"Apa kamu berhasil?" tanya seseorang di seberang telepon. "Tentu saja, Tante. Sangat mudah bagiku untuk membuat Rudy takluk," jawab Agnes penuh percaya diri. "Bagus! Gak sia-sia aku membayarmu dengan harga yang mahal. Intan dan keluarganya harus menderita, sebab secara gak langsung mereka sudah membuat anakku menderita sampai saat ini.""Iya, Tante. Aku baru pulang dari pertemuan dengan keluarga Rudy. Aku yakin mereka sudah berhasil aku taklukkan. Mereka percaya bahwa aku adalah calon menantu yang baik untuk keluarga mereka," kata Agnes. "Bagaimanapun juga kamu harus hati-hati, Agnes. Mereka bukan orang yang polos dan bodoh. Jika kamu membuat sedikit kesalahan saja, mungkin saja rencana pernikahan itu akan gagal," kata wanita yang ternyata adalah Mama Silvy. "Iya, Tante, aku tahu apa yang aku lakukan. Saat ini aku memang harus berhati-hati dan gak boleh bertindak ceroboh. Setelah resmi menikah dengan Rudy, aku akan menguasai seluruh hartanya.""Jangan meremehkan Intan! Aku rasa d
"Mbak Intan, apakah Mbak keberatan kalau aku lebih dahulu menikah dengan Agnes?" tanya Rudy saat sarapan pagi itu. Intan cukup terkejut, ia meletakkan sendoknya. "Apa?! Bukankah kalian berencana menikah setelah Mbak dan Alex menikah?" "Rencana awalnya memang seperti itu, Mbak, tapi ternyata aku dan Agnes gak bisa terlalu lama menunggu," jawab Rudy. "Apa ada masalah yang mendesak? Kalian gak melakukan hal yang belum sepatutnya, kan?" tanya Intan. "Ah, apa yang Mbak bicarakan? Kami gak melakukan hal yang buruk atau melanggar norma. Kami hanya sudah gak sabar untuk menikah dan hidup bersama," jawab Rudy lagi. Intan menatap adiknya itu dan tidak langsung memberikan jawaban. Mungkin jatuh cinta memang akan mengubah karakter seseorang. Intan melihat perubahan yang cukup signifikan dalam sifat Rudy. Dahulu Rudy selalu dingin dan tidak selalu mengumbar perasaannya, tetapi semenjak mengenal Agnes, ia lebih ekspresif dan bersemangat. "Aku gak keberatan, Rud. Kalau kalian memang sudah yaki
"Sayang, tunggu!" Rudy mengejar Agnes. "Apa, Mas? Kamu lebih mementingkan keluargamu daripada aku. "Agnes, aku baru tahu kalau sifat aslimu seperti itu. Kami gak punya niat buruk atau ingin menghalangi kebahagiaan kalian. Tolong hargai dan dengarkan juga perkataan ibu! Jangan melebarkan masalah ini!" kata Intan. "Sifatku? Ada apa dengan sifatku, Mbak Intan? Aku juga tahu kalau Mbak adalah orang yang egois. Selama ini Mbak sudah memanfaatkan Rudy, dan aku tahu kalau Mbak tetap ingin menguasai dia," ucap Agnes tanpa rasa segan. Intan menggelengkan kepala dan menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia kembali menjawab perkataan Agnes yang menyinggung perasaannya.Ia tidak pernah dengan sengaja ingin memanfaatkan Rudy demi kepentingan dirinya sendiri. Kedua orang tua Rudy dan Intan selama ini mendidik mereka dengan baik untuk saling menopang, menyayangi, dan bekerja sama. Intan sadar, jika dirinya atau Rudy menikah suatu hari nanti, kondisi itu mungkin akan berubah. Akan tetapi seharus
Intan menghela nafas panjang. Belum pernah rasanya Rudy bersikap dingin seperti itu. Intan tidak menyangka, hubungan persaudaraan yang dekat bisa menjauh karena seorang calon anggota keluarga baru. Intan berusaha tetap berpikir positif, mungkin wajar jika Rudy mulai memikirkan kehidupan pribadinya. Rudy menyebutkan nama sebuah kafe yang sudah tidak asing lagi di telinga Intan. Intan merasa sangat aneh, karena mereka harus berbicara di luar rumah bagaikan dua orang asing. "Baiklah, aku akan datang ke sana," kata Intan. "Oke, Mbak. Kita bertemu jam satu siang," ujar Rudy sebelum mengakhiri panggilan telepon itu. Intan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Alex menatap wajah Intan yang sendu dengan penuh tanya. "Ada apa?""Rudy meminta bertemu untuk bicara berdua," jawab Intan. "Apa dia ingin membicarakan tentang pernikahannya?""Mungkin saja, Sayang. Aku merasa dia saat ini sangat berbeda. Seingatku, belum pernah dia bersikap kaku dan dingin seperti ini. Entahlah, apa yang me
Ibu Intan melayangkan pandangannya ke luar jendela. Wajahnya nampak muram dan tangannya masih menggenggam ponsel dengan erat. "Apa adikmu gak pulang lagi malam ini?" tanya ibu. "Rudy sangat sibuk, Bu. Mungkin dia masih menyelesaikan pekerjaannya di kantor cabang luar kota." Intan berusaha menutupi perubahan sikap Rudy yang juga acuh padanya. "Ibu merasa sikap Rudy sangat berubah, Nak. Dulu sesibuk apapun dia akan memberi kabar dan pulang ke rumah. Sekarang dia jarang membalas pesan dan menjawab telepon ibu. Sudah beberapa hari dia gak pulang, apa yang terjadi sebenarnya? Apa kalian masih bertengkar?" Intan menghela nafas panjang. Ibu memang sangat perhatian pada dirinya dan Rudy. Sering kali ibu sudah mengetahui ada hal yang tidak beres sebelum Intan atau Rudy mengatakannya. "Bu, Rudy sudah dewasa. Mungkin dia juga sibuk memikirkan persiapan pernikahannya," kata Intan. "Kenapa dia gak melibatkan kita dalam persiapan pernikahan itu? Apa Agnes memang berniat menjauhkan Rudy dari k
"Jangan berlebihan, Mbak! Cukup rahasiakan ini dari ibu. Mbak pasti juga gak mau pikiran dan kesehatan ibu terganggu, bukan? Kami sudah cukup dewasa dan bisa bertanggung jawab atas apa yang kami lakukan, Mbak," jawab Agnes. "Apa semudah itu? Mbak pikir kamu cukup pintar dan berpendidikan, Agnes. Mbak gak menyangka kalau kamu mau melakuk.an hubungan suami istri sebelum resmi menikah. Belum menikah saja topeng aslimu sudah terbongkar," kata Intan. "Jangan kasar pada Agnes, Mbak! Sebaiknya Mbak pergi dari kantor ini. Aku akan pulang untuk membicarakan semuanya dengan baik. Aku gak mau Mbak membuat keributan di kantor ini," ucap Rudy tanpa rasa bersalah. Intan menggelengkan kepalanya, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari Rudy. Intan mendengus kesal. "Mbak yang membuat keributan dan membuatmu malu? Apa gak salah? Justru Mbak harus bertanya, apa kamu sudah gak punya akal sehat? Semua karyawanmu sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang terjadi di sini. Mere
"Rudy masih ada pekerjaan, Bu. Dia akan pulang besok. Ibu gak perlu terlalu mencemaskan dia," jawab Intan. Ibu menghela nafas panjang. "Apa dia sangat sibuk sampai gak bisa pulang dan menjawab telepon ibu? Sudahlah, istirahat saja dulu! Semoga besok Rudy benar-benar pulang."Intan tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Jauh di lubuk hatinya ia juga mengharapkan hal yang sama. Intan segera mandi dan mencium kening Darren yang sudah terlelap. Saat menatap wajah putranya, Intan bisa mengerti bagaimana perasaan ibunya saat ini. 'Nak, kalau kamu sudah dewasa nanti, jangan pernah menjauhi mama. Selama ini kita hidup bersama dan saling menopang. Kamu boleh pergi kemana pun dan mewujudkan impianmu. Jika tiba waktunya nanti, kamu juga boleh mengenal seorang gadis dan menjalin hubungan dengannya, tapi jangan tinggalkan mama! Untuk selamanya kamu adalah segalanya untuk mama. Kamu adalah nafas hidup dan motivasi terbesar untuk mama, Nak." Intan membelai rambut buah hatinya itu. Tanpa terasa ai
"Kalau Mbak gak mau datang, aku lebih senang. Biar aku ajak ibu saja bersamaku. Tolong jangan mengusik rencana yang sudah aku siapkan dengan matang," jawab Rudy."Ibu juga gak akan datang, Rud. Aku gak akan memkbiarkan orang lain merendahkan dan meremehkan ibu," potong Intan. "Jangan seenaknya, Mbak! Mbak selama ini meminta semua orang mendukung dan melindungi Mbak, tapi gak mengijinkan aku bahagia," kata Rudy. "Apa kamu berpikir kalau kebahagiaanmu itu sudah membuat hati ibu sakit? Kamu egois kalau hanya memikirkan kepentinganmu sendiri." Intan dan Rudy saling berhadapan dengan amarah yang terlihat jelas dalam sorot mata mereka. Ibu Intan mulai menangis, ia tidak pernah membayangkan dia buah hati yang telah dewasa itu saling bertentangan. "Cukup! Apa-apa kalian ini? Kalian sudah dewasa dan selama ini bisa saling membantu. Kenapa sekarang kalian saling menyerang dan kasar? Ibu sangat kecewa pada kalian," teriak Ibu Intan. Intan dan Rudy terdiam mendengar perkataan ibu mereka. Int
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r