"Maaf, Tuan. Untuk saat ini, kami hanya baru mengetahui informasi tersebut, dan untuk selanjut mungkin nanti kami kabari lebih lanjut lagi," ucap Marvori sesaat setelah menunjukkan beberapa foto rumah baru Evan dan juga alamat jelas tempat tinggal pria itu pada sang atasan.Untuk sesaat, Dimas pun terdiam. Ia melihat kembali ke berapa lembar foto-foto yang baru saja berada di tangannya, sampai akhirnya ia menyuruh anak buah kepercayaannya tersebut untuk sedikit mendekat ke arahnya agar percakapan tak sampai terdengar oleh Nara yang sedang tertidur."Awasi terus rumah ini! Laporkan padaku apa saja kegiatan pria bejat itu di luar sana, dan juga pastikan dia tidak akan kabur ke mana-mana!" tekan Dimas dengan pelan, dan juga dengan urat-urat yang terlihat jelas di lehernya.Kali ini, Dimas memang tak main-main lagi. Ia benar-benar ingin memastikan bahwa Evan lah biang kerok dari semua masalah ini, dan menghukumnya dengan hukum yang setimpal atau bahkan lebih. Gara-gara kejadian ini, kond
Prangg!Sebuah vas bunga yang ada di ujung kamar tidur Nara dan Dimas pun seketika pecah berkeping-keping, tepat setelah tak sengaja tersenggol oleh seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar itu dan baru saja mengangkat sebuah telepon dari salah satu kerabat dekatnya.Dengan seluruh tubuh yang membeku terkejut, ia pun menatap nanar pada semua pecahan keramik yang ada di sekitar kedua kakinya. Hingga akhirnya, perlahan-lahan air matanya pun luruh begitu saja."Ada apa ini? Kenapa vas bunganya bisa pecah?" tanya Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan sedikit terburu-buru.Pria itu keluar memang hanya seorang diri saja. Dimas menyuruh Nara menunggu di dalam kamar mandi sesaat, sampai akhirnya nanti ia kembali setelah memastikan asal mula bunyi menggelegar yang sempat mengejutkan dirinya tersebut."Ma–maaf, Tuan! Maaf! Saya benar-benar tidak sengaja memecahkannya, tadi ... Tadi saya sangat syok, karena baru saja mendapatkan kabar duka dari kampung, Tuan," ucap Suti dengan
"Nara? Apa kamu sudah siap, Sayang?" tanya Dimas setelah keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang melilit pinggangnya, dan melihat ke arah sang istri yang pagi ini sudah mandi terlebih dahulu.Dengan senyum yang kini sudah mulai terlihat lebih sumringah, Nara pun mengangguk mengiyakan. Kedua netra beningnya yang tadinya sempat terpaku menatap ketampanan sang suami yang terlihat semakin hari semakin menggoda itu, kini beralih menatap sekilas ke arah tas dan juga pakaian yang baru saja disiapkannya tadi.Akhir-akhir ini, Dimas memang sangat memberikan perhatian penuh pada Nara. Kondisi Nara yang tadinya sempat sakit pun, kini sudah menjadi semakin membaik berkat segala perhatian dari pria itu. Dimas memang selalu saja mempunyai berbagai macam cara, hingga akhirnya membuat segala kesedihan dan juga pikiran buruk yang tersimpan di dalam benak Nara menghilang. Walau kenyataannya ia tak bisa mengajak istrinya hanya untuk sekedar pergi keluar berjalan-jalan singkat karena takut tida
Brakk!"Tidak mungkin!"Peluh keringat mulai membasahi wajah tampan seorang Dimas Aditya, seiring dengan ruam kemerahan yang mulai terlihat jelas di punggung tangannya."Mas! Sudah, Mas! Tolong jangan sakiti dirimu sendiri!" ucap Nara yang kini sudah berdiri tepat di belakang suaminya.Tanpa basa-basi, Nara pun langsung menarik salah satu pergelangan tangan suaminya. Nara tak mau kembali melihat tangan Dimas memar, karena pria itu kembali memukuli sebuah meja yang tak bersalah di hadapannya. Hingga ia langsung menahannya, dan menggenggamnya dengan erat supaya tangan suaminya itu tak ke mana-mana lagi."Aku benar-benar merasa gagal, Sayang! Aku gagal!" teriak Dimas frustasi dengan kedua netra yang menatap hancur ke arah manik mata hitam yang ada di hadapannya.Saat ini, Dimas dan Nara memang sudah kembali ke rumahnya. Mereka berdua termasuk beruntung, karena bisa melewati berbagai serbuan para wartawan yang ternyata sudah menunggu kemunculan mereka berdua di depan kantor polisi. Akan
"Tinggalkan suamimu, dan kembalilah padaku!"Brakk!"Sial! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melakukan hal yang sangat bodoh seperti itu, Mas!"Seringai lebar di wajah Evan semakin mengembang, tepat di saat Nara menunjukkan jelas amarahnya. Perempuan itu bahkan sampai berani melempar satu kotak tisu yang ada di depan ke arah dirinya, di mana untungnya hasil dari setengah kesadarannya berhasil menangkap kotak tisu tersebut dengan tepat sebelum mengenai dirinya."Sudah! Sepertinya tidak ada gunanya aku berbicara padamu! Aku tidak peduli lagi apakah kau akan membantuku atau tidak, karena aku yakin biar bagaimanapun caranya nanti kebenaran akan tetap terungkap!" ujar Nara dengan napas yang menggebu, seraya kembali meraih tas kecilnya, dan hendak berbalik keluar dari tempat yang penuh akan maksiat ini.Melihat hal itu, tentu dengan cepat Evan pun langsung melemparkan sebatang rokok yang ada di genggamannya. Ia segera berdiri dan menginjaknya, dan berlari hendak mencegah kepergian mant
Kringgg!Sebuah dering telepon berbunyi, di mana detik itu juga langsung membuat Nara menahan napasnya. Bunyi dering telepon itu benar-benar mengalihkan fokus Evan, sehingga dengan tanpa adanya aba-aba pria tersebut langsung meraih sebuah ponsel yang ternyata ia baru sadari sudah ada di dalam genggaman tangan Nara lebih dulu."Sial! Jadi dari tadi kamu merekam suaraku?!" hentak Evan dengan kencang, tepat setelah ia mengabaikan panggilan seseorang yang menghubungi mantan istrinya itu.Dengan rasa panik yang tak dapat dielakkan lagi, Nara pun kini berupaya mati-matian menghindar dari Evan. Pria itu benar-benar sudah sangat kalap, setelah memergoki dirinya yang sudah merekam semua percakapan pria itu tadi. Sehingga kini, akhirnya Nara terjatuh tepat di sela-sela dua buah meja kecil yang ada di sampingnya.Brakk!Pupus sudah harapan Nara untuk membuktikan semuanya, karena kini ponselnya telah dibanting dengan sangat kencang hingga terlihat goresan besar di layarnya."Awhh!"Nara meringis,
"Kamu benar-benar pintar, Sayang!" puji Dimas setelah ia mengetahui persis apa benda yang kini telah berada di tangan istrinya itu.Tanpa menunggu lama, Nara pun langsung menunjukkan hasil rekaman yang telah berhasil didapatkannya pada Dimas. Walau tadi ponselnya sempat hancur tak terselamatkan di saat ia menghubungi salah satu nomor bodyguard yang menjaganya, akan tetapi untung saja salah satu tangannya yang lain berhasil merekam semua apa yang telah dibicarakan Evan kepadanya lewat sebuah alat rekam kecil yang memang sudah sengaja dibelinya sebelum menemui Evan."Bagus! Ini benar-benar senjata akan menjadi senjata terkuat kita untuk menghadapi pria licik itu, Sayang! Aku yakin dengan adanya bukti ini, pasti sebentar lagi dia akan segera mendekam di balik jeruji besi!"Cupp!Dimas mengecup pipi istrinya itu, sebagai tanda apresiasinya ia atas ide cemerlang yang telah dilakukan oleh istrinya itu. Walau tadi ia sempat kecewa, karena Nara sudah membahayakan dirinya sendiri. Akan tetapi
"Nara aku ....""Yes? What do you want? Just tell me," balas Nara dengan suara manjanya, dan semakin mengarahkan jari-jemari lentiknya ke arah sesuatu yang membuat senyumnya tak kunjung memudar.Dimas benar-benar sudah tak tahan lagi. Ia sungguh tak bisa dipancing dengan cara ini secara terus-menerus, apa lagi sang pelaku yang ada di hadapannya ini adalah Anara Wardana yang tak lain dan tak bukan istrinya sendiri.Entah kerasukan makhluk apa istrinya itu, sehingga kini Nara yang sekarang berada di depannya benar-benar terlihat tidak seperti Nara yang dulu yang pemalu. Nara yang saat ini, benar-benar terlihat begitu berani dan menantang.Tadi di sana, Nara tidak minum yang macam-macam bukan?Untuk yang satu ini juga sepertinya tidak, karena tadi Dimas memang sama sekali tak merasakan aroma yang terlalu menyengat dari tubuh istrinya tersebut selain dari bau asap rokok yang ditinggalkan oleh Evan si pria licik itu."Sudah cukup kau menggodaku, Sayang. Kini biar aku yang melakukannya seka
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo