Hari ini kuterima keputusan sidang perceraianku dan Satria, bapak menghubungiku pagi tadi, memastikan bahwa semua masih berjalan seperti keinginannya. Aku melihat mas Fandi duduk sendiri di dekat parkiran setelah kami keluar dari ruang sidang."Sebentar man, aku mau menemui mas Fandi dulu." Ucapku mendekatinya yang hanya diam menatap delembar kertas hasil putusan di tangan."Kenapa tak pulang juga?" Aku berdiri di depanya sekarang.Dia menengadahkan pandangan menatapku, berusaha tersenyum meski ku tau hatinya sedang terluka. Berulang kali dia memintaku kembali, namun hati ini bahkan tak terketuk untuk sekedar memberinya satu kesempatan."Selamat ya Sri, kamu pasti bahagia."Aku menegerutkan alis. "Selamat untuk apa?"Dia menunjukkan kertas di tangan. "Atas surat ini, semua berjalan seperti keinginannya anmu kan, siapa yang tak bahagia bila setelah ini kamu bahkan memiliki kehidupan yang jauh lebih sempurna.""Ya, hari ini memang aku nantikan mas."D8a menatapku lekat. "Jadi begitu, pe
Malam ini setelah makan bersama, aku antarkan Lala ke rumah mbak Lia. Rumah ini sebenarnya masih rumahku dan mbak Lia tinggal di sini bersama anak-anaknya atas permintaanku juga, kupikir dari pada rumah ini kosong, lebih baik mbak Lia yang menempati. Beberapa kali mbak Lia memintaku menjual rumah ini, namun aku belum ingin melepasnya, sementara mbak Lia sudah jatuh hati dengan rumahku ini.Lala langsung naik ke lantai atas saat kami baru saja masuk ke dalam rumah."Mbak, kamar tengah dekat tangga kosong tidak?" Aku bertanya pada mbak Lia."Kosong Sri, mbak dan anak-anak tidur di atas sama-sama. Ada apa?""Buat Hindun, aku bawa dia kesini untuk mengawasi Lala.""Di rumahkan sudah ada dua asisten rumah tangga Sri, kenapa harus bawa Hindun juga?""Ya kan beda mbak, ini buat Lala biar mbak nggak repot juga. Hindun itu bukan sembarang asisten mbak, aku mencarinya khusus untuk menjaga Lala dari apapun." Bisikku di telinga mbak Lia, dan wanita itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Hay mbak Aini, bagaimana kabarmu sekarang?"Sri, bagaimana kamu bisa masuk? Mau apa.kamu?""Nggak apa mbak, aku hanya ingin menyapa. Bagaimana kisahmi tentang aku di sekolah Lala, sudah sesuai dengan maumu kan mbak?"Mbak Aini nampak terkejut dan tak bisa menjawab. "Aku tunggu jawabanmu mbak, Bagaiaman kisahmu tentangku tadi!" Ucapku kesal dan menunggu wanita itu bicara."Apa maksudnya sih Sri, aku nggak tau. Lagian kami ngapain tiba-tiba masuk ke dalam mobilku!" Ucapnya terlihat kesal dengan perbuatanku."Aku sedsmh memainkan peran yang kamu berikan mbak." Kunaikkan kaki ini bersama sepatunya ke atas dasbor mobil dan ku belakang kan sandaran kursi ke belakang, ah nikmat sekali."Turunkan kakimu Sri! Nggak sopan!" Ucapnya naik darah.Aku melirik ke belakang dan melihat dua anak mbak Aini sudah tertidur."Hanis belanja ya mbak, banyak sekali kantung plastik di belakang."Bukan urusanmu juga! Keluar!" Dia meninggikan suaranya."Mobil depan jalan itu mbak." Aku tersenyum melihat diriny
POV SatriaAku baru saja pulang saat ponselku berdering dan nama mbak Aini tertera di layar, engganmengangkatnya namun entah kenapa aku merasa ada sesuatu. Dan ternyata dia membawa kabar dari Sri, aka. Kemana wanitaku itu sekarang."Bob, cari tau kemana Meilin pergi malam ini!" Aku memanggil Bob di ruang keamanan dan lelaki bertubuh binaraga itu mengangguk berlalu pergi.Ku ganti bajuku dengan segera, melepaskan baju praktek sekaligus profesi ku sebagai dokter, kali ini aku hanya lelaki bucin yang tergila-gila dengan gadis ajaib bernama Sri rejeki.Sri belum tau siapa aku, aku hanyalah dokter di matanya, namun dia lupa bagaiamana keluarga angkatku mengenal dengan baik keluarga angkatnya. Kami tetaplah memiliki sisi gelap yang sama, yang akhirnya membuat dua keluarga besar itu saling mengenal dengan baik.Tok.. tok..Ketukan di pintu membuat aku terkejut, aku gugup malam ini, entah berapa lama aku tak menyentuh senjata api. Dulu saat aku masih sekolah, papi memaksa aku belajar menemba
"Aku belum selesai bicara tuan Yamato, aku masih belum selesai bicara!" Ucapku berdiri dan berjalan ke arahnya.Kali ini aku tak mau terlibat lemah, hatinya memang sejak dulu aku tak terlihat lemah di hadapan mereka semua!"Jangan pernah menyela saat aku sedang bicara tuan, apa tak ada yang memberi tau anda bahwa itu kebiasaan yang sangat buruk!" Ucapku dengan kesal, kali ini aku berdiri dan mendekatinya."Jika anda ingin di hargai di tempat sendir, silahkan anda hargai juga diri anda tuan!" Aku menggeser kakinya dari hadapanku.Tuan Yamato menatapku kesal, dia seperti sedang menunggu aku bicara lagi."Katakan saja apa maumu!""Aku ingin kamu tak lagi menganggu bisnisku!"Doa tersenyum sinis. "Bisnis mana yanv aku ganggu?""Bisnis mana? Jangan kamu kira aku ini bodoh tuan, hingga tak tau bahwa pembunuhan di tempat karaoke adalah perbuatanmu!"Dia tertawa sekarang." Jangan salah bicara, bukankah kalian tak punya bukti apapun?""Bawa saja Kemari Pama Ardan, dia akan memberikan buktinya.
"Tiga orang kita meninggal nyonya, sisanya masih di depan, mereka bersama orang-orang yang membawa senjata lengkap." Arman berbisik pelan di telingaku, memastikan hanya aku dan dia yang mendengar obrolan kami."Orang-orang siapa?" Bisikku bertanya."Saya belum tau, yang jelas perintahnya adalah membawa anda keluar dari sini dengan selamat." Ucap Arman membuat aku semakin bartanya siapa orang yang telah melindungi aku dari Yamato.Aku hilangkan rasa penasaran ini, kembali menguasai diri agar tak terbawa rasa tanya yang dapat mengganggu konsentrasiku sendiri."Bawa Kemari lelaki bernama Zail itu!" Aku berteriak penuh amarah, entah kenapa hatiku sakit mendengar orangku dia bunuh begitu saja.Dua pengawalku menarik Zail mendekat, kutatap wajahnya yang ketakutan. "Berapa orangku yang kau bunuh?" Aku mencengkeram erat rahangnya yang mengeras."Ti_tiga nyonya, ampuni saya." Ucapnya terbata-bata."Letakkan jarinya di meja!" Ucapku lantang meminta orangku meletakkan jari Zail di meja. Aku amb
Setelah malam penuh darah di tempat tuan Yamato, hadi demi hari berlalu dengan rasa tak kutau. Hatiku terus saja merasa bersalah dengan kematian tiga orang ku, terlebih rekaman pemakaman mereka membuat aku semakin merasa nyeri kian menusuk. Tangis dan jeritan kudengar menyayat hati, dari seoranh istri yang di tinggalkan suaminya, anak yang menangisi ayahnya dan orang tua yang kehilangan putranya. Seberapa banyak pun hartaku berikan, tak akan mampu mengembalikan mereka yang telah pergi.Kabar baiknya hubunganku dengan Satria kian membaik, aku merasa tal lagi menanggung beban sendiri, segala hal kini dapat ku bagi dengannya."Sudah sampai sayang, ayo kita turun." Ucapku saat mengantarkan Lala ke sekolahnya.Gadisku tak pernah lagi bercerita soal Mutia, mungkin hubungnanya juga merenggang karena keegoisan kami, orang tuanya. Beberapa kali aku mencoba mencari tau apa yang terjadi di sekolah, Lala memilih untuk tidak bicara tentang Mutiara."Ma, hari ini mama atau om Tri yang jemput?" Dia
"Turun kamu Sri, aku mau bicara."Aku menghadap ke depan dengan kesal, sebab dia bicara tanpa rasa bersalah."Dengarkan ya mbak, aku itu bukan wanita nganggur ya, jadi tak ada waktu untuk bicara sesuatu yang tak penting!""Apa maksudnya tak penting! Kamu menghina ku tadi di sana dan kamu bilang tak penting?" Mbak Aini terlihat benar-benar marah sekarang, namun itu justeru nembuat aku bertambah semangat mempermainkan perasaannya.Ayo mbak, marahlah!"Bagian mana aku menghinamu mbak?""Tadi kamu bilang fitnah, bohong tadi! Kamu kira aku takut dengan ancamanmu itu!"Dia berkacak pinggang, dengan wajah seperti siap menerkamku hidup-hidup.Aku tersenyum melihatnya panas sendiri. Kudekati wajahnya yang terlihat jelas sedang menahan amarahnya."Ada memang aku sebut nama mbak Aini? Aku nggak bilang itu untuk siapa, kenapa tiba-tiba saja mbak Aini marah? Ngerasa ya kalau itu ciri-ciri dirimu sendiri?"Dia terlihat berpikir sejenak, mungkin sedang mengingat bagian mana dari kalimat ku yang me
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil