“Bagaimana jika gadis itu memberitahu Eleonora soal dirimu yang asli, apakah semua rencanamu akan berakhir?”Kedua pemuda itu terduduk di sebuah taman kecil di tengah kota, sudah tak ada kendaraan yang melaju mengingat ini sudah hampir menunjukkan jam dua belas malam, mereka memang sudah terbiasa hidup di jalanan jadi mereka tak takut apapun di malam hari seperti ini.“Tidak, aku sejujurnya tidak butuh Nora untuk rencana ini. Ada ataupun tidak ada dia, semua akan tetap berjalan bagaimana semestinya,” jawab Zaheen.Kian mengangguk paham. “Beda cerita jika Emilia memberitahu Isaac soal hubungan anaknya denganku, aku tak bisa membayangkan Nora akan dihukum seperti apa lalu pria tua itu pasti akan berusaha mengejar kita lagi,” jelas Zaheen kembali.Kian menyandarkan punggungnya dan menatap langit yang terang karena rembulan yang hadir menyinari malam dingin ini. “Yang harus kau lakukan adalah meyakinkan orang-orang jika kau masih hidup, tapi pertanyaannya siapa yang akan percaya kecuali.
Apakah ini takdir yang tertukar?Tidak, ini memang takdir yang telah tertulis.Zaheen sudah terbiasa dengan hidupnya yang sekarang namun hidupnya masih belum tenang jika ia masih melihat pembunuh ayahnya menikmati harta ayahnya. Lalu apakah Nora juga punya kesalahan? Tentu, karena ia lahir menjadi anak Isaac Williston.Hari itu, Tuhan membawa langkah Eleonora masuk ke dalam club yang tidak pernah ia masuki sebelumnya, lalu Zaheen juga datang karena mengikuti sahabatnya, Kian. Itu bukanlah kebetulan, melainkan sebuah cerita dan skenario baru untuk mereka berdua, di mana kisah cinta terlarang akan di mulai.Hingga sejauh ini, perjalanan mereka mulai memasuki babak baru.Seorang pria membuang puntung rokoknya sembarangan di tengah ruangan berlantai di konstruksi proyek yang sudah berjalan lebih dari tujuh bulan. Ya, waktu sangat cepat berlalu, meninggalkan banyak cerita baru yang terlewatkan.“Kau tak ingin membuat boss marah lagi dengan kelakuan gilamu itu, Kian.” Zaheen menginjak bekas
“Kau harus menerima semuanya, agar hatimu tak terlalu sakit jika tuhan berkehendak untuk memisahkan kita.”Kata-kata itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Nora, ia masih bisa membayangkan pria pemilik tatapan teduh itu menatapnya dengan dalam, seperti mengisyaratkan hal itu akan segera terjadi. Nora sampai sekarang tidak mengerti atau mungkin hatinya masih menolak takdir mereka yang begitu berbeda.Matanya tak sengaja melihat bunga gerbera di sebuah pot di ujung meja salah satu karyawan di perusahaan ayahnya. Itu benar, ia baru saja keluar dari ruangan ayahnya untuk memberitahu sudah sampai mana perkembangan hotel yang ia pantau sejauh ini.Nora mendekati pot tersebut dan memegang bunga gerbera yang begitu cantik. Hanya ada satu warna di sana yaitu putih. Ia tersenyum karena mengingat suatu film yang pernah ia tonton dulu, film menyedihkan yang tak akan pernah Nora nonton lagi, pikirnya.“Selamat siang nona, saya sangat tersanjung karena anda datang ke mari,” ujar karyawan cantik
“Aku Aiden, pria yang kau lihat bersama Eleonora. Aku sudah lama menguntitmu, ternyata kau ini kekasihnya.”“Aiden? Pria yang mengemis cinta pada kekasihku beberapa bulan lalu yaa?”Zaheen dan Aiden saling bertatapan dengan tajam. Mata mereka beradu, seolah ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Orang-orang di sekitar mereka berlalu lalang, tak menyadari pertemuan yang penuh emosi ini. Hiruk pikuk ramainya kota pun tak mampu meredakan emosi kedua pria itu.“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Zaheen menyelidik. “Pasti, kau tidak serius dengannya kan? Apa yang sedang kau rencanakan?” lanjutnya.“Siapa yang tidak mau dengan gadis seperti dia. Eleonora begitu cantik, anggun, cerdas dan yang paling penting pewaris Magani Company,”jelas Aiden dengan percaya diri.Zaheen mengerutkan alisnya lalu ia tersenyum miring. “Cih... kau sungguh tak tahu apapun ya,” gumamnya.“Kau yang tak tahu apapun, brengsek. Pria miskin sepertimu yang tak punya pendidikan memangnya tahu apa, hah!” suara A
“Jadi kau tak bisa mengelak lagi padaku, kau adalah Zaheen Magani. Ya, kan. Zaheen?”Emilia berjalan selangkah mendekat, ia berdiri tepat di depan tubuh Zaheen lalu mendekatkan wajahnya perlahan namun pasti, ia menatap dalam pria itu seolah tipu dayanya dan godaannya pada lelaki itu akan berhasil.“Iya, aku memang Zaheen.” Suara itu terdengar jelas di telinganya membuat Emilia makin mendekatkan wajahnya seolah akan mencium pria itu namun Zaheen berdiri dan malah melangkah mendekati jendela guna menghirup udara segar pagi ini. Bersama Emilia begitu panas dan sesak menurutnya.Gadis itu berkacak pinggang, ia mencoba memendam rasa kesalnya karena sudah berkali-kali di tolak. “Jadi Nora termasuk dalam rencanamu menghancurkan paman Isaac, itu artinya kau tak sungguh-sungguh menyukainya, bukan?”Zaheen terdiam mendengar pertanyaan Emilia yang terus-terus saja berulang, seperti sulit sekali menjawab kebohongan yang Zaheen ciptakan sendiri, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu akan jawaban s
“Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b
Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah
Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik