Mobil Aini memasuki pelataran milik Yuan, anak buah Yuan sudah menunggu di depan dan membuka kan pintu untuk Aini."Terimakasih, apa tuan Yuan sudah menunggu lama?" Aini bertanya sembari merapikan riasannya, wajahnya yang bersih kini nampak semakin cerah dengan bibir merah merona yang baru saja ia poles."Tuan sedang ada tamu, jadi tunggu lah di luar." Ucap seorang lelaki pada Aini."Begitu, baiklah aku akan masuk saja ke kamar biasa." Aini berjalan mendekati rumah, namun tangannya di tarik untuk menjauh."Tidak ada yang boleh masuk sampai Tuan Yuan memberi perintah."Aini berkacak pinggang, seperti nyonya besar matanya membelalak menatap para pengawal Yuan."Aku ini Aini, wanita yang selalu di inginkan tuan kalian, apa aku harus menunggu di sini seperti jalang murahan?"Pengawal berambut cepak itu mencibir dengan jelas." Apa bedanya kamu dengan perempuan murah lain yang datang kemari? Tuan Yuan bukan hanya menidurimu, ada banyak wanita datang dan pergi setiap hari, kamu hanya salah s
Entah kenapa amarah Sri tak juga reda, setiap kali dia ingat apa yang sudah di lakukan Aini dan Fandi pada putrinya, Sri tak pernah bisa meredakan gejolak di dadanya sendiri."Mau mandikan Lala?" Erica melihat menantunya menuang rebusan air dalam baskom yang sudah berisi air dingin."Ya ma, tadi masih tidur saat Mei lihat, mungkin sekarang sudah bangun." Ucapnya sembari meletakkan panci kosong ke dalam tempat pencucian."Ya, semalam dia bicara banyak dengan Bapakmu, mungkin itu membuatnya lelah."Sri hanya tersenyum mengiyakan. "Mei ke kamat dulu mam." Ucapnya lalu meninggalkan dapur menuju kamar Lala.Semalam Sri masih ingat jelas bagaimana bapaknya meminta dirinya untuk tak lagi memikirkan balas dendam, bagi lelaki berpengaruh itu hidup Lala jauh lebih bernilai sekarang. Sri tak dapat membantah semalamnamun juga tak bisa begitu saja menerima, sulit baginya memaafkan semua yang sudah membuat gadis kecilnya yang ceria menanggung sendiri semua lara."La, kita mandi dulu sayang."Sri ma
Apakah demensia itu berbahaya?"Sri bertanya dengan cemas, tangannya meremas seperti tak sabar menunggu penjelasan suaminya."Beberapa kasus akan membaik, namun ada juga yang membuat penderitanya terus mengalami gangguan ingatan yang lebih serius." Satria menatap lekat manik mata istrinya."Kamu lihat ini?" Satria menunjuk satu bagian dari gambar otak di layar."Ini bagian di mana Lala mengalami pendarahan dan di sekitarnya adalah jaringan yang mengalami peradangan serta penurunan fungsi.""Kita tak bisa membawa Lala pulang sayang, dia harus di sini untuk pemeriksaan berkala, ini serius." Ucap Satria dan membuat Sri kembali merasa Sri menatap layar dengan seksama, mendengarkan penjelasan Satria yang lebih mudah dia terima meski akhirnya membuat hatinya kembali terasa lebih sakit dan kecewa."Apakah ini bisa sembuh sayang, mengingat Lala masih muda pasti besar kemungkinan dia bisa segera pulih kembalikan?" Sri menatap dua manik mata Satria namun hanya helaan napas yang di dengar."Kit
Sri menunggu Lala di dalam kamarnya, di tempat ini dia hampir tak mau keluar kamar, takut bila ada orang lain yang tau Lala masih hidup. Bahkan bila harus keluar, Sri memilih untuk menyamar menjadi orang lain, dia terlalu takut dunia mencelakai putrinya lagi."Ma." Lirih gadis kecil memanggil."Ada apa sayang." Sri mendekat dengan senyum hangat, tak ingin Lala merasa sendiri dia membelai kepala putrinya dengan lembut."Apa Lala sakit parah?"Gadis itu bertanya, ia sudah bangun setelah dokter memeriksanya tadi. Lala kejang saat di bawa kemari, ia tak memberi respon, bahkan tangan dan kakinya gemetar seperti dirinya kehilangan kemampuan mengendalikan tubuhnya sendiri.Sri mencoba tenang dan berjalan mendekati putrinya. "Dokter sedang memeriksa, Lala baik-baik saja?""Iya, lala mau minum ma, haus." Ucapnya pelan, wajahnya tak lagi terlihat sayu."Lala ingat mama tidak?" Sri mengambil minum namun terus bertanya pada putrinya.Gadis itu mengangukkan kepalanya. "Ingat, mama kenapa tanya beg
Lia masuk dan tersenyum remeh saat melihat mantan adik iparnya itu duduk menatap dirinya, dia menghampiri Fandi setelah meminta teman lelakinya duduk di sudut lain."Ada angin apa kamu datang kemari?" Lia menarik sebuah kursi dan duduk dengan tangan terlipat di dada."Ada yang ingin aku tanyakan, tapi apa Mbak kenal lelaki itu?"Lia kembali tersenyum sini. " Apa urusanmu bertanya begitu, abangmu yang memintamu datang kemari?""Bukan, ini urusanku sendiri." Ucap Fandi dingin, dia begitu canggung untuk kembali menatap.ke arah lelaki teman mantan kakak iparnya itu, dia sendiri merasa meja tempatnya duduk terus di awasi."Ada apa? Katakan segera karena aku sedang sibuk!" Lia meminta dengan dingin, dia tak ada waktu berbasa basi dengan Fandi di hari sibuk nya."Aku hanya ingin tau dimana Sri berada.""Untuk apa kamu tau dimana Sri, toh dia bukan lagi istrimu dan ingat Fandi, tak ada anak di antara kalian!" Lia seolah mengingatkan Fandi bahwa dia memang tak ada lagi urusa dengan mantan istr
"Kita harus kuat." Satria meminta pada istrinya untuk bisa lebih kuat menghadapi kenyatan."Aku mungkin bisa kuat, tapi saat menjalani semuanya, kenapa terasa begitu berat,napakah aku bisa menjalaninya?" Air mata Sri menetes, sesak mengingat kembali bagaimana Lala pelan-pelan mulai melupakan banyak hal kecil."Ya, aku tau sayang, semua akan terasa berat, tapi kita tetap harus bisa menjalaninya." Satria mengusap lembut wajah cantik istrinya, mereka duduk berdua, bersandar pada sofa di sudut kamar tempat lala di rawat."Hari ini mungkin hanya nama buah yang ia lupakan, tapi esok, lusa, atau entah kapan mungkin Lala tak akan ingat lagi namanya, bahkan kita." Ucap Sri dengan air mata berderai, tak bisa dirinya membayangkan bila keadaan menjadi berat saat Lala mulai tak ingat siapapun.Satria memeluk Sri dengan erat ia pun tak mampu membayangkan bagaimana jika itu terjadi, namun saat ini baginya melihat Lala hidup jauh lebih melegakan di banding harus kehilangan.****Hari ini tuan Lee ban
Mereka masih berada di loby hotel, tuan Lee begitu menahan diri menghadapi tingkah Yuan yang menurutnya menyebalkan, dirinya kini mengerti bahwa mungkin diam nya Yuan adalah sebuah jawaban."Jika kau tak ingin menjawab, aku tak akan memaksamu, lagi pula bukankah kita pernah jadi teman." Tuan Lee mencoba mengingatkan Yuan bagaimana hubungan baik di antara mereka dulu."Teman? Apakah teman akan meninggalkan temanya yang lain?"Senyum tuan Lee begitu sinis mendengar jawaban Yuan, ia tau, lelaki itu sedang menyindir masa lalu mereka."Kau yang tak mau tumbuh dan berkembang Yuan, salahkah aku bila akhirnya aku bisa membangun sendiri kerajaanku?"Wajah Yuan memerah mendengar ucapan Tuan Lee."Harusnya sekarang aku membawamu ke tempat sepi, aku bisa mencari kebenaran dari semua pertanyaanku padamu bukan? Namun aku menahan diri Yuan, kau berhak dapat kesempatan!" Ucap tuan Lee masih menunggu Yuan berkata jujur."Aku rasa kau tau
Sementara sejak di usir pergi oleh tuannya, Aini tak bisa tidur tenang, bayang Lala bahkan semua kesalahannya pada gadis kecil itu serasa terus mengikuti langkahnya. Suara, bisikan bahkan bayang gadis itu seolah mengiringinya siang dan malamBrak!Aini tersentak, bangun dari tempatnya duduk karena terkejut, sebuah benda jatuh di dekat kakinya."Berhentilah mengganguku gadis bodoh!" Teriaknya kesal menatap langit-langit kamarnya seolah dirinya sedang mencari dimana Lala berada."Dengar, ganggu saja ayahmu itu, dia yang ingin melenyapkamu dari dunia ini, bukan aku, aku hanya ingin membalas dendam pada ibumu, ah bukan, lupakan saja dan jangan ganggu aku!" Ucapnya gemetar, ingin rasa nya dia mengakhiri segala masalah yang ada.Aini berdiri seolah mendengar tawa Lala menggaung di telinganya."Hentikan!" Teriaknya tanpa henti."kamu gadis bodoh seperti ibumu itu, minta saja dia bertanggung jawab, semua salahnya juga tak becus merawatmu dengan baik!" Umpatnya kembali merasa tertekan dengan s
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil