"Ini adalah beberapa bukti kejahatan yang pernah dilakukan oleh pria itu sebelum kasus ini! Dan saya harap, ini semua bisa semakin memberatkan hukumannya!"
Dimas langsung memberikan beberapa berkas yang sebelumnya sudah dipersiapkannya dari rumah pada pihak kepolisian. Dan tak hanya itu saja, beberapa bukti foto isi buku diary adik kandungnya pun juga terdapat di sana sebagai salah satu bukti yang mungkin akan membuat Evan lebih lama bertahan dipenjara.Ya, seperti yang tadi Dimas katakan pada Evan sebelumnya. Ia sungguh ingin membuat pria licik itu mati membusuk di dalam penjara, karena semua kejahatannya memang sudah benar-benar tak bisa dimaafkannya lagi. Bahkan bisa saja korbannya bukan hanya Nara dan Chintya adiknya saja, mungkin masih ada banyak perempuan lain di luar sana."Baik, Pak. Kami akan segera memeriksanya kembali. Terima kasih atas kerja samanya, dan mudah-mudahan saja semua proses hukum ini akan berjalan dengan lancar," ucap salah satu pih"Tapi, Mas ...."Brukkk!Belum sempat selesai Nara mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba saja tubuhnya ambruk tak berdaya. Perempuan dengan air mata yang masih terlihat jelas membasahi pipinya itu seketika pingsan, dengan hampir saja menyentuh tanah merah yang ada di sekitarnya. Hingga akhirnya Dimas yang menyadarinya pun langsung dengan cepat membopongnya, dan membawanya ke rumah sakit terdekat yang ada di sekitar sana.Klekk!Suara pintu terbuka, dan langsung menampilkan seorang dokter perempuan dengan sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya."Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Kenapa istri saya bisa tiba-tiba pingsan seperti tadi? Istri saya tidak kenapa-kenapa 'kan, Dok?" tanya Dimas langsung tanpa berbasa-basi, dengan mengeluarkan sederet pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otaknya.Sebagai seorang suami, jelas Dimas merasa sangat khawatir. Rasanya sudah lama sekali Nara tidak tiba-tiba pingsan seperti tadi, karena kema
"Mas, aku mau ikut ya? Please? Aku enggak mau tinggal di rumah sendirian, Mas. Boleh ya, Mas?"Di pagi-pagi seperti ini, Nara sudah merajuk meminta ikut suaminya yang ingin pergi berangkat kerja. Bahkan sedari tadi perempuan itu tak kunjung mau melepaskan pelukannya, sebelum dirinya benar-benar diizinkan ikut.Padahal sebenarnya, Dimas masih ada agenda lain pada hari ini. Ini tak hanya tentang pekerjaannya saja, akan tetapi juga tentang hal lain yang menurutnya jauh lebih penting."Mas, ayolah. Aku hanya mau ikut denganmu saja. Aku janji, aku tidak akan menggangu pekerjaanmu kok," bujuk Nara sekali lagi, sambil bergelayut manja di lengan kekar suaminya itu."Hufftt, Sayang," ucap Dimas akhirnya, ketika jari lentik istrinya itu kini mulai bermain-main sedikit nakal di bajunya."Iya, Mas?" Nara mendongakkan sedikit kepalanya. "Jadi aku boleh ikut ya?" tanyanya lagi dengan kedua netra yang mengerjap.Kalau sudah memohon-mohon sepert
"Bi? Bi Inah?""Eh iya, Nyonya? Maaf, tadi Nyonya tanya apa?" tanya Bi Inah balik dengan ekspresi wajah yang terlihat sedikit berbeda dari yang sebelumnya.Entah kenapa Nara bisa merasakan perbedaan itu, walau kenyataannya Bi Inah tengah berusaha tersenyum seperti biasa kepadanya."Tadi aku bilang, sepertinya Bi Inah sudah sangat dekat dengan Mas Dimas dan keluarganya yang lain ya?" tanya Nara sekali lagi, dengan berusaha menepis sekelebat kecurigaan yang sempat muncul di dalam hatinya."Ah, itu ya. Sebenarnya tidak terlalu, Non. Saya hanya dekat dengan keluarga Mas Dimas sebatas hubungan pembantu dan majikan saja. Saya bekerja dengan orang tua Tuan Dimas, semenjak Non Chintya remaja. Walau pada saat ini Tuan Dimas dan Nona Chintya sudah bukan lagi anak-anak, akan tetapi tetap saja mereka berdua sering bercanda dan sesekali membuat keributan kecil. Hubungan Tuan Dimas dan Nona Chintya pada waktu itu benar-benar sangat dekat, Nyonya. Mereka berdua adalah adik kakak yang saling melengka
Nara cukup terkejut, ketika ia menyadari suara siapa yang telah berbicara kepadanya melalui sambungan telepon tersebut. Namun karena ia tak mau gegabah, dirinya pun akhirnya memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu terlebih dahulu sambil menunggu balasan pesan dari seseorang.Nara masih mengingat jelas kata-kata Dimas, sehingga dirinya tak lagi melakukan sebuah sikap yang gegabah. Apa lagi saat ini, dirinya sedang mengandung hasil buah cintanya bersama pria kesayangannya tersebut.Tokk! Tokk! Tokkk!"Iya, silakan masuk!" ucap Nara hingga sedetik kemudian pintu kamarnya itu terbuka dengan lebar.Di sana ternyata sudah ada Bi Inah yang muncul dengan sebuah nampan berisikan semangkuk sup hangat dan juga segelas air putih, yang sedang menatapnya dengan alis sedikit mengerenyit heran."Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Nyonya?"Sejenak Nara berpikir, sambil menggenggam erat telepon genggamnya. Ia sempat menggeleng sesaat, hingga akhirnya Bi Inah berbalik dan ingin pamit keluar. Namun sa
"Huekkk! Huekkk!"Pagi ini sudah kurang lebih lima kali Nara bolak-balik ke kamar mandi untuk melepaskan segala rasa mualnya, akan tetapi entah kenapa rasa yang cukup mengganggu itu tak kunjung hilang dan bahkan terasa semakin memburuk. Rasanya Nara benar-benar tak kuasa lagi. Kedua kakinya sudah lemas, begitu pula dengan kepalanya yang semakin terasa pusing. Ia ingin terjatuh, akan tetapi untung saja ada uluran dua tangan yang langsung sigap menahan dan mendudukkan tubuhnya tepat di atas sebuah keramik yang ada di samping wastafel."Nah, 'kan? Aku bilang apa?"Dua kalimat itu langsung membuat Nara menghela napasnya, dan menunduk menyesal. Ia biarkan pria yang sudah berjas dan berdasi rapi itu mengusap bekas-bekas tetesan air di wajahnya, dan juga membiarkan pria tersebut menguncir rambutnya meski tak serapi ikatannya."Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan yang seperti ini, Sayang. Jadi tolong, tolong jangan paksa aku untuk berangkat kerja lagi. Aku bosnya, jadi tidak mungk
Klikk!Nara langsung menoleh kecewa, tepat setelah Dimas mengalihkan saluran televisi yang tadi telah berhasil memantik rasa penasarannya. Ia berusaha meraih sebuah benda berbentuk persegi panjang tersebut, akan tetapi sayangnya suaminya itu malah menyembunyikannya di balik badan."Hufftt, Mas! Kenapa diganti? Aku mau dengar berita tentang Bella yang tadi dulu, Mas," keluh Nara yang akhirnya menyerah, karena ternyata remote televisi itu benar-benar diduduki oleh Dimas."Tidak, Sayang. Beritanya sama sekali tidak menarik, aku tidak suka. Lebih baik kita menonton acara anak-anak ini saja, sambil membayangkan nanti anak kita bisa bernyanyi dan bermain dengan girang seperti itu," ucap Dimas tak menyetujui.Pria itu langsung berlagak menikmati acara, dengan tersenyum dan bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh para anak kecil yang berbakat dan menggemaskan.Sementara Nara, ia malah semakin mengerucutkan bibirnya. Melipat
Tokk! Tokk! Tokkk!"Permisi, Tuan. Saya ingin mengantarkan sarapan!""Nah, itu dia! Sudahlah, lebih baik kita sarapan dulu. Matikan saja Tv-nya ya? Lalu kita makan," ucap Dimas yang langsung segera beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu.Akhirnya, Dimas bisa mempunyai sebuah alasan yang mampu mengalihkan pikiran Nara. Ia masih tidak mau membiarkan wanitanya itu memikirkan orang lain, apa lagi orang lain tersebut sering sekali berbuat jahat."Nah, ini dia makanannya. Ayo, kita makan!" lanjut Dimas dengan senyum sumringah, sambil membawa sebuah nampan yang penuh dengan sangat hati-hati.Namun sayangnya, melihat hal itu malah membuat kedua alis Nara mengerenyit heran. Ia menoleh sekurangnya tiga kali ke arah pintu, hingga kembali menatap Dimas yang kini sudah berhasil menaruh nampan yang berisikan sup hangat tersebut tepat ke atas sebuah meja kecil yang ada di sisi kasurnya."Lah, kok kamu sendiri? Bi Inah ke mana?
"Woah! Apa aku tidak salah lihat?" ucap seseorang yang baru saja datang dengan sebuah borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya.Sosok itu terlalu ceria untuk seseorang yang baru saja mendekam di penjara. Tak ada raut wajah sedih, atau pun sedikit rasa bersalah seperti para tahanan yang lain. Ia nampak terlihat sangat menikmati semuanya, hingga membuat seorang wanita yang sudah sedari tadi duduk di dalam sebuah ruang tunggu itu mendengkus dan tersenyum miring."Cukup! Sudahi basa-basimu! Aku tahu kau bahagia di atas penderitaanku!"Evan membalasnya hanya dengan tersenyum singkat, seraya duduk tepat di hadapan wanita yang sudah dua kali menemuinya dengan santai.Catat, hanya dua kali setelah dirinya hampir seminggu lebih di penjara. Menurutnya itu adalah sebuah rekor yang cukup buruk, apa lagi kemarin ini ia sempat sangat membutuhkan bantuan pada sosok yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut."Aku bahagia di atas penderitaanmu? Sepertinya kamu salah, Bella. Aku hanya seda
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo