Kila mengemasi barangnya dengan cepat, mendapatkan uang dari Fani adalah hal yang tak pernah dia duga sebelumnya. Kila tersenyum sendiri saat membayangkan bagaimana Fani tertarik dengan apa yang dia katakan dan memberikan uang yang dia punya untuk di jadikan modal investasi."Kalau investasi ini berjalan baik, aku akan kaya! Ucap Kila dengan senyum mengembang senang, dia sudah berharap banyak pada bisnis yang akan dia jalani nanti."Bagaimana sekarang aku harus memulai?" Kila bicara sendiri, dia pergi dari hotel karena ingin mencari tempat yang baru."Hah, maaf ya Fani aku harus melakukan ini." Ucapnya seraya menatap langit dari dalam jendela kamar hotelnya, dia lalu menarik kopernya ke lantai bawah.Mengurus segala administrasi, Kila lalu pergi dengan mobil mewah yang memang sudah menunggu sejak dia bersiap di kamar hotelnya."Aku sudah transfer." Ucap Kila sembari memakai kaca matanya, hari ini dia akn terbang jauh ke kota lain untuk menenangkan diri."Ya, aku sudah melihatnya, jadi
Sri duduk dengan Satria di balkon atas rumah mereka, beberapa saat lalu Mutia bertanya bagaimana keadaan ibunya dan itu membuat hati Satria berdesir menahan nyeri."Aku merasa bersalah memisahkan Mutia dengan ibunya." Ucap Satria tiba-tiba, membuat Sri merasa keheranan."Ada apa dengan suamiku ini, sejak kapan dia perduli dengan Aini?"Satria tersenyum, dia Sadar Sri sedang menyindir dirinya sekarang."Jangan cemburu sayang, aku bukan sedang perduli dengan wanita itu.""Oh ya? sepertinya aku tak yakin.""Aku hanya merasa kasihan pada Mutia sayang.""Justeru itu harusnya kita tak membiarkan wanita itu mendekati Mutia."Satria menatap ke arah istri nya dengan heran. " Maksudnya apa sayang?'Sri menghela napas, dirinya lalu mendekatkan wajahnya pada sang suami. "Bisa kamu ceritakan siapa itu Lusi?"Satria menghela napas dengan kasar, mewajah Satria berubah serius, dia membetulkan letak duduknya "Lusi?""Kekasih mas Arka dulu, kau tau kan bagaimana kisah mereka ?"Satria masih terkejut, b
Sementara di rumah sakit tempat Aini di rawat, wanita itu terus saja meracau tak tentu, wajah Lusi terlihat jelas dalam ingatannya yang terbatas pada beberapa memori saja. Lusi yamh saat itu punya.wajah yang. begitu atimewa membuat Aini.merasa.katakuta. setiap kali perawat datang mendekat."Aku harusnya membunuhmu!" Ucap Aini dengan kesal."Apakah ada seseorang yang ingin kamu bunuh?" Perawat itu mencoba bertanya,.dia tau ada yang ingin Aini utarakan agar tak lagi mengganjal di hati."Ya, wanita itu, wanita bernama Lusi itu.""Lusi? ada apa dengan Lusi?""Dia merebut mas Arka!" Ucapnya kesal, kakinya menghentak nanti dan menatap ke arah luar jendela."Jadi mas Arka itu suamimu ya?""Ya, dia suamiku yang bodoh!" Tangis Aini berubah jadi tawa cekikikan sendiri."Ada apa?" Perawat itu berjongkon untuk mencari tau informasi lain yang mungkin bisa di dapatnya.duplikat akta tanah rumah ini beserta dftar saham Yuan yang resmi di miliki nyonya Meilin." Arman meletakkan kertas itu di atas mej
Teringat kejadian beberapa tahun lalu, ketika Haryati masih menjadi ibu mertua Sri, saat itu mereka sedang memasak untuk pengajian 7 bulanan Lia. Sri di bairkan sendirian di dapur rumah mertuanya. meninggalkan Lala bermain sendiri luar sementara dirinya di perlakukan bagai pembantu di rumah ibu mertuanya sendiri."Jangan sampai gosong Sri, itu ayam punyamu kalau sampai gosong!" Teriak Haryati saar melihat ayam bakar dalam perapian sedikit berwarna gelap.Sri terkejut, pandang matanya sayu saat itu, ia merasakan tak enak. adan sejak bangun tidur, namun mau tak mau dirinya tetap menjalankan tugas sebagai seorang menantu.Setelah memastikan semua makanan keluar dengan menu yang komplit untuk kenduri, Sri masih harus berjibaku dengan tumpukan dandang, panci dan banyaknya piring kotor bekas memasak. di gosoknya pantat panci dengan abu dan sedikit sabun colek. Membersihkan kerak yang menempel karena terpanggang diatas tungku perapian. Sejak kemarin Sri yang mengurus segalanya. belanja di p
Aini duduk di taman, melihat ke segala arah dan kemudian ingatannya perlahan kembali, jelas terlintas dalam benak bagaimana dirinya berjuang sendiri membawa dua anak kecil datang kembali ke tempatnya berasal. Tiba-tina pandangan kosong itu terisi dengan segala memori dari masa lalu."Mas Arka!" Ucapnya dengan keringat dingin membasahi tubuh.Sosok Arka yang dia yakini telah mati kini seolah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba dirinya mendapati taman tempatnya duduk berubah bentuk, menjadi sebuah ruang dalam restoran mewah di sebuah hotel, pesta megah saat dirinya masih lajang dulu seperti membingkai lagi segala kenanangnnya yang terburai."Dimana ini? apakah ini restoran?" Aini bertanya sendiri, dia tak tau menggapa tiba-tiba dia sampai di tempat ini.Pandangan Aini m3njelajah dalam ruangan dan menemukan sosok wanita cantik yang di kenal nya sedang duduk menunggu seseorang di sudut, wajah cantik nan ayu yang entah kenapa selalu membuat Aini merasakan amarah yang besar. "Kenapa dia ada
[Esok ayahmu akan pergi jauh, mungkin tak akan kamu jumpai lagi, bila ingin bertemu hari ini masuk lah pada mobil putih di seberang jalan saat kamu keluar dari rumah sakit sore nanti.]Sebuah pesan singkat di meja makan rumahnya, membuat Agnes berhenti menggunyah, meletakkan sendok nasi di sisi piring, dia menatap sang suami yang sedang makan dengan wajah tenang.Agnes tak lagi memiliki selera makan, kini pikirannya berkelana membayangkan bagaimana sosok sang ayah yang lama dia ingin jumpa."Kenapa?" Mark sang suami bertanya dengan tenang, sosok seorang pegawai pemerintah yang rajin dan disiplin itu nampak menatap sang istri."Tidak apa-apa, hanya pesan dari teman kantor, sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat." Ucap Agnes dengan senyum di paksa."Apa kau di minta membantu ruang oprasi lagi?""Sepertinya begitu, bagian penerimaan di sana sedang cuti hamil, jadi beberapa pegawai diperbantukan di sana. Kamu bisa jemput Deren hari ini?" Agnes bertanya pada suaminya.Mark memutar bo
Mobil mewah itu berjalan pelan, membawa Agnes keluar dari kotanya, ke sebuah Villa kecil di sisi tebing yang curam. Pemandangan sepanjang jalan yang indah, bahkan tak mampu memenangkan deru jantung wanita itu yang seolah bergejolak tanpa batasan.Mobil yang membawa Agnes berhenti di depan pekarangan luas, memperlihat bangunan indah dengan lampu keemasan."Turunlah!" Ucap supir tuan Cien saat mereka berada di depan villa.Agnes terdiam saat pintu mobil terbuka, wajahnya membatu dingin menatap rumah yang seolah adalah sosok ayahnya."Apa dia ada di dalam?" Agnes bertanya dengan polos. dia merasakan debaran jantungnya berdetak sangat kencang, hingga tubuhnya seakan sulit memompa darah sendiri."Ya, dia di dalam" Ucap seorang pria yang menjemput Agnes dari tempatnya bekerja.Langkah Agnes di tuntun untuk masuk ke dalam, meski gemetar dia mencoba tetap kuat dan melangkah maju.tubuh kecil itu masuk dalam villa cantik di depannya, dia melihat ke arah ruang tamu yng hanya berisi kursi kayu b
Tuan Lee bangun dengan perasaan sepi yang dalam, kehilangan Lala membuat harinya terasa sangat berbeda, gadis kecil itu membawa banyak kebahagiaan yang lama dia impikan, bahkan rindunya pada sang anak seolah terobati setiap kali melihat senyum hangat lala di rumahnya."Kastil ini terasa kosong." Tuan Lee bicara pada Zui, wanita itu menuangkan teh dalam cangkir porselen tuannya.Zui melihat ke arah tuan Lee, lelaki itu menatap ke halaman belakang tempat Lala di makamkan."Apakah bunganya sudah di di ganti?" Kembali dia bertanya pada Zui."Sudah tuan, seperti keinginan anda." Ucap Zui dengan wajah polosnya dia ingat betul bagaimana tuan Lee meminta agar bunga fi atas pusara cucunya selalu berganti dengan yang baru."Bunga Lili putih seperti pesan tuan, bunga itu selalu datang setiap pagi hari." Ucap Zui lagi lalu berdiri di sisi kursi tuannya.Tuan Lee lalu duduk, mengambil teh jarum perak yang telah di seduh dengan suhu terbaik oleh Zui, menimbulkan aroma yang sempurna untuk segelas te
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil