"Cerai? Dia minta cerai? Luar biasa sekali!" Fandi berdiri dengan gusar, dia berjalan ke sana ke mari seperti orang tak waras.Marah, jengkel dan kesal dengan apa yang baru saja di katakan Sri. Dia mengumpat sendiri dan menendang-nendang kursi besi di taman. Bagaimana bisa dia akan pergi dari hidupku, sementara sudah begitu banyak kekacauannyang dia buat. Tidak, aku tak bisa melepasnya! Tapi bagaimana aku bisa melawannya?Terpikir dalam benaknya, mungkin fia barus meminta bantuan. Fandi mengambil ponsel di saku celananya dan mencari sebuah nomor."Halo mas, bisa jemput aku mas?"Fandi menghubungi Robi, sebab hanya dia yang terlintas bisa membantuknya saat ini."Cari saja orang lain, aku sedang sibuk!" Suara Robin terdengar tak bersahabat.Sibuk dia bilang? Dia tak bisa membantuku? Fandi bertanya dalam hati."Sibuk apa? Aku di Balekambang sendiri mas, aku hanya minta tolong jemput aku mas, masa begitu saja gak bisa?""Gak bisa, aku sedang sibuk mengurus hidupku sendiri!""Mas pikir ak
Fandi menuju Ke sekolah Lala, ini sudah jam pulang, namun Lala belum terlihat keluar gerbang sekolah. Fandi menunggu beberapa waktu. Sebenarnya Sri sudah memperingatkannya, agar dia tidak menemui Lala tanpa izin dari Sri, namu kali ini alasan yang di bawa Fandi berbeda.Fandi duduk di tepi trotoar dan baru menyadari ada mobil mewah berhenti di seberang jalan. Mobil yang sama, yang di pakai Sri saat menghadiri pernikahannya dulu.Sial! Sri bahkan meminta orang menjaga di gerbang depan!Tak lama, bunyi bel pulang terdengar, dua penjaga Sri sudah bersiap akan menyeberang ke depan sekolah, bersama seorang perempuan yang Fandi yakin itu pasti pengasuh Lala. Satu persatu anak-anak mulai ke luar gerbang, Fandi yang melihat anak-anak berdiri lalu masuk di antara kerumunan orang tua lain. Dia masuk ke halaman sekolah Lala.Aku harus bisa menemukan Lala sebelum orang-orang itu melihatnya!Fandi masuk lebih dalam, dia melihat Lala masih di depan kelas, rambutnya terikat dua dengan baju sragam b
"Hey, kenapa menghentikan bus ini? Mau mati!"Sulit bus meneriakiku yabg baru saja naik ke atas bus. Aku tak bergeming, berjalan menyusuri lorong ditengah kursi yang berjajar. Mas Fandi terkejut melihatku berdiri di sampingnya, sementara Lala langsung berdiri ingin memelukku."Jangan mendekat! " Mas Fandi justeru mendorong tubuh anaknya kembali duduk."Sini nak, kita pulang." Aku berusaha tenang, menjaga hati putriku agar tak semakin tertekan."Jangan menyentuhnya! Mana uang yang ku minta!" Mas Fandi bahkan tidak perduli dengan rasa takut Lala, dia kini bertanya soal uang yang dia minta padaku tadi."Lepaskan Lala mas!" Aku masih berkata lembut, jika saja tak ada Lala di sini, Mas Fandi pasti sudah tak terlihat tampan lagi."Aku gak bisa! Bawa kemari uangku!" Dia terdengar sedang merengek, tak seprti Dan di yang ku kenal, lelaki ini sangat berbeda."Ayo sayang, kita turun dari sini." Kutarik tangan lala yang gemetar, entah apa yang di lakukan lelaki ini pada Lala."Jangan bawa Lala,
Hari berganti hari, hari ini cafe milik mbak Lia di buka, kami semua berkumpul di sini. Aku membuat acara yang mewah, kami gratis kan makan dan minum untuk hari ini, unyuk oengenalan menu cafe kami. Banyak yang datang, bahkan beberapa orangang tua teman sekelas yaya dan Lala."Mewah sekali ini Sri?" Mbak Lia memberikan ku pelukan. Aku bisa melihat dia sangat bahagia."Iya mbak, semua untuk mbak dan anak-anak." Aku sambut pelukannya dengan hangat. Aku ikut bahagia dengan segala hal yang kulakukan pada mbak Lia dan anak-anak."Sri, kemarin mas Robi datang menemuiku."Aku mengerutkan alis. "Dari mana mas Robubtau dimana mbak Lia?'"Yaya. Mas Robi menjemput Yaya, tapi dia urungkan saat tau yaya di jemput mobil bersama supir yang kau sediakan untuk mbak. Mas Robi mengikuti mobil itu sampai ke rumah.""Lalu?""Lalu dia turun dan memanggil-manggil mbak.""Mbak menemuinya?""Iya lah Sri, kalau tidak mas Robi tak akan berhenti berteriak!" Mbak Lia terlihat tak suka.Kamu sedang duduk saat mas
Mbak Lia membuka acara dengan sangat percaya diri. Bahkan dia memperkenalkan chef cafe ini dengan baik, memperkenalkan menu makanan di depan banyak pasang mata dan menjelaskan konsep apa yang ia usung untuk cafenya ini.Mbak Lia turun dari podium kecil yang kami sediakan , wajahnya sudah memancarkan senyum ramah, dia bahkan tak perduli dengan mas Robi yang seperti ekor mengikutinya kemanapun."Berhentilah mengangguku mas, aku sibuk!" Kalimat itu terdengar dari mulut mbak Lia, membuatku tersenyum kecil, karena mbak Lia tak lagi merasa takut pada mas Robi.Dan mas Robi masih tetap seperti lintah, menempel pada mbak Lia. Dia bahkan mungkin lupa jika pernah ada wanita lain yang coba dia nikahi. "Lia, aku itu mau bicara!" "Bicara apa, ngajak balikan? Ah, jangan mimpi mas. Aku nggak bakal mau mas jadi wanita tanpa harga diri lagi di depanmu!" mbak Lia menepis tangan mas Robi."Dengar dulu Lia, aku minta maaf!""Aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, tak akan pernah mas. Maaf!"Kuliha
"Jika kamu begitu marahnya pada Bapak kandungmu sendiri atas perpisahan yang kalian alami, coba tanyakan lagi pada ibu apa yang sebenarnya terjadi!" Suaraku meninggi.Fani menatapku tak suka. "Tau apa kamu soal keluargaku mbak? Ibuku yang berjuang sendiri membesarkan kami. Sementara Bapak, ibu bilang Bapak pergi dengan wanita lain!""Gak pernah ada wanita lain dalam hidup Bapak nduk!" Bapak mertua masih berusaha menjawab, meski raganya tak lagi sekuat Fani, dia masih berusaha mengatakan yang sesungguhnya."Jangan berbohong! Aku tak kenal padamu!" Fani tersenyum sinis. "Bapakku sudah mati, kami punya makamnya, kenapa kau mengaku jadi dia!" Fani menunjuk Bapak tanpa ada rasa hormat lalu berlari turun ke lantai bawah.Aku membawa Bapak duduk di sofa, mengusap punggungnya perlahan dsn memenangkannya yang kini tergugu dalam tangis."Bapak harus memakluminya, Fani masih terkejut dan mungkin belum bisa menerima apa yang sebenarnya terjadi."Lelaki itu menganggukkan kepala. Yang terpenting b
POV Fandi"Begitu mudahnya ibu membohongi kami, apa kami terlihat sangat bodoh untuk ditipu?" Fani masih mempertanyakan alasan ibu.Sejak kepulangan Bapak dan menantunya, ibu tak pernah sedikitpun menjelaskan lagi apa yang sebenar nya terjadi."Katakan, sesuatu bu!" Aku ikut memaksa.Ibu menghela napas lali berdiri. "Pergilah kalian. Jika menganggap aku ini wanita jahat, pergilah ikut Bapakmu!" Kami saling pandang. Ibu justeru meminta kami semua pergi, padahal hanya sebuah penjelasan yang kami minta.Ibu lalu beranjak memasukin kamar, dia membanting pintu begitu kasar membuat kamu saling pandang dalam kebingungan.***Aku duduk di atas ranjang, terlalu banyak hal terjadi dalam waktu singkat. Aku masih tak percaya, bahwa ibu pun tega membohongi anak-anaknya sendiri.Dengan langkah gontai, kaki ini berjalan ke belakang rumah. Rasa bingung membuat perutku meminta jatah segera."Bagi dua saja!" Suara mas Robi terdengar saat aku ada di dekat dapur. Mas Robi sedang duduk bersama Fani dan s
Aku dan Lala berada di kebun teh milik pabrik. Kami putuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Banyak yang harus di bicarakan sekarang. Tentang apa yang akan aku lakukan setelah ini dan bagaimana pendapat putriku, dia juga punya hak untuk menentukan bagaimana kami akan berjuang bersama setelah ini."Lala bahagia?".Dia sedang bermain ayunan saat aku bertanya, aku masih mengayun pelan ayunan itu ke depan. Senyumnya mengembang dan menatapku dengan wajah polosnya."Lala bahagia. Ada mama di sini bersama Lala, itu sudah cukup." Ucapnya polos namun terdengar seperti berusaha membuatku merasa tenang. Gadisku, dia tak pandai berbohong.Aku duduk diayunan sampingnya. Ikut mengayun tubuh ini ke depan, merasakan angin membelai wajah juga memberi desir setiap kali ayunan ini bergerak turun. Sederhana sekali rasanya bahagiaku hari ini.Belum ada lagi aksara terenda setelahnya, aku dan Lala sibuk menikmati rasa yang tercipta dari kebersamaan kami sekarang, mungkin juga kami sedang saling mengobat
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil