Di rumahnya yang megah, Sri duduk sendirian. Satria baru saja keluar untuk praktek di rumah sakitnya dan setelah sang suami pergi, ada kehampaan semakin jelas dia rasa."Mama merindukanmu sayang." Sri menaburkan bunga di atas pusara sang putri, kesepian menjadi temannya sekarang dan belum ada obat yang bisa membuat dirinya kembali merasakan hidup."Jangan khawatir La, mereka sedang mendapat balasan dari apa yang mereka lakukan." Ucap Sri puas, dia tak merelakan mereka semua bahagia setelah apa yang terjadi pada Lala.Sri lalu berdiri dan memandang kastil rumahnya yang megah. Tuan Lee memberikan segalanya padanya, namun segalanya sekarang menjadi tak berarti lagi setelah kepergian sang putri."Dulu aku selalu merasa kaya dan terhormat adalah tahta tertinggi manusia, namun sekarang aku merindukan hidupku yang tenang." Ucapnya dalam hati, ia menghela napas seakan sesak menjalar dalam dadanya."Man, siapkan mobil." Ucapnya setelah merasa rindunya tak akan pernah hilang meski memeluk nisa
Sri sampai di rumah yang di tinggali Mutia, gadis itu sedang duduk sendiri di taman belakang dan tak menyadari kedatangan Sri. Diam-diam Sri melihat Mutia sibuk menggambar, seperti Lala Mutia juga punya kesenangan yang sama, namun selama bersama Aini gadis itu tak pernah mendapat dukungan atas hobynya itu.Mutia menggambar sebuah keluarga, ada dua orang dewasa dan dua gadis cilik dengan warna pelangi mengitarinya."Assalamualaikum." Sri berkata dengan lembut."Waalaikumsalam." Mutia menjawab dan menatap Sri dengan senyum yang hangat."Sibuk sekali, sedang apa?" Tanya Sri matanya lekat menatap kertas yang kini sudah di penuhi coretan gambar yang cantik."Menggambar, Mutia kangen bisa gambar begini, jelek ya tante?"Sri menggeleng dengan cepat, wanita itu lalu duduk dan mengambil hasil gambar gadis cilik itu."Ini bagus, cantik sekali.""Tapi tidak sebagus gambar Lala, Lala nisa melukis wajah orang dengan jelas dan hidup, ini cuma gambar kartun saja."Sri kembali tersenyum, di usapnya r
Suara Mutia seolah membawa ingatannya kembali, Sri menyeka air mata yang basah di pipi."Maaf sayang, tante belum cerita ya. jadi Mutia dan Mesya sekolah di rumhas saja ya, kalaupun harus keluar itu denga persetujuan papa Iyan dan tante."Mutia hanya diam mendengar, meski ia masih merasa ingin juga bisa keluar dan melihat sekitar."Jadi papa juga sudah tau?"Sri menganggukkan kepala dengan cepat. "Sampai kita siap sayang, baru Mutia bisa keluar lagi untuk sekolah seperti biasa.' Ucap Sri diikuti anggukkan Mutia yang seperti enggan."Jadi sekarang Mutia harus sekolah di rumah?" Sri mengangguk dengan pelan, mengenggam tangan kecil gadis itu, dia berharap Mutia bisa mengerti."Dengar sayang, tante pernah kehilangan Lala, dan tante tidak mau ada yang menyakiti Mutia dan Mesya seperti apa yang terjadi pada Lala."Mutia mengangguk pelan dan berusaha mengerti apa yang sudah terjadi pada ibu dari sahabatnya itu.Sri tersenyum melihat Mutia tak menolak keinginannya, dia masih takut melepaskan
Fandi melihat ke arah luar jendela, dia tau banyak orang Sri masih menunggunya di luar, menunggu dirinya meninggalkan rumah megah Yuan."Kenapa aku harus pergi, dari semua orang Yuan, akulah yang belakangan memberinya banyak uang" Ucapny kesal dan merasa dirinya tak pantas di perlakukan seperti ini."Kapan kau siap?" Arman masuk tanpa mengetuk pintu, memastikan Fandi keluar rumah ini adalh tujuannya datang."Apa kalian punya hak mengambil tempat ini?" Fandi bertanya, tiba-tiba saja pikiran itu terselip dalam kepalanya."Dan apa dirimu juga punya hak atas rumah ini?" Arman Bertanya dengan nada dingin."Jangan balik pertanyaanku! Jawab saja apa kau punya hak atas rumah ini? " Ucap Fandi kesal, dia ingin mendapatkan alasan agar tetap berada di rumah ini.Arman tertawa, lelaki bertubuh tegap itu lalu duduk di sofa kamar utama, seolah dirinya adalah tuan besar, Arman menatap Fandi dengan remeh."Kau kira aku datang hanya karena perintah nyonya Mei, lalu kau anggap aku tak memiliki appaun s
Tuan Cien pergi menjemput Yuan, saat itu hari sudah malam dan Tuan Cien membiarkan tubuh Yuan keluar dari dalam mobil yang menggantarnya. Tangan dan matanya terikat kuat, hingga dia harus fi papah untuk mengetahui temoatbdia berada sekarang."Lepaskan!" Yuan berusaha melepaskan diri, namun sejak tadi dia tak juga bisa menemukan buan siapa ituCien tetap diam melihat sikap tak tenang Yuan, dia lalu membuka pintu mobil dan mrm awa paksa tubuh Yuan masuk dalam."Apa yang kalian lakukan!" Teriaknya tak bisa menahan diri untuk tak terlihat khawatir.Mereka semua masih diam dan tak menjawab pertanyaan Yuan yang penuh kekhawatiran. Hingga mobil milik tuan Cien berjalan meninggalkan rumah tempat Yuan di sekap"Diamlah!"Suara Cien mulai bisa di kenali Yuan. "Tuan, apakah anda tuan Cien?" Tuan bertanya dan berusaha menebak siapa yang ada di depannya sekarangPertemuan tak terduga itu akhirnya datangMobil Cien berhenti di salah satu rumah sakit besar dan mereka menemui Agnes yang saat itu seda
Mengetahui ibunya meninggal, Fani datang ke makam Haryati sendiri, dia bersimpuh di dekat pusat yang masih basah karena baru beberapa hari lalu di makamkan. Nama sang ibu jelas tertera di sana, membuat hatinya kembali patah dalam penyesalan yang dalam."Maafkan Fani bu." Ucapnya terbatas sebab air mata nya tak terbendung keluar membasahi pipi."Harusnya ibu tak menghalangi aku mengambil harta mas Fandi, toh dia juga tak memilikinya secara utuh, jadi aku bukan sedang mencuri uang mas Fandi!" Ucap Fani merasa apa yang dia lakukan bukanlah sebuah kesalahan."Ibu tau, jika begini aku pasti akan terus merasa bersalah ibu!" Ucapnya lagi, dirinya merasa kesal sekaligus menyesal.Fani menaburkan bunga yang banyak, seolah semua yang ia beli bisa membayar salahnya pada sang ibu."Baguslah kamu di sini!"Suara itu membuat Fani tersentak, ia yang sedang termenung menatap nisan mengalihkan pandangan pada wajah yang di kenal nya dengan baik."Mas Fandi?" Fani terkejut saat melihat Fandi datang dan
Sadar tak bisa memanggil sang adik, Fandi lalu berusaha mengejar Fani yang jauh telah sampai di gerbang masuk. Fandi sempat melihat wanita itu berbelok ke arah kanan."Sial!" Ucapnya kesal saat menyadari dirinya kehilangan jejak sang adik."Tunggu saja Fani, aku akan menangkap dan membuatmu membayar semua yang terjadi!" Ucapnya dengan penuh amarah terus berusaha mencari di mana mungkin Fani berada.Sementara Fani berlari dengan ketakutan, memilih bersembunyi di sudut semak dekat jembatan yang di bawahnya mengalir air cukup deras."Fani!" Teriakan Fandi terdengar jelas, Fani yang ketakutan menunduk menahan napasnya.Dari balik semak jelas tubuh Fandi berdiri di jalan dekat tempatnya bersembunyi, tangannya berkacak mencari dimana di mana Fani berada."Aku tau kau tak mungkin pergi jauh dengan cepat Fani, jadi aku pasti akan menemukan mu!" Ucap Fandi lagi, dia terus berusaha mencari Fani.Fani gemetar me dengar ucapb kakaknya, dia merasa akan mati bila Fandi benar menangkap dan menyeretn
Setelah pengejaran melelahkan itu Fani berhasil lari dan menghindari Fandi, dirinya lalu memutuskan untuk berganti kendaraan dan kembali ke hotel tempatnya sembunyi."Aku harus pergi dari kota ini!" Ucapnya yakin lalu membawa sisa uang yang ia punya untuk bisa bertahan hidup.Setelah memasukkan semua baju nya dalam koper kecil, Fani lalu menghubungi Kila, wanita itu mungkin belum kembali ke kamarnya saat dia datang."Kenapa tak bisa di hubungi?" Tanya Fani dengan wajah kesal, dia masih merasa lelah usai pengejaran sang kakak."Baiklah, mungkin nanti." Ucapnya lagi lalu memasukkan ponsel barunya dalam tas, dirinya lalu turun ke loby untuk mengembalikan kunci kamar."Selamat siang kak." "Siang mbak, mau cek out" Ucap Fani sembari menyerahkan kunci kamarnya kembali pada petugas hotel."Baik ibu, tunggu sebentar, ibu bisa duduk dulu sambil menunggu kami selesai." Ucap wanita berseragam rapi itu saat bicara.Dengan santai Fani duduk ke sofa dekat aquarium besar di hotel itu. Sembari menun
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil