Pagi ini, aku antarkan Lala ke sekolahnya, sebelum berangkat ke kantor dan mengurus beberapa pekerjaan, aku memang selalu menyempatkan diri mengantarkan Lala ke sekolahnya."Mutiara!" Lala berteriak dari dalam mobil saat melihat sahabatnya itu berjalan ke arah gerbang.Aku memperhatikan dari dalam mobil, bahkan saat tiba-tiba mbak Ainienepis tangan Lala yang menggandeng Mutiara. Aku sampai melepaskan kacamata karena terkejut, ada apa dengan mbak Aini, apa Lala berbuat salah padanya?Aku parkiran mobilku dan mendekati Lala yang masih terpaku melihat Mutiara di ganeng ke ibunya ke dalam sekolah."Mama antar masuk sayang." Ucapku dengan senyuman hangat, meski hatiku panas melihat anakku di perlakukan seenaknya, akuasib coba manah diri untuk tak membuat Lala merasa lebih sedih."Ma, kok mama Mutiara nggak bolehin Lala sama Mutia?" Denvan polosnya gadis kecilku bertanya.Aku tersenyum mengusap rambutnya yang terikat dua."Mungkin mama Mutia sedang buru-buru, jadi mau Mutia segera masuk ke
"Mbak, maafkan aku mbak." Danu tak berhenti mengiba, namun aku tak bisa lagi memberinya maaf."Lepaskan Danu, dengar pulanglah, kita akan bertemu di rumah ibu mertuamu!" Ucapku kesal dan bergegas kembali ke dalam mobilku."Mbak, jangan begitu mbak, kita bisa bicara berdua dulu mbak." Danu berusaha mengikuti aku."Bicara saja nanti di depan keluargamu itu!" Aku menepis kasar tangannya yang terus coba menghentikan langkahku.Aku tutup pintu mobil dengan segera dan melihat dengan kesal ke arah kaca yang pecah di depanku, aku memijat kepalaku yang berdenyut, hariku benar-benar kacau sekarang.Kuambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi Arman."Man, aku kirim lokasi tempatku berada, tolong bawa derek untuk mengurus mobilku.""Apa terjadi sesuatu nyonya?""Ya, orang gila sudah memecahkan kaca mobilku!" Ucapku kesal menatap Danu yang masih terus mengetuk kaca mobilku dan mengiba.Tak lama Arman datang dengan mobil derek di belakangnya, kulihat dia segera turun dan menyingkirkan Danu dari s
"Sekarang dari mana kamu akan mulai cerita Fani?" Aku bertanya, menatapnya yang hanya berani melihatku tanpa mau menatap wajah ibu yang kecewa padanya."Apa salahku padamu mbak, sampai kamu tak bisa membiarkan aku hidup tenang!" Dia menatapku tajam."Kamu berteriak padan Fani, bahkan kamu tanya apa salahmu? Sekarang kembalikan semua uang itu dan aku anggap urusan kita satu ini selesai!" Aku menatap dirinya yang terlihat sangat marah, semua orang akan berlaku sama jika kecurangannya terbongkar, ini adalah cara seseorang membela diri, untuk terlihat kuat." kembalikan sisa dari dua juta yang kamu berikan pada ibu, bisa?""Bukankah kamu sudah memberikannya pada keluargaku mbak, lantas tak malu menjilat ludah yang telah kamu buang?"Aku tersenyum sinis, dia baru saja mengakui perbuatanya."Aku memberikannya untuk kirim doa, lalu di mana uang itu?"Mas Fandi mendekati Fani. "Jawab Sri Fani, dimana uang yang dia berikan?""Lepaskan aku mas!"Fani membentak kakanya sendiri."Kalian cuma memi
"Jadi karena itu kamu menolakku? Bukan karena lelaki baru itu?""Siapa maksudmu mas, Satria?"Mas Fani hanya diam."Ya, dia juga jadi alasan. Satria sudah melamarku mas dan dia menunggu sidang terakhir kita beberapa hari lagi lalu menunggu masa udah ku selesai.""Jadi begitu?""Ya, aku harap kamu mengerti posisi kita sekarang."Mas Fandi terdiam sebentar, aku tau dia pasti sedang memikirkan banyak hal terutama rasa kecewa nya.Aku melihat dia menghela napas, lalu duduk di tangga teras rumahnya."Dulu harta bagimu tak bernilai Sri.""Iya, aku baru menyadari juga mas, kenapa dulu aku tak memikirkan harta dan tahta.""Apa kamu tak pernah bahagia saat bersamaku?""Aku bahagia mas, apa pernah aku mengeluh selama jadi istrimu?"Dia diam, mungkin mengingat kembali adakah kalimat aku mengeluh saat jadi istrinya dulu."Aku tak pernah mempermasalahkan berapapun uang yabg kamu beri, bahkan saat kamu bilang memberikan uang untuk Fani padahal kita juga butuh, aku tetap diam.""Lalu kenapa sekarang
"Maaf bu, tapi lelaki yang tertangkap mencuri itu Danu, sekarang ada di masjid dekat tikungan itu""Apa, Danu? Ya Allah ada apa lagi ini, belum selesai satu masalah sudah muncul masalah baru."Ibu berlutut di halaman rumah, di peganggi sepupu perempuannya, tubuhnya gemetar hebat, aku tau ibu pasti sangat terpukul sekarang."Fandi ayo kita susul iparmu itu!" Ucap ibu sambil menarik tangan mas Fandi keluar halaman rumah mereka.Gemetar ibu berjalan menyusuri tepian, banyak nya orang berkerumun memenuhi halaman masjid, membuat ibu mencengkeram tangan mas Fandi dengan erat."Ibunya Robi, bukanya itu suami Fani?" Teriak wanita dengan tubuh berisi, seingatku dia adalah pemilik warung di depan rumah ibu.Ibu hanya diam menundukan, berjalan membelah kerumunan masuk ke teras masjid yang sudah di penuhi jama'ah."Dimana Danu Man?" Aku bertanya pada Arman yang sejak tadi ikut berdiri mengamankan situasi."Di dalam nyonya." Ucapnya menunjuk ke dalam masjid yang mereka jaga.Ibu dan mas Fandi mend
Tiba di pabrik, aku selesaikan pekerjaan lebih cepat, semua yang harus aku periksa telah selesai lebih dulu, setelahnya segera aku hubungi bagian keamanan."Siapkan mobilku sekarang!" Ucapku pada salah satu satpam yang jaga. Aku ingin menjemput Lala lebih dulu.Setelahnya aku keluar kantor, menuju ke parkiran untuk pergi ke sekolah Lala, aku tak ingin anakku menunggu terlalu lama di gerbang sekolahnya.Aku parkir kan mobilku di seberang jalan dan kulihat di depan sekolah anak-anak sudah berhamburan keluar. Aku keluar mobil dan menyeberang jalan, mataku melihat Lala yang berdiri menunduk ke bawah, saat aku ingin memanggilnya, aku justeru melihat mbak Aini berjongkok memarahi anakku sekarang."Kau cubit Mutia, ngaku kamu!" Ucapnya kesal, suaranya lantang hingga aku pun bisa dengan jelas mendengarnya.Lala menggelengkan kepalanya, dia takut bicara bahkan aku melihat tangannya gemetar sekarang."Anak kecil sudah pandai bohong kamu! Sini kamu, aku hukum kamu!" Teriaknya menarik tangan kecil
Malam semakin larut, aku masih termenung di dalam kamarku sendiri, bahkan ku melewatkan makan malam dan Lala membawakan aku sup hangat tadi. Hatiku merasa sakit mendepati kenyataan bapak akan pulang ke negaranya esok hari, sungguh saat itu adalah hari yang sebenar nya sejak dulu tak ingin aku jumpai.Ya, sejak dulu bapak selalu bilang, bahwa mungkin saja saat aku sudah siap, bapak akan pergi dari hidupku, tapi aku tak pernah membayangkan semua harus secepat ini.Saat bicara dengan bapak tadi, aku ingin menangis dan memeluknya erat, namun aku tak bisa. Bapak tentu akan semakin marah, beliau selalu mendidiku untuk jadi wanita yang tak lemah karena keadaan.Tok.. Tok..Ketukan di pintu membuatku tersadar dari lamunan, aku beranjak membuka pintu kamar dan kak Zui sudah berdiri dengan pakaian hitam dan celana berbahan kulit."Ada apa?" "Ada masalah di sektor enam." Ucapnya sudah memakai alat komunikasi dua arah di telinganya."Masalah apa?" Tanyaku.Sektor adalah sebutan pembagian wilayah
Arman datang dengan tergesa-gesa, dia menutup pintu ruangan dan menguncinya, berjalan gugup dia mendekati ku dan kak Zui."Ini pembunuhan berencana, mereka ingin menghancurkan tempat ini.""Siapa? Siapa yang berani bermain dengan keluargaku?""Belum tau, saya masih mencoba mencari tau apa yang terjadi." Ucapnya membuat aku diam dengan geram."Wanita itu datang Kemari sendiri, kemudian dia masuk ke ruangan itu dan_Kalimat Arman terhenti, suar gaduh di luar ruangan kami membuat aku, kak Zui dan Arman saling pandang."Apa terjadi sesuatu?"Aku bertanya sembari berdiri dari tepat dudukku, berjalan mendekati pintu dan membuka pintu itu. Beberapa orang berlarian ke atas lagi, beberapa ga dia menjerit larinke bawah dan keluar dari gedung ini. Arman dengan sigap naik bersama pengawal yang lain, sementara aku dan kak Zui mengikuti dari belakang, menyusul mereka naik lagi ke lantai atas."Apa yang terjadi?" Tanyaku saat meneger tempat ini berjalan turun dengan wajah memerah.Hueekk! Hueek!Dia
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil