Yuliana gemetar, kakinya sempat lemas saat langkahnya semakin dekat ke arah pintu. Bunyi gedoran bersama namanya di panggil membuat dia mau tak mau tetap memutuskan membukanya.Klek!"Daun pintu terbuka, beberapa pasang mata menatapnya bersamaan, membuat jantung wanita paruh baya itu berdegup kencang."Bu Yuliana." Mustofa ketua RT tempatnya tinggal menyebut nama wanita itu."Iya pak Mus, ada apa ya?" Yuliana mencoba tetap tenang."Kita bicara di dalam saja bu, boleh kami masuk?" Mustofa kembali bicara."Oh, boleh pak, mari masuk!" Ucap Yuliana, meski suaranya parau ia berusaha agar terdengar normal."Bu Yuliana, bisa minya tolong?" Tanya seorang lelaki berjaket hitam membuat kaki Yuliana gemetar."Oh, bisa pak, ada apa?" Tanyanya pelan."Bisa tolong nyalakan lampunya?"Yuliane tertegun lalu melihat ke sekitar, ia baru menyadari bila lampu ruang tamu belum di nyalakan. "Ah, maaf pak saya kaget sampai lupa nyalakan lampu." Ucapnya berlari masuk menekan sekelar lampu.Wajah-wajah seram
Sementara di rumah, Amran tak bisa tidur nyenyak, bayang wajah Jani dan mayat yang belum teridentifikasi itu terus menghantui. Terlebih ketika Lusi mendiamkannya setelah perdebatan tadi siang, wanita itu memilih tidur sendiri di dalam kamar sementara Amran.di biarkan sendiri di ruang tengah.Berkali-kali ia mencari posisi yang nyaman, namu tetap saja hatinya tak menemukan ketenangan. Terlebih ia ingat bagaimana kejadian mistis ia alami du malam sebelum pernikahannya, dia jelas di ganggu sesuatu yang memindahnya ke luar kota."Benarkah wanita itu telah mati?" Tanyannya sendiri.Jika di runtut memang terlalu mustahil, dirinya berada di kota lain saat tersadar sementara dia merasa tak pernah mengendarai mobil hingga ke luar kota."Apa ada yang ingin mempermainkan aku? Tapi siapa?" Ucapnya penuh tanya.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, saat sebuah mobil berhenti di depan rumah Amran, lelaki itu jelas mendengar deru mesin dari depan dan berdiri mengintip dari balik jendela.Dua lelak
Malam itu Amran tak dapat memejamkan matanya, ia tak tau mengapa gelisah membuatnya begitu tak nyaman, berkali-kali ia menilah wajah Lusi sanh kekasih dan bertanya bagaimana bila Jani masih hidup sekarang."Harusnya ku bunuh saja dia saat itu!" Ucapnya kesal pada keputusannya membiarkan saja Jani tetap hidup.Amran bangun dari ranjang, memakai kembali bajunya yabg berserakan di lantai kamar, ia keluar dari kamar dan duduk di teras rumahnya. Beberapa lampu masih menyala, membuat halaman yang tertutup tenda itu tak terlalu gelap sekarang.Amran menyalakan sebatang rokok, mengingat kembali wajah wanita yang di lihatnya siang tadi, ia begitu yakin itu Jani, meskit baginya cukup mustahil wanita besar itu bisa berjalan keluar dari hutan terlarang."Atau mungkinkah itu hantu Jani? Ia datang untuk membuatku tak tenang?" Ucapnya dalam hati, membuat bulu kuduknya meremang membayangkan."Ah bukan, mungkin saja itu hanyalah seseorang yang mirip, wanita itu jauh berbeda dengan Jani yang kukenal, d
Sepanjang perjalanan, Amran dan Lusi saling diam, mereka sedang ada dalam pikiran masing-masing, hingga mobil Amran memasuki pelataran rumahnya.Lusi turun tanpa bicara, membanting pintu dengan kasar dan berjalan kesal masuk ke dalam rumah. Melihat hal itu Amran hanya diam, batinnya sesak terlebih bila mengingat kebodohan yang baru saja ia lakukan, dadanya terasa semakin bergemuruh.Sementara suaminya berdiam diri di mobil, Lusi masuk dan mendapati ibu mertua dan iparnya duduk di ruang tengah dengan wajah tak bersahabat."Mana Amran?" Tanya Yuliana"Di mobilnya!" Ucap Lusi singkat, ia lalu berjalan menuju pintu kamar."Cucian di belakang tu sudah segunung, kamu nggak ada niat buat nyuci?" Ibu mertuanya kembali bicara, sudah berhari-hari ia biarkan cucian baju di dalam ember besar, bukannya berkurang, Lusi justeru menambah lagi dengan tumpukan baju kerjanya.Lusi berbalik menatap ibu mertuanya. "Memang siapa yang biasa cuci baju di rumah ini?" Tanyanya heran, selama tinggal di sini ia
"Sial!" Kila berteriak kencang setelah menyadari bahwa Fani sudah menipunya, dirinya benar-benar merasa bodoh percaya begitu saja dengan wanita yang bahkan tega menipu Saudaranya sendiri, bagaimana bisa kemudian dia berpikir Fani akan jadi wanita yang baik.Kila meremas kesal pesan singkat yang di tinggalkan Fani di dalam kopernya yang kosong, wanita itu bahkan mengambil perhiasan yang memang di miliki Kila sebelum kembali bertemu Fandi."Harus aku apakan wanita itu!" Ucapnya geram, menatap ke sekitar lalu kembali menghela napas"Aku akan mencarimu wanita sialan!" Umpatnya marah, baginya apa yang sudah di lakukan Fani sangat keterlaluan.Kila kembali menatap ke langit luar yang biru, tak selaras dengan hatinya yang bahkan menggantung kelabu kini. Bayang kembali dengan kebanggan justeru membuat dirinya kehilangan banyak hal besar sekarang.Kila berdiri dengan tatapan kosong, kembali me arik kopernya ke jalan, tak ada lagi tempat tujuan, bahkan sekedar mengisi perut yang kosong dirinya
Mobil mewah mereka lalu tiba dI sebuah hotel, Sri turun lebih dulu lalu di susul Satria berjalan tak jauh darinya. Mereka memesan kamar persiden Suite untuk bermalam, sementara Arman dan beberapa orangnya sudah memastikan keadaan aman sebelum ikut juga beristirahat melepaskan lelah.Satria duduk di balkon kamar, menatap lekat wajah istrinya yang termenung setelah mereka makan malam bersama."Apakah ini keputusan yang benar?" Satria bertanya pada Sri, dia tau wanitanya sedang merasa gundah sekarang.Sri menatap manik mata teduh di depannya, dirinya tau krmana arah ucapan Satria."Entahlah, aku hanya merasa Lusi membutuhkan bantuan."Satria lalu menatap ke arah bawah, di mana lampu gemerlap menampakkn cahaya yang membuatnya merasa takjub."Mutia mungkin akan memilih ibu kandungnya nanti, apakah kamu tak apa2?"Pertanyaan Satria membuat wajah Sri berubah dingin, sejak tadi ketakutan itu yang membuat dirinya terdiam, Mutia adalah obat setelah kepergian Lala, lantas bisakah dia tetap bahag
Teringat kejadian beberapa tahun lalu, ketika Haryati masih menjadi ibu mertua Sri, saat itu mereka sedang memasak untuk pengajian 7 bulanan Lia. Sri di bairkan sendirian di dapur rumah mertuanya. meninggalkan Lala bermain sendiri luar sementara dirinya di perlakukan bagai pembantu di rumah ibu mertuanya sendiri."Jangan sampai gosong Sri, itu ayam punyamu kalau sampai gosong!" Teriak Haryati saar melihat ayam bakar dalam perapian sedikit berwarna gelap.Sri terkejut, pandang matanya sayu saat itu, ia merasakan tak enak. adan sejak bangun tidur, namun mau tak mau dirinya tetap menjalankan tugas sebagai seorang menantu.Setelah memastikan semua makanan keluar dengan menu yang komplit untuk kenduri, Sri masih harus berjibaku dengan tumpukan dandang, panci dan banyaknya piring kotor bekas memasak. di gosoknya pantat panci dengan abu dan sedikit sabun colek. Membersihkan kerak yang menempel karena terpanggang diatas tungku perapian. Sejak kemarin Sri yang mengurus segalanya. belanja di p
Leon melihat pintu ruang oprasi di buka, Jani keluar dengan wajah terbalut perban, dia masih tak sadar kan diri. Mereka membawa Jani ke ruangan, memindahkan wanita itu ke atas ranjang perawatan dan memastikan dia nyaman sebelum petugas keluar untuk memberi keluarga waktu untuk merawat dan menunggu."Mau bibi ambilkan air?" Bi Marni menawari, sejak tadi tuan mudanya tak menyentuh makan dan minum.Leon tak menjawab, matanya tak berpaling menatap ke arah Jani. Ada rasa sakit dalam hatinya saat melihat wanita yang dia cintai rela merasakan kesakitan hanya untuk membalaskan dendam sementara dirinya menerima segala kekurangan tanpa meminta lebih pada Jani."Minum dulu, tak baik orang berdiri tanpa minum dalam waktu yang lama." Bi Marni membawakan sebotol mineral dan membuka tutupnya untuk Leon.Leon menerima minuman itu lalu meneguk habis setengahnya, dia merasa lebih baik setelah."Terimakasih bi, mungkin aku akan sangat kesulitan tanpa bibi di sini." Ucap nya tulus, dia memang lebih dekat
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil