-kali. Setelah Nisya menyatakan perasaannya, ia akhirnya menyerah. Tak ditampiknya lagi, bahwa sejak lama, ia
"Hati-hati, ya, Mas. Jangan lupa telpon kalau udah sampai sana.""Iya, Dek. Kamu baik-baik, ya, di rumah." Dika menjeda kalimatnya, tampak ragu melanjutkan pertanyaan. "Nisya ... jadi nemenin kamu?" Kania langsungmenekuk wajahnya hingga menimbulkan sedikit lipatan di kedua pipinya yang tembam. "Enggak jadi, Mas. Dia bilang nggak bisa. Mau pulang kampung.""Ooh, ya udah. Kalau kamu mau, aku izinkan ke rumah Bapak."Sontak, Kania membelalak. "Beneran, Mas?""Iya bener.""Aah, makasi, Mas," ucap Kania sambil memeluk Dika. "Eh, Mas. Nisya kan mau ke Semarang juga.Mas tahu? Kok bisa tiba-tiba barengan gitu sih? Apa jangan-jangan di belakangku kalian janjian?" Mendengar ucapan Kania, mata Dika langsung melebar. Wajahnya memerah dan dahinya berkeringat. "Eng-gak lah, Dek. Kamu itu ada-ada aja. Aku kan... aku kan mau kerja. Jangan asal nuduh!" kata Dika yang mendadak emosi. Mata Kania memicing, ia merasa sedikit aneh kenapa Dika tiba-tiba marah. Padahal kan ia hanya bercanda. "Mas, aku k
Melihat Dika berdiri tak jauh dari posisinya, wajah Mahar sontak memerah. Urat-urat di dahinya langsung bermunculan. Ia pun mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil menggemeretakkan gigi. Namun sedetik kemudian, kepalanya memutar ke arah Kania yang berdiri di sisinya. Keadaan wanita itu pun tidak jauh berbeda. Kania terus menunduk seraya meremas-remas jemarinya. "Tenang, Mir. Enggak usah takut. Ada aku," ucap Mahar seraya melingkarkan tangannya di bahu Kania dan mendekatkan tubuh wanita itu ke dadanya. Nisya pun seketika geram saat melihat Kania. Rasa cemburunya mendadak naik ke kepala. Terlebih melihat Dika yang terus memandangi Kania tanpa berkedip sedikit pun. Saat melihat Kania, Dika langsung menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan. Ia ingin segera memeluk erat Kania tapi kakinya seperti terpaku. Dadanya mendadak sesak kala melihat Mahar melingkarkan lengannya di bahu Kania. "Sudah, Pak, cepat bebaskan suami saya. Saya tidak mau menghirup udara yang sama dengan mereka," uc
Bagi Argantara, uang adalah segalanya. Meski saat itu ia sudah menjadi seorang pengacara yang sukses dan terkenal, tetap tidak bisa mengurangi ketertarikannya pada uang. Ia bahkan berkali-kali menggadaikan idealismenya untuk membela koruptor, demi mendapatkan bayaran yang fantastis. Untuk melancarkan kasusnya, Argantara sudah sering melakukan praktek di bawah meja. Ia pun cukup terkenal di kalangan kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Tentu saja sebagai pengacara yang terkenal loyal dalam hal negatif. Dalam memberikan komisi yang tidak main-main demi membebaskan sang klien. Saat sore itu Nisya menghubunginya untuk meminta bantuan, tanpa pikir panjang Argantara pun langsung menerima, karena Dika merupakan salah satu klien penting di kantornya. ***Setibanya Nisya di kantor polisi, ia kembali dikejutkan dengan kondisi Dika yang kacau balau. Wajah suaminya itu babak belur dan masih ada sisa darah di ujung bibir kirinya. "Ya Tuhan, Mas Dika. Kamu kenapa?" ucap Nisya sambil mengusap
Kania menggigit tangan Dika hingga pria itu memekik kencang dan melepaskan tangannya dari mulut Kania. "Sebaiknya kamu menyerah, Mas! Agar hukumanmu tidak semakin berat." Kania kembali berlari ke pintu dan mencoba membukanya. Sayangnya Dika sudah berhasil menyembunyikan kuncinya.Bersamaan dengan itu, di lantai bawah, Mahar beserta dua orang petugas polisi sudah tiba di lobi hotel. "Selamat siang, kami sedang mencari seseorang," ucap petugas polisi bernama Alfred. "Ada apa, Pak?" "Apa ada tamu yang bernama Aldika Pratama?"Petugas resepsionis itu tidak langsung menjawab. Ia bingung apakah harus melaksanakan permintaan Mahar barusan, karena ia tidak boleh memberikan informasi mengenai tamu hotel kepada siapa pun. Beruntung sang manajer hotel ikut bergabung. Setelah mendengar penjelasan dari Mahar dan petugas polisi, dengan cepat ia menyuruh resepsionis itu mencari nama tamu yang dimaksud. "Iya benar, Pak. Dia menginap di sini sejak semalam.""Di kamar berapa?"Resepsionis berambut
"Sah," ucapan para jamaah Solat Jumat di masjid perumahan Galih tinggal membahana, menambah keharuan dan kesakralan suasana yang sedang tercipta: meski tidak dihadiri oleh mempelai wanita. Mahar lekas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mulutnya pun tak henti mengucap syukur karena saat itu telah resmi berstatus sebagai suami Kania. Bersamaan dengan itu, ingatannya terbawa ke masa satu jam lalu. Saat Mahar masih berusaha meyakinkan Galih bahwa ia benar-benar ingin menikahi Kania."Tapi Kania kan belum ketemu. Kita juga nggak tahu bagaimana keadaannya nanti? Dia masih hidup atau ...." "Pak, saya yakin Kania masih hidup. Dia pasti selamat. Lagi pula saya nggak peduli. Bagaimanapun keadaannya nanti, saya tetap ingin menikahi dia. Jadi tolong nikahkan kami."Galih akhirnya menyerah dan menuruti permintaan Mahar. Mahar pun lekas memberitahu Fitri agar segera hadir ke masjid tempat berlangsungnya akad nikah. Setelah acara selesai Galih langsung memeluk erat Mahar. Air mata lelaki it
"Gimana, Pak? Apa ada informasi?" ucap Mahar setibanya ia di kediaman Galih. Galih menggeleng lemah, "Bapak sudah menanyakan semua orang di sini tapi tidak ada yang mengaku melihat orang asing." Sebelum Mahar tiba, Galih sudah mengumpulkan semua tamu, termasuk tim penyedia fasilitas yang mereka libatkan dalam acara. Mahar mengerutkan dahi. Dadanya yang sudah memanas mendadak sempit. Mir, kamu di mana? Please, kasih aku petunjuk biar bisa nolongin kamu. Aku harap kamu baik-baik aja. Firasatnya kalau Kania diculik semakin kuat. Tiba-tiba salah seorang petugas katering melihat ke arah para tim sound sistem. "Personal kalian yang satu lagi mana?" "Ini sudah semuanya. Siapa yang kamu maksud?" kata pemimpin tim sound sistem. "Tadi itu ada orang memakai topi hitam dan masker keluar dari sini sambil membawa koper besar. Katanya dia membawa sound sistem."Mahar pun sontak mendekat. "Kenapa, Mas?""Ini, Pak, tadi waktu saya sedang sibuk membereskan meja untuk prasmanan, ada laki-laki yang
Setelah Kania terkulai, Dika lekas membopongnya dan menaruhnya di ranjang. Ia kemudian memasukkan tubuh Kania ke dalam koper besar yang ia temukan di dalam lemari Kania. "Jadi kamu dan Mahar akan bulan madu dengan menggunakan koper ini? Sayang sekali rencana itu aku hancurkan." Sesudah memastikan kalau kondisi aman: karena orang-orang masih sibuk di ruang depan, Dika lekas mendorong koper itu melalui pintu belakang. Ia juga menutupi wajahnya agar tidak ada yang mengenali. Lagi-lagi ia terbantu karena saar itu Galih sedang berada di depan menyambut para tamu yang berasal dari saudara jauh Kania. Dika lekas membawa tubuh Kania dan memasukannya ke mobil yang ia parkir di seberang rumah Galih. Ia sempat berpapasan dengan seorang petugas katering yang menanyakan mengenai koper yang sedang ia bawa, tapi Dika menjawab santai. "Ini hanya sound sistem." Karena petugas katering itu juga sedang sibuk menyiapkan penganan, ia langsung percaya dan tidak bertanya lebih lanjut. Tak lama setelah Di
Bagai kilat, Dika langsung mendekat dan memeluk erat Kania. Seketika aroma vanilla yang menguar dari tubuh Kania membuatnya terbuai. "Sejak awal melihatmu, aku sudah merasa kalau kamu Kania. Kaniaku. Kenapa kamu harus bohong?" "Lepasin! Kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" ucap Kania sambil mendorong kasar tubuh Dika. "Aku nggak bohong. Sekarang aku adalah Miranda. Karena Kania yang dulu kamu kenal, sudah mati!" Dika kembali mendekat. "Nggak usah menipu dirimu sendiri. Jelas-jelas aku dengar tadi kamu bilang kalau kamu masih mencintaiku." Wajah Kania yang putih semakin memucat. Ia pun lekas menghindari Dika dan mendekati Galih. "Dika! Jangan dekati anakku! Kenapa kamu kembali ke sini?" Galih maju selangkah ke depan Kania. "Pak, maaf. Tapi izinkan saya bicara berdua dengan Kania. Masih banyak yang harus saya sampaikan." "Kamu mau ngomong apa lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai." "Urusan kita masih banyak, Kan. Dulu kamu main hilang begitu saja. Padahal masih banyak yang i
Saat Dika akan melangkah masuk ke rumah Galih, terdengar azan Maghrib. Dika sontak menghentikan langkahnya lalu masuk kembali ke mobilnya. Ia masih ingat betul bagaimana kebiasaan Galih. Mantan ayah mertuanya itu selalu salat berjamaah di Masjid. Dika tidak mau jika sampai bertemu dengannya. Dika masih ingat saat terakhir kali ia menemuinya, Galih memarahinya habis-habisan dan memakinya akibat ulahnya pada Kania. Dika masih sakit hati. Akhirnya Dika memutuskan menunggu sampaiB Galih pergi ke masjid.Setelah Galih pergi ke masjid, Dika turun dari mobilnya dan masuk ke rumah Kania. Kania yang sudah berada di kamar terkejut karena pintu rumahnya kembali diketuk."Kenapa Ayah balik lagi? Apa dia ketinggalan sesuatu?" Kania lalu bergegas keluar dan membuka tirai. Sontak, ia terkejut saat melihat Dika tengah berdiri tepat di depan pintu. Tubuh Kania seketika gemetar. Ia langsung menutup kembali tirainya dan masuk ke kamar.Namun, Dika kembali mengetuk hingga Kania akhirnya sadar."Ingat, kam
"Tante Miranda?" Aksara melepaskan pelukan Kania lalu memandang wanita itu."Maaf, Nak. Tante cuma teringat sama putra tante yang sudah lama pergi. Kalau dia masih ada, usianya sama denganmu."Aksara terdiam lalu bibir kecilnya membentuk lengkungan ke atas. "Nggak papa kok, Tante. Kalau Tante mau, Aksara bisa jadi pengganti anak tante.""Benarkah? Tante senang sekali." Kania lalu kembali memeluk Aksara."Tante aku berangkat sekolah dulu, ya. Takut terlambat. Pulang sekolah nanti apa aku boleh main ke rumah Tante?"Meski baru pertama kali bertemu Kania dalam sosok Miranda, Aksara pun sudah merasa dekat. Bahkan anak itu sudah sayang pada Kania seperti ia menyayangi Nisya. "Boleh, dong. Kamu hati-hati, ya," ucap Kania sambil melambai pada Aksara yang mulai menaiki kembali sepedanya. Setelah itu ia pun kembali menuju ke warung sayur.Di rumahnya, Fitri tersenyum lebar saat mendengar cerita Mahar bahwa Kania menerima lamaran putranya itu. Bahkan ia sampai tersedak dan terbatuk-batuk hing