Sampai ke dalam rumah sakit, tak perlu menunggu lama Lala segera di bawa untuk melakukan CT Scan, sebab hanya itu satu-satunya cara mengetahui ada masalah apa di dalam kepala gadis kecil itu.Hingga menjelang sore mereks masih menunggu hasil Scan dan seorang doker wanita masuk bersama perawat."Halo dokter Rion." Sapa wanita berhijab besar itu pada Satria."Halo, dokter Mira, lama tidak berjumpa."Dokter Mir tersenyum melihat Satria dan setelahnya ia kembali melihat Lala. Dokter Mira memeriksa setiap detail keadaan Lala dan tersenyum melihat bagaimana keadaan gadis itu."Hasil scan sudah keluar dokter Rion dan kita akan membacanya bersama." Dokter bernama Mira itu mengambil rekam medis Lala dan mencatatkan benerapa hal."Apa dokter Mira sudah melihatnya?" "Iya, tapi lebih baik orang tua pasien sendiri melihat dan mendapat penjelasan, bisa kita bicara di ruangan depan?"Kali ini Sri berdiri dan menggandeng tangan Satria." Akan ikut!" Bisiknya di telinga sang suami.Satria tak memberi
"Mei, berhenti!" Suara tuan Lee tak lagi terdengar di telingga putrinya."Kejar istrimu Iyan!" Perintah tuan Lee segera setelah Sri pergi."Tapi bagaimana dengan bapak?" Satria masih ragu." Kejar istrimu dulu, bapak bisa jalan sendiri!" Ucap tuan Lee sambil melirik bebeapa pengawal di sisi belakangnya.Memastikan tuan Lee banyak yang jaga, Satria segera menyusul istrinya.Sementara Sri berlari mengikuti petugas yang masuk ke dalam lif, namun saat dia sampai di depan lif, lif telah tertutup dan naik lebih dulu, Sri yang panik mengingat ada tangga dan segera dia berlari ke tangga di tengah gedung."Sayang tenanglah!" Satria mencoba menghentikan langkah istrinya namun terlambat, Sri sudah berlari meninggalkan dirinya lagi.Mau tak mau Satria mengikuti Sri dari belakang, dia tak bisa lagi berteriak meminta berhenti, tidak di tengaj gedung rumh sakit itu.Sementara Sri berlari dengan separuh jiwa yang hancur membayangkan bila terjadi sesuatu pada putrinya, ia berlari tanpa perduli lagi si
Satria berlari memutari rumah sakit, mencari wanita yang di katakan maminya sempat masuk ke dalam kamar Lala, namun dia tidak menemukan orang itu."Bagaimana jika kita periksa cctv?" Arman memberinya saran dan Satria menyetujuinya.Segera dia masuk ke ruang keamanan dan meminta mereka memutar rekaman cctv. Pihal keamanan dengan mudab memberikan rekaman itu mengingat bahwa mereka bida saja melaporkan keteledoran rumah sakit dalam menjaga keamanan pasien pada pihak kedisiplinan, mereka bisa terkena masalah.Satria mengamati layat, melihat wanita itu masuk dari depan dan naik dengan baju biasa, setelahnya dia bergsnti sragam perawat dan.masuk ke dalam ruang perawatan Lala tak lama dia kembali keluar."Perbesar gambar itu!" Ucap Satria dan kini dia melihat jelas wajah wanita itu."Ambil gambar wanita itu dan cari hingga ketemu!" Ucap Satria lalu keluar dari ruangan dengan kesal.Siapa perempuan itu? Apa yang dia inginkan dari kami, kenapa begitu banyak orang ingin mencelakai Lala?Satroa
Aini terlihat berjalan kembali ke arah jalan besar, Arman berjalan mengikuti Aini lagi, namun Satria lebih tertarik melihat apa yang. ada di dalam rumah petak itu."Tuan, wanita itu pergi ke sana!" Arman menyadarkan Satria dari lamunannya."Ikuti dia man, aku akan masuk dan melihat ke dalan rumah ini." Ucapnya lalu mengintip dari balik jendela kaca."A_apa ini!" Ucap Satria dengan mata membelalak, melihat sendiri apa yang ada di hadapannya.Belasan anak duduk tanpa alas di rumah petak sempit itu, mereka nampak makan bersama hanya dengan dua bungkus nasi dan dua potong tahu goreng, yang lebih menyedihkan bocah 3 tahun ikut ada di antara mereka.Kegilaan macam apa ini?"Satria ingin membuka pintu rumah itu, namun bunyi ponselnya membuat dia mengurungkan niatnya dulu."Ada apa?" Tanyanya pada Arman, pengawal pribadi Sri itu sekarang menghubunginya."Apa tuan masih lama?""Memangnya ada apa?""Aini sudah pergi lagi dengan mobil lain.""Apa? Oke kamu ikuti dia, jangan lupa kirim lokasimu n
Sri ambruk ke lantai, pilihannya begitu sulit, jika dia biarkan Lala tetap di sini, kapan saja putrinya bisa mati, tapi membawa Lala dengan cara mengerikan itu, Sri takut putrinya benar-benar tak akan bisa di selamatkan"Katakan Mei, apa yang kamu pilih?" Bapak kembali berucap dengan lantang dan membuat tubuh Sri semakin gemetar."Mei!""Suntikkan dokter Mira, suntikkan!" Ucap Sri gemetar bersamaan dengan suara bapak yang memanggil namanya dengan lantang.Erica memeluk Sri dalam tangis, melihat dokter Mira menyuntikkan kembali obat yang hampir membunuh Lala tadi dan tak lama detak jantung Lala melemah, Sri gemetar menutup mulutnya, dia mendekat dan memeluk Lala yang benar-benar diam sekarang.Dengan cepat perawat melepaskan semua alat yang menempel di tubuh Lala dan gadis itu di bawa keluar dengan selambu menutupi seluruh tubuh hingga kepalanya."Mami..." Lirih Sri berucap memanggil mertuanya, dirinya begitu lemah seolah dunia ikut runtuh bersamanya."Segera ke ambulan!" Ucap tuan Lee
Sri berhenti menanggis, menatap ke arah bapak yang tersenyum tipis menghadap ke depan."Lala baik-baik saja sayang, aku akan membawanya ke rumah yang sudah bapak siapkan.""Kamu yakin dia baik-baik saja Tri? Maksudku kamu yakin yang bersamamu itu Lala? Bukankah aku sedang membawa pulang jasadnya sekarang?""Ya, biarkan orang menganggapnya begitu, setidaknya rencana kita berhasil.""Aku masih tidak paham, maksudnya kalian menukar tubuh Lala?""Lebih baik bapak yanh jelaskan, biarkan Satria mengurus Lala dulu Mei."Sri menatap ke arah tuan Lee dan Satria mematikan ponselnya dan kini Sri hanya bisa diam mencerna apa yang sebenarnya terjadi."Bapak, ada apa ini?" Tanyanya polos menatap tuan Lee."Seperti yang kamu dengar nduk, semua sudah bapak rencanakan."Ingatan tuan Lee melayang pada saat dia sendiri memeriksa cctv rumah sakit, setelahnya dia tau yang mereka incar bukanlah amarahnya, melainkan memang kematian Lala."Kamu sudah di jalan?"Saat itu tuan Lee menghubungi Arman, beberapa
Sri keluar dengan pakaian hitam, wajahnya sendu menatap setip tamu yanh datang, mbak Lia menangis di sudut ruang, memeluk Sri saat wanita itu berada di dekatnya."Kenapa bisa begini Sri?" Ucap wanita itu berusaha menenangkan hati Sri.Sri hanya diam, menatap kosong ke depan, ah sebenarnya bukan menatap kosong, dia sedang melihat ke arah Aini yang duduk di antara banyak pelayat."Mana suamimu, kenapa dia tidak menemsni kamu?" Lia bertanya pada Sri dan membuat beberspa orang menatap ke arahnya. Tak banyak yang tau Sri sudah menikah, bahkan beberapa dari mereka menganggap Lia salah bicara.Sri kembali diam, Mami mertuanya memeluk erat tubuh sang menantu, sebab dia juga merasa sedih. Erica sendiri tak tau bahwa Lala masih hidup, karenanya dia benar-benar merasa terluka dan sedih."Kenapa kamu tak bisa menjaga cucuku?" Ibu Fandi datang dan langsung menemui Sri, wanita itu menatap marah ke arah mantan menantunya, menganggap Sri sudah gagal menjaga sang cucu."Katakan Sri, kenapa kamu bisa
Ark!Brak! Brak!"Aku benci kalian semua!" Aini memukul kesal setir mobilnya, mengingat dengan jelas wajah menyebalkan Sri saat Satria mengatakan mereka sudah menikah."Kenapa harus Sri? Wanita itu bahkan tak lebih cantik dari aku!" Ucapnya kembali dengan napas memburu, bayang wajah Sri yang seakan meledeknya tergambar begitu jelas."Aku sudah menggorbankan semua yang aku punya, harga diriku, kehormatanku, bahkan nyawaku sendiri tergadaikan hanya untuk membuat wanita itu terpuruk, tapi yang kudapat justeru kabar mengejutkan lain.""Harusnya aku membunuhmu juga Sri, bukan cuma anakmu yang kecentilan itu." Ucapnya kembali dengan wajah marah.Mobil Aini melaju membelah jalanan, hari ini langit sedikit mendung, rintik hujaan tak berhenti sejak dia keluar dari rumah tuannya. Perlahan dia menginjak rem, lampu merah menghentikan laju mobilnya. Aini melihat ke sekitar, berpikir haruskah dia mengambil jalur kanan, atau lurus untuk kembali menemui tuan Yuan.Ya, dia perlu bicara dengan tuannya
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil