Agnes terkejut dengan kemunculan Morgan.
Bukankah tadi Morgan pergi untuk urusan pekerjaan? Apakah dia sudah selesai bekerja secepat ini?
Melisa lebih terkejut lagi. Dan seiring terus mendekatnya Morgan, dia memosisikan dirinya di hadapan Agnes, sebagai perisai.
“Apa yang baru saja kau lakukan di depan sana, Sialan?! Kau berulah lagi di area pribadi orang, hah?!” serang Robert, maju untuk mengadang Morgan.
Berbeda dengannya, Joseph justru mundur. Dia lantas masuk ke dalam rumah.
Sepuluh tamparan dari Morgan tempo hari masih membuatnya trauma. Dan dia ingat, dia masih utang 90 tamparan lagi.
Morgan tidak ada urusan dengan Robert. Dia datang untuk bicara dengan istrinya.
Tapi, tanpa menyingkirkan Robert, dia tak akan bisa melakukannya.
Lalu harusah dia mematahkan tangan Robert seperti dia mematahkan tangan s
Sekitar jam delapan malam, di kediaman Keluarga Wistara…Orang-orang berkumpul di meja makan. Hidangan-hidangan mewah tersaji di hadapan mereka.Tapi belum seorang pun boleh menyantapnya. Mereka tengah menunggu kedatangan Arman Wiryaguna, tamu kehormatan mereka.Tadi Joseph telah menghubungi Arman via chat untuk memberitahukan soal Agnes yang telah pulih.Awalnya tak ada respons dari Arman, tapi setelah Joseph mengirimkan juga foto dan video yang menunjukkan sosok Agnes saat ini, barulah respons itu datang.Arman sempat bertanya apakah sosok itu sungguh-sungguh Agnes atau bukan, sebab bahkan sejauh yang dia ingat Agnes tak pernah terlihat secantik dan semenawan itu.Arman juga sempat mengancam akan memutus total hubungannya dengan Keluarga Wistara jika foto dan video itu hasil editan, sebelum akhirnya dia percaya dan bersedia datang memenuhi undangan Keluarga Wistara.Bagi Keluarga Wistara, khususnya Henry dan Joseph, kedatangan Arman malam ini sungguh penting.Henry membutuhkan Arman
"Agnes, jaga bicaramu! Jangan membuatku malu!" hardik Henry, yang kini juga berdiri. Kalau saja tak ada Arman bersama mereka, dia sudah menghampiri putrinya itu dan menamparnya. "Aku sudah muak, Papa! Aku sudah muak dijadikan alat oleh kalian! Aku sudah muak dipaksa berkorban untuk kepentingan kalian! Ini hidupku! Aku yang memutuskan apa yang kuinginkan!" bantah Agnes. Pembangkangan Agnes ini sungguh mengejutkan Keluarga Wistara. Terlebih lagi, dia berani mengutarakan protesnya kepada Henry langsung, di hadapan semua orang. Agnes tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia adalah anak pemalu yang lebih memilih memendam ketidaknyamanannya ketimbang mengungkapkannya. Apa yang terjadi padanya, sampai-sampai dia memberontak seterang-terangan ini? "Agnes, aku minta kau menghormati tamu kehormatan kita. Dia menyempatkan diri ke sini, memenuhi undangan kita. Perbaiki sikapmu!" tegas Henry. Wajahnya memerah karena amarah. Rasa-rasanya dia tak pernah semarah ini sebelumnya kepada putrinya it
“Sekarang apa yang mau kau katakan, hah? Kau minta maaf pun sudah terlambat. Kau telah menghina ayahku di hadapan Keluarga Wistara. Sekarang kau akan menghadapi konsekuensinya! Cuih!”Pria berbadan besar itu meneriakkannya lantas meludahi wanita itu. Dia tampak tak sedikit pun peduli pada orang-orang di bar yang menyaksikan apa yang dilakukannya itu.Malahan, kini dia menendang wanita itu di punggungnya, sehingga wanita itu mengaduh dan tersungkur untuk kedua kalinya.“Bangsat! Orang seperti dia harus diberi pelajaran!” kata Kris, hendak bangkit dari kursinya.Tetapi Morgan menahannya. “Biar aku saja,” katanya.Kris kembali merapatkan pantatnya di kursi, mengamati Morgan yang berjalan dengan penuh wibawa ke arah keributan terjadi.Meski dia tak mengatakan apa pun, dengan sendirinya orang-orang menyingkir memberinya jalan.Saat ini aura mengerikan memang menyeruak dari tubuhnya.“Hey kau! Tidakkah memalukan orang dengan badan besar sepertimu menganiaya seorang wanita?” seru Morgan.Si
Terlemparnya ketiga pria itu disusul terlemparnya beberapa pria lain.Sebab mereka semua berbadan besar, setiap kali mereka menghantam apa pun saat terlempar itu kerusakan yang ditimbulkan lumayan signifikan.Bar yang semula tertata rapi itu kini begitu berantakan. Para pengunjung bar masih mengamati kekacauan di hadapan mereka ini dengan tegang.“Bagaimana cara kita keluar dari sini?”“Aku takut.”“Di mana para satpam bar? Kenapa kekacauan seperti ini dibiarkan?”“Agaknya ini situasi luar biasa. Pintu depan sampai dijaga ketat.”“Kita tak bisa ke mana-mana.”Begitulah orang-orang itu berujar. Mereka melihat pria-pria berbadan besar terlempar itu mulai bangkit dan kembali menerjang Morgan.Morgan sendiri, bertahan di pusat lingkaran pengepungan, meladeni setiap orang yang menyerangnya dengan serangan, dan sejauh ini, terbukti dia unggul.Pria-pria berbadan besar yang dihantam dan dilemparnya itu terlihat menderita luka-luka di berbagai titik, sedangkan Morgan sendiri masih bersih.Bah
Joni Si Besi benar-benar tak percaya pada apa yang dilihatnya.Kakak angkatnya, yakni Berry Si Serigala, berlutut di hadapan pria yang sedang membuatnya kesakitan.Dan bukan hanya itu, kakak angkatnya pun memelas meminta pria ini memaafkan dirinya, seolah-olah dia telah melakukan kesalahan yang teramat fatal.Ada apa sebenarnya ini?“Berry Si Serigala, aku lihat kau masih belum menyambungkan tangan kananmu. Kau datang ke sini atas permintaan orang ini?” celetuk Morgan.Nada bicaranya angkuh, menunjukkan kalau dia berada di atas si pemimpin Serigala Hitam itu.Tentu saja, situasi ini membuat bingung Joni. Apa yang dlihatnya ini sungguh di luar nalar.“Abang, apa yang Abang lakukan? Kenapa Abang malah berlutut di hadapan orang ini? Dia sudah berani-beraninya menyakiti adik angkatmu ini, Bang! Seharusnya Abang hajar dia!” cerocos Joni.Tak ada respons dari Berry. Dia masih berlutut dan membungkuk. Justru Morgan yang merespons, lagi-lagi dengan memelintir tangan Joni sampai pria itu kini
Dibantu Kris yang mengemudi, Morgan mengantar Vivi ke apartemennya.Kris memilih menunggu di mobil di luar gedung apartemen sementara Morgan menemani Vivi masuk.Karena kondisi Vivi masih mengkhawatirkan, Morgan memutuskan untuk ikut masuk ke unit apartemen yang ditinggali wanita itu.Unit tersebut cukup luas, terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu yang tersambung dengan dapur.Morgan awalnya membantu Vivi ke toilet. Dia perlu membersihkan noda-noda darah yang mengering di wajah Vivi.Barangkali masih syok, Vivi benar-benar terlihat lemas. Saat hendak mencuci muka lewat aliran air dari keran, dia seperti akan jatuh tersungkur.Morgan dengan sigap menangkap Vivi dan menariknya. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh bulatan kenyalnya Vivi.Pipi Vivi yang semula putih pucat langsung merona merah. Morgan pun merasakan ketidaknyamanan, sehingga dia lekas melepaskan rangkulannya.Vivi kemudian membasuh mukanya, berkali-kali, sampai dia yakin noda-noda darah yang mengering itu sudah tanggal
Dua hari berlalu. Tibalah momen yang ditunggu-tunggu oleh para pebisnis elite di Kota HK.Saat ini, lebih dari seratus orang berkumpul di hall gedung kantor pusat Charta Group.Mereka adalah perwakilan dari perusahaan-perusahaan yang berharap dipilih untuk menggarap tender prestisius yang ditawarkan Charta Group.Tentu saja, di antara orang-orang itu ada Arman. Dia hadir mewakili ayahnya yang tak bisa datang karena sedang ada urusan bisnis penting di beberapa negara di Eropa.“Aku dan ayahmu berteman baik, Arman. Kuharap, siapa pun yang memenangi lelang tender ini, hubungan kita akan tetap baik.”“Perusahaan induk milikku dan perusahaan induk ayahmu telah menjalin kerjasama selama belasan tahun. Selepas lelang ini, semoga kerjasama itu terus terjalin.”“Jangan khawatir, Arman. Kalaupun perusahaanku yang memenangkan lelang tender ini, aku pastikan aku akan membagi keuntungannya dengan perusahaan-perusahaan ayahmu, lewat kerjasama-kerjasama yang strategis.”Begitulah orang-orang yang du
Agnes menatap Morgan dengan bingung.“Morgan, sedang apa kau di sini?” tanyanya.Morgan, yang juga menatap Agnes dengan bingung, balik bertanya,“Kau sendiri sedang apa di sini? Ayahmu dan kakak-kakakmu juga di sini?”Dua orang itu saling melempar pertanyaan dan tatapan keheranan.Sesaat, kecanggungan terasa sekali di antara mereka.Sampai akhirnya, sorot mata Agnes berubah. Dia lalu melengos meninggalkan Morgan.“Agnes, tunggu!” seru Morgan, mengejar istrinya itu.Karena langkah-langkahnya yang cepat dan lebar, Morgan berhasil menyusul Agnes.Dia lantas mengadang Agnes dan menaruh kedua tangannya di bahu Agnes.“Katakan padaku, apakah Wistara Group sedang menghadiri lelang tender yang diadakan Charta Group?” tanya Morgan.Agnes menatap Morgan dengan kesal, lalu berkata, “Iya. Kami sedang menghadirinya. Sekarang lepaskan aku!”Agnes sedikit berteriak, sehingga Morgan pun mau tak mau melepaskan istrinya itu.Agnes lantas pergi dengan langkah-langkah yang lebih cepat daripada tadi.Morg
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat