“Tidak bisa, ya?” Ben bertanya dari balik punggung Jack. Dengan bebasnya menyeringai lebar tanpa khawatir Jack akan melihatnya. “Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Tidak usah mengkhawatirkan pemberianku, aku tidak akan memintamu untuk mengembalikannya.”
Ben telah membuang panggilan sopan dalam kalimatnya, merujuk kepada Roby dengan kata ‘kamu’ dan bukannya ‘Anda’ seperti tadi. Hal ini membuat Jack merasa familier, rasanya ia pernah melakukannya, atau bahkan sering. Ia sering berbicara dengan tidak hormat kepada orang yang menurutnya berasal dari kalangan rendahan.Jack masih membeku, susah payah ia menelan ludah dengan gugup. Mobil di hadapannya ini memiliki harga fantastis yang tidak akan pernah bisa ia beli meski menabung seumur hidup. Telapak tangannya saja menolak untuk menyentuh dan hanya mengambang dengan kikuk. Jack takut satu sentuhan dari kulitnya yang kasar akan menggores permukaan mobil itu dan membuatnya harus mengganti rugi dengan jumlah uang yang besar.Langkah kaki Sander cepat, tetapi tidak menimbulkan suara. Bahkan deru napasnya pun dengan mudahnya tersamarkan oleh suara embusan angin yang melewati celah di antara bangunan-bangunan tua di sekitar. Bangunan-bangunan itu saling berhimpitan dan hanya menyisakan sedikit jarak, sesekali Sander harus berjalan kepiting untuk bisa lewat.Suara-suara binatang malam saling bersahutan, Sander sempat merasa aneh karena biasanya yang terdengar hanya suara serangga yang familier di telinga. Namun, dengan segera ia mengabaikannya. Bukan hal aneh jika ada seseorang yang menyelundupkan hewan liar ke tempat yang sangat terpencil ini. Jika beruntung, mungkin Sander akan bisa memergoki tindak kriminal juga.“Bau inilah yang paling tidak bisa kutahan,” gerutu pria itu setelah ia berhasil melewati gang-gang sempit. Kini ia disambut oleh hamparan rumput tinggi nan bas
Seumur hidup, Ben tidak suka kepada orang-orang yang sok tahu tentang hidupnya. Terutama orang-orang yang seenaknya menilai bahwa hidupnya sangat menyedihkan hanya karena ia adalah anak yatim piatu yang besar di panti asuhan miskin di pinggiran kota. Biasanya Ben kecil akan langsung mengamuk dan membentak orang yang berani mengasihaninya secara terang-terangan.Seiring waktu berlalu, ia belajar untuk tidak menghiraukan omongan orang, berpikir bahwa menegur mereka yang berotak kosong dan berhati sempit hanya akan membuang-buang waktu. Meskipun sesekali ia masih akan mencoba mengintimidasi orang-orang seperti itu, Ben lebih sering mengabaikannya.Namun, ia menemukan ada hal lain yang juga mampu membuatnya sebal, yaitu, rasa puas yang dirasakan orang-orang setiap kali dugaan mereka terbukti benar. Kekesalan yang Ben rasakan karena hal ini mungkin tidak sebesar saa
“Jadi …,” Ben menghela napas sambil menatap Aslam. Jari-jari pemuda itu sibuk menari di atas papan ketik laptop yang seolah-olah muncul dari udara kosong. “… adikmu ini seorang peretas?”“Jangan menyebutnya seperti itu!” larang Ashana sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. Ia lalu berbisik. “Dia selalu memandang dirinya jauh lebih tinggi dari para peretas yang hanya suka bermain-main.”“Lalu aku harus menyebutnya apa? Kamu bilang selama ini dia diam-diam membantumu menggali informasi, kan?”“Yah, begitulah.”“Berarti benar dia adalah peretas. Peretas ilegal!”Brak!Ben dan
Tok! Tok!Kedua mata Elina terbuka lebar mendengar suara ketukan di kejauhan. Dalam keadaan masih mengantuk ia mencoba mengingat apakah ada tetangga yang meminta izin untuk melakukan pembangunan atau tidak. Cukup lama ia berpikir, hingga kantuk hampir kembali membuatnya terlelap.Sayangnya, ketukan itu terdengar semakin keras. Sambil menggerutu, Elina bangkit dan berjalan ke luar kamar untuk memastikan sumber suara. Menyadari bahwa suaranya berasal dari pintu masuk di lantai satu, Elina sempat melirik Pram yang masih tertidur nyenyak. Bimbang antara membangunkan sang suami atau tidak. Sebab bisa saja sosok yang berada di balik pintu adalah maling yang hendak merampok rumah mereka.Namun, maling seperti apa yang datang ke rumah incarannya dengan mengetuk pintu terlebih dahulu?
Tubuh Elina ambruk di ambang pintu. Kedua matanya menatap horor gadis yang entah sejak kapan mengikutinya. Kini gadis itu menyeringai dengan begitu menyeramkan. Senyuman itu ... bukanlah senyuman yang bisa diperlihatkan seorang gadis."S-siapa kau? Kenapa kamu melakukan ini kepadaku?" Ia bertanya dengan putus asa, tetapi suaranya hanya sedikit lebih keras dari bisikan. Tidak mungkin ada yang bisa mendengar selain dirinya. "Hantu itu tidak ada. Hantu itu tidak ad—""Kamu kenapa, Sayang?"Elina menoleh ke arah Tony yang masih berdiam di tempat. Melihat Elina panik dan ambruk seperti itu tidak membuat pria itu berlari menghampiri ke sisinya. Seketika amarah Elina bergumul di hatinya. Dengan sekuat tenaga ia bangkit dan menghambur ke pelukan Tony."Kenapa diam saja? Apa kamu tidak lihat dia? Lakukan sesuatu!" teriak Elina sekuat tenaga. Kalau saja ia sedikit lebih tenang, ia akan merasa malu telah menjadi pusat perhatian semua orang di sana.Tony tersenyum lebar. "Tentu saja aku lihat. Bag
Ada sesuatu yang menyentuh keningnya. Lebih tepatnya, membentur. Tidak terlalu sakit, tetapi Denver menggeram karena merasa tidur nyenyaknya terganggu.Benda itu datang lagi. Kali ini membentur salah satu sudut matanya. Itu berbahaya! Mau tidak mau Denver sudah sadar sepenuhnya, tetapi sakit kepala yang tiba-tiba melanda membuatnya memejamkan mata erat-erat.Seolah-olah seseorang menggenggam otaknya kuat-kuat, napas Denver sampai terengah-engah menahan sakit. Apa yang terjadi? Ia hanya ingat bahwa sebelumnya ia sedang mengikuti Elina menggunakan salah satu mobil baru Ben. Mobil yang masih begitu mulus dan nyaman digunakan. Mampu membuatnya membuntuti Elina tanpa ketahuan dan tanpa takut kehilangan jejak. Mobil yang ia tidak tahu keberadaannya sekarang.Jangankan mobil, ia sendiri tidak tahu kenapa ia kini berbaring di permukaan lantai berbahan aneh serta di dalam ruangan yang dingin dan sesak.Denver mengubah posisinya menjadi duduk saat sebuah ba
“Masih bocah rupanya. Pantas saja suka main rumah-rumahan,” celetuk seorang pria dengan kaus dan celana hitam yang sobek di banyak titik. Kalung perak yang dikenakannya terlihat terlalu berkilau untuk dikatakan sebagai perhiasan asli. Sedikitnya sinar matahari yang memasuki peti kemas dipantulkan oleh bandulan yang memiliki ukiran seperti tengkorak. “Kesempatan terakhir. Kamu mau mengaku sendiri atau kami yang akan memaksa pengakuan itu keluar dari mulutmu dengan cara ekstrem?”Denver terpaksa menengadah saat pria lainnya menarik paksa rambut palsu yang masih terpasang erat di kepalanya. Padahal sepertinya mereka semua tahu bahwa dirinya hanya remaja laki-laki yang menyamar menjadi seorang gadis, tetapi tidak ada satu pun yang memerintahkannya untuk melepas penyamaran. Tampaknya mereka menikmati kesempatan untuk menarik rambut panjangnya dengan sekuat tenaga.
“Dari awal aku sudah menyangka kalau mereka tidak sehebat itu. Tapi ternyata mereka lebih bodoh lagi,” ucap Aslam dengan angkuh. Ia tidak henti-hentinya membanggakan semua yang berhasil ia lakukan di hadapan Ben. “Selain jabatan bos, selebihnya urutan kepemimpinan mereka berantakan. Belum lagi beberapa anak buah yang haus kekuasaan. Sistem komunikasi mereka juga terlalu sederhana dan mudah dibobol. Tanpa aku ikut campur pun, mereka pasti akan hancur cepat atau lambat.”“Aku mengerti. Sampai kapan kamu akan terus membahasnya?” Ben mengusap wajahnya frustrasi. Tubuhnya bersandar kepada dinding putih yang sudah sangat ia kenali.“Kenapa memangnya? Lebih baik mendengarkan kisah heroikku daripada melamun sampai Denver dan gadis itu sadar.”“Mereka hanya sedang t
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”