" Kau ini kenapa mas!" Fandi berdiri lalu berteriak di hadapan kakaknya. Ia merasa apa yang baru saja di lihat adalah suatu kesalahan besar.Mendengar adiknya berteriak, Robi berdiri dengan sempoyongan. Berusaha menahan keseimbangan, Robi berjalan Ke arah Fandi. "Harusnya kau tanyakan pada istrimu itu! Perempuan murahan!" Ucapnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah tak perduli lagi dengan Fandi yang terlihat marah."Kenapa kau menyebutnya murahan mas?" Fandi mengikuti kakaknya berjalan ke dalam rumah. Dia menarik tangan Robi, namun dengan cepat Robi menepisnya.Robi merasa malu, kesal, bahkan marah. Begitu banyak orang yang melihat perkelahiannya di depan rumah, terlebih juga ini adalah urusan rumah tangga Fandi, yang ternyata membawa banyak masalah juga dalam keluarganya.Robi melempar tubuhnya di kursi ruang tengah, darah masih keluar dari pelipis dan ujung bibir nya. Tapi bukan ini yang membuatnya sakit, melainkan bayangan kehancuran rumah tangga dan juga usahanya. Dia pernah jatuh
POV Author.Selamat membaca ! Jangan lupa subscribe dan beri bintang yaa.***Hari ini Sri menjemput Lia, Arman sudah menemukan tempat usaha yang cocok untuk Lia, dan Sri sekarang mengantarnya ke sana." Maaf ya mbak, aku tak bisa menemanimu di rumah. Aku harus pulang Ke rumah Bapak angkatku." Sri menjelaskan.Dia memang belum bisa kembali ke rumah nya sendiri, karena Tuan Lee masih ingin bersamanya dan Lala."Gak apa-apa Sri, mbak mengerti. Lagi pula, nanti jika mbak sudah punya uang sendiri, kami mau kontrak rumah saja.""Buat apa mbak? Tinggal saja di sana, rumah itu milikku sendiri, atas namaku, jadi gak akan ada yang meminta mbak Lia pergi."Sri mencegah, dia tak mau Lia tinggal sendiri. Dia tau betul bagaimana Robi, Dia tidak akan membiarkan Lia hidup tenang. Dan di rumah nya, Robi tidak tau rumah itu. Jika pun tau, dia tidak akan bisa masuk, sebab rumah berpagar tinggi dengan pengamanan ketat 24 jam"Tapi mbak gak enak Sri, sudah di bantu usaha masak masih numpang tinggal !""A
Setelah mengantar mbak Lia pulang, aku bersiap untuk menyelesaikan apa yang kudengar tadi siang. Menyakitkan melihat wanita baik itu menangis sepanjang perjalanan pulang, niatku untuk membahagiakannya pupus sudah hari ini, dengan telinga sendiri dia mendengar penghianatan yang di lakukan suaminya.'Sebenarnya mbak sudah tau Sri, mas Robi punya wanita lain. Tapi saat mendengar wanita itu meremehkan mbak dan bahagia di atas luka mbak, entah kenapa hati mbak sakit sekali.' kalimat itu terucap dari bibirnya yang bergetar.Aku tau bagaimana rasanya di remehkan, bahkan di campakan saat kita merasa sudah melakukan yang terbaik. Nyatanya lelaki itu sama !"Semua sudah siap nyonya." Arman datang ke ruang kerjaku.Aku berdiri dan memakai long coat berbahan kulit dengan warna cokelat yang menawan. Aku padukan dengan celana hitam panjang dan sepatu booth setinggi lutut. Tersenyum sendiri melihat pantulanku di kaca. Aku tak pernah berdandan begini, selalu dengan gamis, kemeja atau cardigan berba
Dia bekerja untukku!" Ucapku berdiri dari kursi empuk milik mas Robi. " Bagaimana rasanya menjadi calon istri ke dua? Berapa harga dirimu sebagai wanita simpanan? Katakan !""Sri!" Mas Robi meninggikan suaranya."Jangan berteriak mas, aku masih cukup sabar menghadapimu!""Tapi jangan menghinaku begitu! Aku masih punya harga diri, dan aku sangat mencintai Papi Robi, apa maksud dari ucapanmu tadi, ha ?"Ingin rasanya aku tertawa, dia membicarakan harga diri setelah menghancurkan kehidupan orang lain dan juga menjual harga dirinya? Lucu!Aku berjalan mendekati mereka. "Bukankah papi Robi terlihat sangat kaya?""Apa maksudmu?""Yang kau bikang di tempat makan tadi siang, bukankah kau juga mau mobil baru setelah menikah?"Wanita itu tampak terkejut, dia terlihat salah tingkah dan berulang kali melihat ke arah mas Robi. "Kamu... Kamu kenapa berkata begitu? Aku gak bilang begitu papi ! Kenapa kamu bilang begitu?"Kenapa? Ya karena aku tau, bodoh!" Kudekatkan wajahku padanya. "Jangan pernah b
"Mama, Lala kangen deh."Gadis kecil itu tetiba memelukku di atas ranjang. Aku memang menyusul nya tidur semalam, bahkan kuciumi wajahnya begitu lama, tapi tidurnya terlalu lelap untuk menyadari keberadaanku."Sudah bangun?" Aku mengusap rambutnya yang wangi.Lala menganggukkan kepala. "Kita jadi pergi?"Aku tersenyum, dia sudah memastikan rencana kami, padahal hari masih sangat gelap. "Kita solat subuh dulu yuk, nanti baru bicara lagi. Bagaimana?""Oke ma!" Dia beranjak dari ranjangnya, lalu berlari keluar menuju ruang sholat.Aku menurunkan kakiku dari atas ranjang, udara begitu dingin pagi ini, di tambah airnya pasti akan lebih dingin lagi.Setelah menjalankan ibadah solat, aku dan Lala kembali ke dalam kamarnya. Gadis kecil itu bahkan sudah sembunyi di balik selimut tebalnya lagi."La..." Dia hanya memperlihatkan dua bola mata saat aku memanggil namanya. "Bagaimana kalau kita ke pantai?"Wajahnya terkejut dia sampai terduduk kembali. "Pantai ma? Betul kita ke pantai?""Betul, kebu
"Apakah anda Ayah kandung mas Fandi?" Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku.Bapak tua itu melihatku dengan lekat. "Dari mana kamu tau soal Fandi? Sampean kenal Fandi?".Aku mengangguk. "Dia suami saya."Hening, semakin lekat Bapak itu menatapku. Perlahan dia mendekat, menyentuh pipiku dengan tangannya yang berkerut. Aku bisa melihat manik matanya berkaca, sepertinya dia menahan haru teramat dalam. Bulir bening turun melewati pipi, dia menangis tergugu."Ya Allah... Ya Allah... Kamu menantumu?"Aku ikut meneteskan air mata, dia menyebutku menantu. Andai dia tau, tak tersisa lagi rasa ini untuk anaknya."Ini cucu Bapak, anak mas Fandi!"Aku membawa Lala mendekat, Bapak langsung memeluk tubuh mungil itu dengan erat. "Aku ndue putu. Masyaallah, sampean putuku ndok?" ( Aku punya cucu. masyaallah, kamu cucuku ndok?)Lala melihatku penuh tanya. Aku tersenyum dan mengusap rambutnya. " Ini kakung, Bapaknya Ayah.""Betul Bapaknya Ayan?" Dengan polos dia bertanya. Dan Bapak langsung me
"Cerai? Dia minta cerai? Luar biasa sekali!" Fandi berdiri dengan gusar, dia berjalan ke sana ke mari seperti orang tak waras.Marah, jengkel dan kesal dengan apa yang baru saja di katakan Sri. Dia mengumpat sendiri dan menendang-nendang kursi besi di taman. Bagaimana bisa dia akan pergi dari hidupku, sementara sudah begitu banyak kekacauannyang dia buat. Tidak, aku tak bisa melepasnya! Tapi bagaimana aku bisa melawannya?Terpikir dalam benaknya, mungkin fia barus meminta bantuan. Fandi mengambil ponsel di saku celananya dan mencari sebuah nomor."Halo mas, bisa jemput aku mas?"Fandi menghubungi Robi, sebab hanya dia yang terlintas bisa membantuknya saat ini."Cari saja orang lain, aku sedang sibuk!" Suara Robin terdengar tak bersahabat.Sibuk dia bilang? Dia tak bisa membantuku? Fandi bertanya dalam hati."Sibuk apa? Aku di Balekambang sendiri mas, aku hanya minta tolong jemput aku mas, masa begitu saja gak bisa?""Gak bisa, aku sedang sibuk mengurus hidupku sendiri!""Mas pikir ak
Fandi menuju Ke sekolah Lala, ini sudah jam pulang, namun Lala belum terlihat keluar gerbang sekolah. Fandi menunggu beberapa waktu. Sebenarnya Sri sudah memperingatkannya, agar dia tidak menemui Lala tanpa izin dari Sri, namu kali ini alasan yang di bawa Fandi berbeda.Fandi duduk di tepi trotoar dan baru menyadari ada mobil mewah berhenti di seberang jalan. Mobil yang sama, yang di pakai Sri saat menghadiri pernikahannya dulu.Sial! Sri bahkan meminta orang menjaga di gerbang depan!Tak lama, bunyi bel pulang terdengar, dua penjaga Sri sudah bersiap akan menyeberang ke depan sekolah, bersama seorang perempuan yang Fandi yakin itu pasti pengasuh Lala. Satu persatu anak-anak mulai ke luar gerbang, Fandi yang melihat anak-anak berdiri lalu masuk di antara kerumunan orang tua lain. Dia masuk ke halaman sekolah Lala.Aku harus bisa menemukan Lala sebelum orang-orang itu melihatnya!Fandi masuk lebih dalam, dia melihat Lala masih di depan kelas, rambutnya terikat dua dengan baju sragam b
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil