Dita mematung dengan mata berkaca-kaca saat mendapati anak perempuan yang berusia 5 tahun tengah berdiri satu meter di depannya. Seketika otot kakinya rapuh dan bibirnya kelu, tidak bisa berkata apa pun.
'Mama?' Sedetik kemudian air mata itu luruh.
“Teteh baik-baik aja?” Pertanyaan Nadiya berhasil mengembalikan kesadaran Dita.
“I-iya. Maaf, saya hanya ingat sama anak saya di kampung,” ucap Dita seraya menyeka air mata di pipinya. “Ia kemudian jongkok di hadapan anak perempuan tersebut. “Hai, siapa nama kamu?” tanya Dita pada anak tersebut dan tidak mendapat jawaban.
Anak itu menatap Nadiya terlebih dahulu. Seolah-olah meminta persetujuan dari wanita itu untuk menjawab pertanyaan wanita asing di depannya.
Hati Dita semakin hancur menyaksikan bagaimana dirinya terlihat begitu asing di mata darah dagingnya sendiri. Anak perempuan itu tidak mengenalinya sedikit pun.
“Ini Tante Ami, Sayang. Temennya ayah kamu.” Nadiya memberi jawaban atas tatapan anak tersebut. "Enggak usah takut, Tante Ami orang baik, kok,” sambungnya.
Anak itu kembali menatap Dita. “Hai Tante. Aku Devina,” ucap anak itu dan sebuah senyum terulas di kedua sudut bibir mungilnya.
“Hai, Devina. Boleh Tante peluk kamu?” tanya Dita dengan mata yang sudah memupuk cairan bening. Ia merasakah sebuah dorongan yang sangat kuat saat melihat Devina. Dita ingin memeluk, mencium anak itu untuk menumpahkan segala kerinduannya selama ini.
Dita langsung memeluk Devina setelah mendapat anggukan dari anak tersebut. Ia megatupkan bibirnya serapat mungkin agar tidak sampai menyuarakan isi hatinya saat ini.
Dita kemudian segera bangkit dari posisinya dan kembali berdiri setelah megusap pucuk kepala Devina.
“Maaf, Nadiya. Kurasa aku harus segera kembali ke kampung dan bertemu dengan anakku,” ucap Dita sambil menyeka sisa air mata yang tertinggal di pipinya.
“Iya, Teh. Aku ngerti, kok. Teteh pasti kangen banget sama anak Teteh,” ucap Nadiya yang terlihat begitu bersimpati.
Dari cerita Dita sebelumnya, ia tahu jika wanita tersebut mempunyai seorang anak berusia 5 tahun yang sudah lama ia tinggalkan untuk bekerja. Sebagai seorang ibu, Nadiya memahami perasaan Dita yang begitu merindukan buah hatinya.
Dita meninggalkan rumah Nadiya dengan perasaaan yang berkecamuk di hati. Gegas ia menghidupkan mesin motor yang terparkir di halam rumah Nadiya dan segera melajukan kendaraan roda dua tersebut setelah mesin menyala. Yang Dita inginkan saat ini adalah segera meningalkan rumah tersebut.
Tujuan Dita bukanlan rumah sahabatnya lagi, melainkan sebuah pantai di sana yang kini menjadi ikon wisata di deaerah tersebut.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Dita gegas berjalan menuju tepi pantai. Namun, karena berjalan sambil menunduk dan tidak memperhatikan sekitarnya, tubuh Dita terpelanting ke belakang saat ia menabrak tubuh seorang pria. Beruntung pria tersebut segera menahan tangan Dita, membuat wanita itu kembali berdiri.
"Maaf," ucap Dita tanpa mendongak sedikitpun. Menyembunyikan lelehan air mata yang semakin deras ke luar tanpa bisa dicegah. Dita setengah berlari menuju bibir pantai.
"Dasar wanita aneh," gumam pria tersebut.
Semilir angin laut yang berembus membelai surai panjang Dita yang tengah berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan pada lautan yang terbentang luas. Ia membiarkan deburan ombak membasahi kakinya.
Dengan pandangan yang sedikit kabur, karena mata yang terus saja memproduksi kelenjar lakrimal, Dita terus melangkah menantang ombak. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
“Arghhhh ….” Dita berteriak, membuat beberapa pengunjung yang ada di sana menatapnya heran. “Arghhhh ….” Sekali lagi ia berteriak untuk meluapkan kekecewaan dalam hatinya seraya memejamkan mata. Membuat kristal bening semakin deras ke luar dari kedua sudut matanya.
‘Mama ….’
Suara Devina, sang putri. Seketika memenuhi indra pendengaran Dita. Ia kembali terisak saat mengingat bagaimana putri kecilnya memanggil sebutan itu pada wanita lain. Bukankah seharusnya dia yang mendapat panggilan itu?
Hancur. Hati Dita benar-benar hancur dan ia tidak tahu bagaimana caranya mengumpulkan kepingan rasa sakit itu. Bimo benar-benar telah mengkhianatinya. Namun, sesaat kemudian Dita mengusap pipi, menyeka air matanya.
“A Bimo pasti sedang ngerjain aku. Iya. Dia pasti cuman ngerjain aku doang. Dia pasti ingin memberikan kejutan sama aku karena aku pulang hari ini.” Sebuah senyum kemudian terulas di bibirnya. Dita mencoba menghibur diri dengan menampik fakta yang baru saja ia ketahui. “Aku harus balik lagi ke sana untuk menemui A Bimo.” Dita memutar tubuhnya. Namun, baru berjalan beberapa langkah, ia kembali berhenti. Akal kembali mencerna apa kata hatinya.
Bagaimana mungkin Bimo sedang bersandiwara hanya untuk memberikan kejutan padanya? Bimo bahkan tidak tahu sama sekali tetang kepulangannya. Dan lagi, wanita itu? Bayi itu? Dan foto pernikahan mereka? Semua terlihat begitu nyata dan sangat sempurna jika hanya untuk sebuah sandiwara belaka.
Sebuah nama muncul dalam ingatan Dita. Lastri. Hanya sahabatnya itu yang tahu perihal kepulangannya.
“Lastri. Aku harus segera menemuinya.” Gegas Dita melebarkan langkahnya. Ia harus segera menemui sahabatnya tersebut dan bertanya pada wanita itu. “Lastri pasti sudah memberitahu A Bimo lebih dulu dan mereka pasti sekongkol buat ngerjain aku. Awas aja, ya, kalian. Bisa-bisanya ngerjain aku sampai aku nangis kayak gini,” gerutu Dita sambil terus berjalan.
Tidak ada lagi kristal bening yang membasahi pipi, dan tidak ada lagi air yang menggenang di pelupuk mata. Yang ada hanyalah sebuah senyum yang terulas di kedua sudut bibi Dita dan sebuah harapan baru.
“Las, Lastri ….” Dita beteriak memanggil sahabatnya begitu ia sampai dirumah wanita itu. Ia masuk ke rumah mencari sahabatnya. “Iya, Ta," sahut Lastri. "Kamu dari mana? Kok basah gini?” tanya Lastri sembari memutar tubuh Dita yang sudah basah setengah dari celana panjang yang dipakai. “Kamu tega benget ngerjain, aku, Las.” Dita memberengut dan duduk di bangku yang ada di dapur. Kebetulan Lastri sedang memasak. “Ngerjain apa?” Latri mengerutkan kening tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya. Lastri kemudian mengangkat ikan goreng yang ada dalam penggorengan dan mematikan kompor. “Kamu sudah ketemu sama Bimo?” tanyanya kemudian. Ia duduk di kursi sebelah Dita. “Belum,” jawab Dita sembari menggeleng. “Tapi aku ketemu sama perempuan yang ngaku sebagai istri A Bimo,” sambungnya. “Terus?” Jantung Lastri berdetak lebih cepat. Kenapa Dita tidak terlihat sedih, dia malah terlihat sedikit kesal saja? Apa yang sebenarnya terjadi di sana? pertanyaan itu memenuhi benak Lastri. “Kamu jahat b
Bimo segera membuang kemungkinan yang melintas dalam pikirannya. Jika wanita itu Dita, Nadiya pasti akan mengenalinya, karena Nadiya pernah melihat Dita melalui foto yang ada di ponsel dan album yang ia simpan. Lagi lupa, Dita pasti akan mengabari jika kembali ke Indonesia, karena bagaimanapun Bimo adalah suaminya. "Ciri-cirinya gimana?" tanya Bimo. Ia ingin memastikan sesuatu."Orangnya cantik pokoknya. Putih, bersih, mulus, senyumnya manis banget. Aku aja yang perempuan suka liat dia," jawab Nadiya yang terdengar begitu antusias saat menjabarkan ciri-ciri wanita yang bertamu ke rumah mereka pagi tadi. "Orangnya tinggi atau pendek?" tanya Bimo lagi."Em ... lebih tinggi sedikit dari aku. Orangnya montok, A. Aku aja iri sama bentuk tubuhnya." Kembali Nadiya memuji wanita yang bernama Ami. Bimo manggut-manggut mendengar jawaban sang istri. Sepertinya wanita yang mengaku sebagai teman SMP nya itu memang bukan Dita. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Nadiya tadi tidak ada pada diri Dita.
Hujan deras yang mengguyur desa tidak membuat Dita menghentikan laju motor yang sedang ia kendarai. Wanita itu sengaja membiarkan tumpahan air langit malam itu mengguyur tubuhnya. Berharap akan meluruhkan rasa sakit yang sedang ia rasakan dan meredam tangis pilu yang tidak dapat ia tahan lagi. Takdir benar-benar sedang bermain dengannya. Setelah langkahnya hampir sampai pada titik dimana Dita akan menggapai semua impian yang selama ini ia ukir untuk keluarga kecilnya, semesta ternyata berkata lain. Impian itu hancur, melebur bersama kecewa dan luka tak kasat mata yang mengaga begitu besar. Rasanya sangat perih. Sekuat apa pun Dita mempersiapkan diri untuk hari ini, tetap saja tangis kekecewaan itu tak kuasa ia bendung. Diamnya Bimo menjadi jawaban untuk Dita. Tidak ada penjelasan yang pria itu berikan. Hatinya benar-benar hancur dan Bimo telah behasil membuat kepingan itu bertaburan. “Dita!” teriak Lasri yang berhasil membuat suaminya yang ada di dalam kamar segera keluar meghamp
Dita diam mematung mendengar ucapan ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu tersenyum puas mendengar keputusan putranya. Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Sekali kedip saja, maka kristal bening itu akan jatuh tanpa izin.Dita menatap orang-orang yang ada di sana, Bimo bahkan tidak mau mengangkat kepala untuk melihatnya. "Lihat aku, A. Apa kamu tidak bisa membiarkan aku membawa putriku? Aku yakin, kamu masih punya hati, A," ucap Dita cukup pelan. "Lihat aku. Kenapa kamu tidak berani menatapku?" lanjutanya. "Cukup, Teh. Apa kamu tidak mendengar ucapan A Bimo yang terdengar cukup jelas? Lagi pula, aku masih bisa mengurus Devina dan membesarkannya. Jadi, kamu enggak udah khawatir. Bukankah bagus kalau Devina bersama kami? Kamu jadi bebas mau melakukan apa pun ." Adalah Nadiya yang menyangga ucapan Dita. Wanita itu tersenyum dan menatap Dita dengan tatapan yang meremehkan. Tidak ada lagi wajah ramah seperti yang ditunjukkan wanita itu saat pertama kali Dita bertemu dengannya.
“Devina mandi dan siap-siap dulu, ya. Ayah mau ngobrol dulu sama Tante Ami,” ucap Bimo. Sedangkan Devina cukup terkejut mendengar ucapan ayahnya. Ia pikir Bimo akan marah dan tidak mengizinkannya pergi dengan Dita. “Iya, Ayah.” Devina segera berlari menuju rumah dengan wajah senang. Setelah kepergian Devina, Bimo mengajak Dita untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.“Aku harap kamu tidak memberitahu Devina sekarang jika kamu adalah ibu kandungnya.” Bimo langsung melontarkan permintaan itu tanpa basa-basi. “Maksud kamu apa, A? Kenapa?” tanya Dita. Ia membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria yang duduk di depannya. “Aku tidak mau kalau sampai Vina kecewa, Dita. Bukankah kamu juga akan pergi lagi meninggalkan dia?” “Kamu benar-benar egois!” tukas Dita. “Aku melakukan ini untuk kebaikan Vina. Akan sangat menyakitkan untuknya kalau tiba-tiba kamu datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya, tetapi kamu juga akan meninggalkannya lagi. Bukankah itu jauh le
“Maksudnya tante,” ujar Dita meralat ucapannya tadi. Wanita itu tersenyum sembari mencubit gemas pipi Devina. Sementara itu, Bimo menghela napas lega. Ia pikir Dita akan mengatakan kebenarannya sekarang. Namun tetap saja, Bimo khawatir Dita tidak bisa menahan diri dan akan mengatakan semuanya saat ia tidak ada nanti. “Kalau sudah siap, kita jalan sekarang, ya, Sayang,” ajak wanita itu pada Devina. “Ayo Tante,” balas Devina dengan wajah gembira. “Tunggu!” sergah Bimo dan mendapat tatapan tidak mengerti dari Dita. “Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta Alya untuk menemani kalian jalan-jalan,” sambung pria itu sembari melangkah pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut. Dita hanya bisa menghela napas berat mendengar keputusan sepihak mantan suaminya tersebut. Sebelah sudut bibir wanita itu terangkat, sepertinya ia tahu maksud Bim, kenapa adik perempuannya itu harus ikut bersama dengan Dita dan Devina. Bimo sepertinya sangat takut jika Dita akan mengatakan kebenarannya pada
Dita hanya menghela napas berat saat mendengar Alya bercerita tentang pertemuan pertama antara Nadiya dan Bimo."Seandainya waktu itu Teh Rina enggak minta A Bimo buat antar pulang Teh Nadiya, mungkin hubungan mereka tidak akan berlanjut, dan seandainya saja Alya enggak kasih nomor A Bimo sama Teh Nadiya saat dia minta waktu itu, mungkin mereka tidak akan saling berkomunikasi," sesal Alya."Kamu tidak sepenuhnya salah, Alya Seandainya A Bimo bisa menjaga jarak dan membatasi diri, mungkin hubungan mereka tidak akan sejauh itu." Dita menenangkan Alya. Wanita itu menatap lurus pada pohon bunga di halaman depan rumah Lastri. "Yang lebih pantas untuk menjelaskan tentang keadaan ini adalah A Bimo, Alya. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."Percakapan kedua wanita itu terhenti saat Lastri ke luar bersama suaminya. "Sudah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya wanita itu."Iya, sekarang aja, biar enggak kemalaman pulangnya," jawab Dita."Ya udah, ayo." Lastri dan Dedi berjalan lebih dulu m
Dita menghela napas lega saat berhasil menghindari Tomi. Ia sangat berterima kasih pada Dedi karena cukup peka dan memahami situasi. Dita takut jika Tomi akan membongkar siapa dirinya yang sebenarnya. Devina bersama mereka dan dia tidak khawatir akan hal itu. Tomi adalah salah satu teman mereka. Pria itu jelas mengenali Dita, karena mereka berteman di media sosial milik Dita.*Dita menatap pantulan dirinya pada cermin, lalu tersenyum lebar. Sekedar memberi afirmasi positif agar mood-nya baik. Katanya suasana hati di pagi hari dapat menentukan mood sepanjang hari."Mari lupakan semuanya sebentar dan kita bersenang-senang lagi dengan Vina. Ok?" tanya Dita kepada diri sendiri. "Kita bisa! Semangat!""Cie, yang mau jalan-jalan," seloroh Lastri mengalihkan atensi Dita."Kamu bikin kaget saja, Las. Kalau mau muncul bilang, dong. Mbok kasih kode gitu, biar aku tahu." Dita berkata dengan wajah cemberut.Lastri menahan tawa melihat tingkah laku Dita, terlihat imut. "Iya deh, iya. Aku minta ma
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m