Jani masih tak percaya, segala mimpinya dulu kini hanya tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan, terlebih membayangkan bahwa suaminya akan kembali padanya, meminta maaf bahkan mungkin menyesali perbuatannnya pada Jani, membuat wanita itu terus tersenyum simpul."Ada apa?" Leon bertanya, sejak tadi ia tak berhenti menatap wajah Jani yang besemu.Jani hanya menggelengkan kepala, ia bisa di kira gila bila terus tersenyum sendiri. " Tak ada, hanya aki ingin bilang terimakasih Leon, kamu sudah merubah hidupku." Ucapnya pelan sembari menatap lagi ke arah luar mobil.Leon tersenyum tipis, senyum yang hampir tak terlihat, ia begitu bahagia merasa kali ini keberadaannya begitu berarti untuk Jani.Mobil mereka berhenti di perlintasan kereta, Jani menatap keluar, menyaksikan kendaraan.yang ikut berhenti seperti mobil yang ua tumpangi. Tanpa sengaja mata Jani tertuju pada dua wajah yang sedang bercanda di dalam mobil tepat di sisinya."Mas Amran!" Ucapnya pelan, lelaki itu sedang bercanda dengan
Menatap wajahnya di depan kaca, rambut tertutup jilbab dengan rapi, Kila memutuskan menutup tubuhnya sekarang, tubuh nmhina yang di penuh dosa dan kesalahan, harusnya tak pantas bersikap sok suci seperti ini."Sudah siap pulang?" Pertanyaan mbah Sumi membuat Kila tersadar dari lamunan."Kamu cantik nduk." Ucap wanita tua itu lirih, dia terharu melihat betapa cantikny Kila saat berhijab."Bagaimana jika mereka tidak menerima aku mbah?" Rasa khawatir menghantui pikiran Kila."Jila begitu pintu rumah ini terbuka untukmu nduk." Ucap mbah Sumi dengan wajah tulusnya.Tangan kusut itu membasuh wajah Kila dengan lembut, membetulkan letak jilbab wanita itu agar lebih sempurna."Pulanglah nduk, mbah akan menunggu kabar darimu." Ucapnta lirih.Kila bersimpuh di kaki mbay Sumi, merasa wanita itu pantas di mintai restu, sejak datang tadi pagi ke rumah ini tak ada satupun kalimat mbah Sumu yang terdengar menghakimi, beliau bahkan tal bertanya kenapa Kila berbuat begitu, yang beliau katakan hanyalah
Jani masih menunggu di sudut jendela, Lwon berjanji Leon hanya akan pergi sebentar, namun hingga menit-menit dirinya akan melakukan tindakan, Leon belum juga kembali ke rumah sakit."Nanti juga datang non, mungkin memang ada urusan yang belum bisa di tinggal" Bi Marni memberikan Jani pengertian berharap gadis bermata indah itu tak merasa di tinggalkan penyelamat nya."Mas Leon tak akan tega meninggalkan non Jani sendirian, dia pasti punya alasan kuat kenapa harus begitu saja meninggalkan non Jani sendirian."Jani hanya terdiam, tak ada jawaban yang harus dia berikan, semuaa kalimat bi Marni benar meski dirinya merasa tetap saja tak bisa tenang."Sebaiknya nona segera berganti baju, dokter akan tiba segera." Alexa memberikan baju rumah sakit pada Jani, wanita itu mengigit bibir bawahnya sendiri, merasa cemas saat mengambil baju yang terlipat di atas tempat tidur dan berjalan dengan ragu ke dalam kamar mandi.Jani menutup pintu perlahan, dengan perasaan yang tak bisa di gambarkan sekara
Hari ini Sri bangun dengan terkejut, kabar Aini kabur dari rumah sakit membuat dirinya merasa cemas sekarang, bahkan sejak beberapa hari lalu dia tak membiarkan Mutia sendirian, meski Aini tak tau dimana rumah mereka, Sri tau wanita itu bisa saja melakukan hal buruk.s"Jadi bagaimana, apakah Aini sudah di temukan?" Tanya Sri cemas, dia tak tau bagaimana harus bersikap sekarang."Belum, sejauh inu kami masih teruss berusaha mencari. Tapi wanita ini sangat licik nyonya, kita semua tau Aini adalah wanita yang benar-benar penuh siasat."Sei meremas kesal tangannya sendiri. "Harusnya aku tak membiarkan wanita seperti ini hidup!" Ucapnya menyesalu mengapa tak dia selesaikan saja hidup Aini sejak awal, kebaikannya ternyata mungkin membawanya pada masalah lagi."Kita akan segera menemukan wanita ini nyonya, saya berjanji." Arman memberi hormat, lalu keluar ruangan Sri setelah merasa tak ada lagi yang akan dia sampaikan.Sri berjalan gusar masuk kembali ke kamar Mutia, gadis itu duduk di dekat
Fandi hampir sulit berjalan, Aini tak melepaskan tangannya walau hanya sebentar, dia takut di tinggalkan dan mau tak mau Fandi manut sama pada wanita itu."Masak kita mau ajak dia!" Fani berbisik, rencana mereka akan pergi dan meninggkan Aini namun kenapa justeru wanita tak waras itu bergelayut manja pada Fandi."Nanti kita pikir dulu sekarang ayo kita pergi saja, lagi pula semakin berbahaya di sini, kita bisa saja jadi korban amarahnya lagi, apa kamu tak merasa takut?" Ucap Fandi tak tau lagi bagaimana harus bersikap sekarang.Fani melirik ke arah Aini, memang wanita itu membuat dirinya bergidik ngeri, keadaannya Sekarang sudah sangat mirip dengan adegan film psikopat."Yasudah mas, ayo kita pergi." Ucapnya manut juga setelah itu, mungkin akan ada cara bagaimana nantinya Aini harus di singkirkan."Ayo berangkat!' Ucap Aini lalu duduk di dalam mobil lebih dulu, dia duduk di sisi kemudi dan kemudian tersenyum sangat mania pada dua kakak beradik itu.Fandi dan Fani berusaha juga tersenyu
Sri rejeki bersiap sejak beberapa jam lalu, kedatangan ibu kandung Mutia membuatnya bahkan merasa sangat berdebar, ada banyak hal yang ingin dia katakan pada wanita itu, wanita yang menurutnya begitu banyak menyimpan luka yang belum terobati."Ya sayang? Kau sudah selesai." Sri mengangkat panggilan dari Satria."Belum, setelah ini masih ada operasi lain. Apakah sudah sampai?" Satria bertanya dari balik ponsel."Sudah, aku aka segera masuk. Bagaimana operasi pertamanya?" Sri bertanya pada sang suami.Hari ini harusnya Satria menemani sang istri, namun panggilan darurat dari rumah sakit dirinya harus kembali ke pekerjaan utamanya."Baik, semua berjalan lancar., aku berharap semua juga lancar di sana"."Semoga sayang, tunggu saja kabar selanjutnya dari istrimu ini." Ucap Sri dengan gurauan.Terdengar tawa renyah dari balik ponsel Sri namun hanya wanita itu yang bisa mendengarnya dengan jelas."Baiklah, aku harus kembali bekerja, jangan lupa hubungi aku segera. I love you sayang." "I Lov
"Bagaimana jika kita menikah?" Suara lelaki tampan di ujung tebing membuat debar jantung wanita yang menatapnya serasa akan melompat dari raga."Jangan bercanda Arka." Dia menjawab dengan santai, berusaha mengendalikan degup jantungnya sendiri."Aku bercanda? Aku sedang bicara serius padamu Lusia." Matanya tajam meyakinkan lawan bicaranya."Kamu yakin akan menikah denganku?" Tanya gadis itu ragu."Apa kamu meragukan aku?" Sorot mata tulus itu memancarkan kehangatan."Bukan begitu, aku hanya tak ingin kali ini kamu merasakan penyesalan, hidupku tak seperti ga dia lain." Ucapnya lirih, banyak hal sudah terjadi padanya selama ini.Wanita itu menatap dengan sayu. "Aku hanyalah gadis miskin Arka, kamu tau bagaimana ibuku membesarkan aku sendiri." Mata berwarna Kelabu itu menatap dengan sendu, kelopak matanya panjang kecoklatan, Arka merasa sedang menatap manekin di sebuah pusat perbelanjaan."Apakah aku perduli dengan masa lalu keluargamu?" Arka mengatakan itu bukan tanpa alasan, dirinya s
Jani menyentuh kopernya dengan erat, kebetulan demi kebetulan ini terlalu tak mungkin di anggap biasa. Bagaimana bisa bahkan nama yang sama muncul dalam mimpinya dia dengar juga di dunia nyata, sementara dirinya bahkan belum menyadari arti dari segala mimpinya selama ini."Leon!" Jani meminta Leon membantuny sekarang.Leon mendekat, membawa wanita Jani masuk ke dalam mobil lebih dulu dan kini dia berjalan kembali ke arah wanita di depan mobilnya."Apakah kami menggenal anda?" Leon berusaha mencari tau siapa wanita di depannya itu.Sri menatap dengan wajah datar. dia sudah mencari tau siapa lelaki yang ada di depannya ini."Harusnya tidak, tapi saya yakin anda akan tau nama Arka."WajahnLeon berubah, dia melihat ke arah mobil sebentar, memastikan Jani tak mendengarkan percakapan mereka."Sepertinya apa yang akan anda bicarakan sangat penting, bagaimana jika kita bertemu lain waktu." Leon menawarkan.Sri menaikkan alisnya heran, dia menyadari seperti nya ada yang di sembunyikan Leon, ta
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil