Kami masuk ke ruang bapak, lelaki yang sangat ku hormati itu duduk di balkon ruang kerjanya. Hari sudah begitu larut, bahkan udnara malam terasa menusuk namun bapak duduk dalam remang cahaya, menatap perkampungan yang ada di bawah tempat kami tinggal."Selamat malam tuan Lee."Aku menatap Tri yang begitu terdengar tegas saat menyapa Bapak, sungguh berbeda ketika dia bicara padaku."Iyan, apa kabarmu?" Bapak dengan tawa lepas membuka tangan menyambut Tri dalam dek apa nya. Bapak menepuk-nepuk punggung Tri seperti mereka benar-benar saling merindukan."Baik paman, sangat baik." Ucapnya melepaskan pelukan dan mereka masih saling tersenyum hangat.Aku yang masih tak mengerti hubungan keduanya hanya bisa terdiam menikmati setiap momen hangat yang tercipta di depanku."Mey, jangan melamun begitu, kemarilah sayang." Bapak memanggilku untuk mendekat.Aku berjalan menghampiri bapak dan mereka mengajakku duduk di ruang kerja yang hangat ini."Kenapa bapak di luar selarut ini, bapak bisa sakit j
"Apa kamu tak bisa datang?" Suara mas Fandi terdengar lemah.Aku melirik ke arah Lala, tak ingin gadis kecilnya terjaga karena suaraku, aku berjalan menjauh dan keluar dari kamar Lala."Tidak bisa mas, tidak malam ini!" Ucapku tak ingin memberinya kesempatan lebih.Aku berjalan menuju kamarku sendiri dan menguncinya dari dalam."Kenapa? Aku sedang butuh dirimu Sri, ibu juga terus menangis di sini, aku nggak tai harus berbuat apa!""Dimana Fani?" Aku masih memegang ponsel dan meletakkan tas di meja rias."Aku belum bisa menghubunginya Sri." Suara mas Fandi terdengar kecewa."Hubungi lagi mas, dia juga harus tau bapaknya meninggal!""Nanti akan ku coba lagi Sri, yang penting kamu datang dulu!""Aku tak bisa mas, maaf!" Aku berkata dengan nada yang sedikit ketus. Kusandarkan punggungku di sofa kamar dan masih mendengarkan suara mas Fandi di seberang ruangan."Kenapa? Apa karena kami sedang bersama dokter kaya itu? Ingat Sri, kamu masih istriku dan tak elok jika perceraian kita saja masih
Mobil Tri tiba di pelataran, bapak berdiri di sisiku dan tersenyum saat Satria keluar dari mobilnya."Selamat pagi paman." Dia menjabat dan mencium tangan bapak. Adat ketimurannya masih di junjung meski lama dia ada di luar negeri."Pagi Iyan, kamu akan pergi bersama Mei?"Betul, dan nanti Iyan juga yang akan antar pulang.""Begitu? Baiklah jika begitu paman tak perlu merasa cemas."Aku berpamitan juga pada Bapak, bersama Lala aku masuk ke dalam mobil Satria. Lala masih sempat melambai, meski aku tau hatinya sedih akan kabat duka yang kusampaikan pagi tadi."Apa kabar cantik?" Satria menyapa Lala yang hanya diam di kursi belakang."Baik om Tri, tapi Lala sedang sedih.""Ya, om Tri tau yang terjadi, tapi om Tri sudah berusaha sayang, hanya saja mungkin Allah lebih sayng kakek Lala."Gadis itu terdiam dan menundukkan kepala, aku baru menyadari dia membawa buku gambarnya sejak tadi dan kini buku itu ada dalam pangkuan nya."Buku gambarnya terbawa ya sayang?" Aku bertanya dengan lembut da
Perdebatan kami menimbulkan banyak bisikan dan tatapan tak menyenangkan. Aku masih diam menghormati almarhum bapak dan para tamu lain yang pasti ingin suasana tenang sebelum jenazah di kebumikan. Beberapa kali mas Fandi mencuri pandang ke arahku, dan Satria berusaha membuatku tenang dengan terus berada di sisiku.Hingga waktu keberangkatan jenazah, ibu tersedu berdiri mengiringi peti bapak keluar dari dalam rumah, sementara ku peluk Lala dalam dekapan karena anak itu merasa sangat terpukul sekarang."Biar aku yang gendong Lala."Satria menawarkan diri saat melihatku kepayahan menopang berat tubuh Lala.Aku melihat sosok ayah dalam diri Satria, bahkan Lala yang sulit dekat dengan orang baru tak sungkan melingkarkan tangannya pada Satria."Apa kita ikut ke makam?" Satria bertanya saat kami sama-sama berjalan keluar rumah."Lala mau ikut ke makam kakek?" Aku bertanya pada gadis kecil ku, sebab aku kemari juga karena dirinya."Mau ma, kita ikut ke makam ya ma?""Lala mau di gendong Ayah sa
"Kenapa kamu begitu kejam padaku Sri?"Kalimat mas Fandi menghentikan langkahku, aku sudah berjalan keluar pemakaman bersama Satria dan Lala, namun tiba-tiba mas Fandi menghadang jalan kami."Bisakah kita bicara lain waktu, Lala sedang butuh ketenangan sekarang." Satria mencoba memberikan mas Fandi pemahaman.Lala memang belum berhenti menangis sejak tadi dan aku kira kami butuh waktu sendiri dulu untuk memberinya rasa nyaman dan tenang."Siapa kau berani mengatur apa yang harus aku lakukan pada keluargaku!"Mas Fandi yang memang sejak awal tak suka dengan satria merasa tersinggung dengan perkataan itu."Maaf mas, tapi Lala butuh tenang dulu sekarang. Lagi pula ini masih suasana berkabung, tak elok rasanya jika kita saling bertengkar di sini." Dengan nada pelan Satria mencoba lagi memberikan pengertian pada mas Fandi."Jangan sok mengatur apa yang harus aki lakukan, kamu hanya orang luar yang berada di dekat istriku sekarang."Satria akan bicara lagi, namun aku memegang lengannya."Bi
"Bagaimana jika kita makan siang dulu?"Satria memecah hening, sejak keluar pemakaman Lala memang hanya diam menatap jalanan, berkali-kali aku coba hibur, namun dia bergeming."Ah, mama juga lapar deh om Tri, kayaknya perlu di ini juga perut ini." Aku juga ikut mencairkan suasana, meski mungkin selera makanku tak ada sekarang."Bagaimana ini, ada yang belum memberikan persetujuan nih mama Sri." Satria masih merayuLala melirik ke arah Satria, meski tak tersenyum.dia mengeser duduknya menatap ke depan."Kalau mama dan om Tri lapar, makan dulu saja, Lala nggak pengen makan apa-apa." "Mana seru, kalau nggak makan sati, berarti nggak makan semua dong." Aku melipat tangan di dada."Mama juga nggak mau makan om Tri, nggak nafsu." Aku melirik Satria yang tersenyum seakan punya seribu cara membujuk Lala."Aduduh, perut aku sakit mama Sri..." Satria memegang perutnya dengan wajah di buat-buat, jelek sekali aktingnya."Sakit om Tri?" Aku ikut saja aktingnya yang kaku, mobil Satria bahkan berg
"Ma, om Tri itu baik ya." Lala tiba-tiba saja berkata padaku begitu, kami sedang duduk di balkon kamarnya pagi ini, sejak semalam dia memang tak berhenti membicarakan Satria."Kenapa Lala bisa bilang begitu?""Waktu ayah paksa Lala di gendong, om Tri ngelindungin Lala kan ma"Alisku bertaut mendengarnya." Ngelindungin dari siapa memang?""Dari ayah ma, ayah itu suka sekali makasa kan, lala nggak suka." Ucapnya polos lalu meminum susu di dalam gelasnya."Tapi ayah itu bukan orang jahat La, ayah ya tetap ayahnya Lala kan?""Iya, tapi Lala nggak suka." Ucapnya polos."Apa Lala benci ayah?"Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kata mama kan kita nggak boleh benci orang lain. Lala nggak benci ayah, Lala cuma nggak suka ayah maksa Lala, kayak waktu ayah ajak Lala pergi dengan tante jahat itu."Aku diam, belum hilang dari ingatan memang saat mas Fandi dan mantan istri gelapnya itu membawa Lala pergi dadi sekolahnya, aku bisa melihat Lala memang sangat terpaksa saat bercerita dulu."Memangnya
"Apa yang ingin mas bicaraka?"Aku melipat tangan di dada, menatap lelaki yang pernah bertahun-tahun hidup denganku ini dengan seksama. Wajahnya yang dulu bersih dan terawat, kini terlibat kumal dan tak se menawan dulu."Aku tak akan bosan memintaku untuk memikirkan kembali tentang perpisahan kita Sri."Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Kamarin kami berdebat karena masalah ini dan sekarang dia memintaku datang juga karena masalah yang sama."Apa yang sebenarnya mas mau dari hubungan kita?""Maksudnya apa Sri?""Dulu pergi dan berkhianat jadi menyenangkan untukmu mas, bahkan dengan sangat bangga kamu bandingkan aku dengan wanita yang kamu anggap sempurna itu."Mas Fandi masih diam, tentu dia akan ingat bagaimana dirinya menghina dan merendahkanku."Katakan mas, bagaimana kamu bisa memintaku kembali setelah dulu kamu bilang aku wanita kumal?""Sri_""Jangan mengiba mas, hatiku tak lagi terketuk bahkan untuk memberimu rasa kasihan.""Maafkan aku Sri...""Buat apa meminta maaf m
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil