Olivia tiba di rumah saat malam hari, terlihat mobil William sudah terparkir rapi di halaman rumah, menandakan bahwa pria itu sudah pulang.Begitu Olivia masuk ke dalam rumah semerbak harum masakan langsung menyerang indra penciumannya hingga membuat perut Olivia yang belum terisi asupan makanan sejak kemarin berbunyi.“Siapa yang masak?” gumam Olivia.Olivia berjalan menuju dapur dan di atas meja makan sudah tersaji sup kacang merah kesukaannya lengkap dengan kerupuk udang yang harum dan gurih. Tiba-tiba kenangan masa lalu terbersit dalam benak Olivia.Kenangan bersamanya dengan William ketika pria itu susah payah belajar membuat sup kacang merah sesuai dengan yang Olivia sukai. Tidak mudah William sering kali gagal bahkan walaupun pernah berhasil saat memasak kembali untuj yang berikutnya rasanya kembali berbeda.Namun bukan William kalau mudah menyerah, pria itu terus mencobanya sampai berhasil sepemuhnya dan rasanya tetap sama.Olivia pun mengambil sendok dan mencoba menyeruput ku
“Ah... Will...” Tangan William terus menjalar ke bagian lain tubuh Olivia dan membuat wanita itu menggeliat. Olivia merasa udara disekitarnya memanas, dengan cepat pikirannya kini hanya terpusat pada setiap sentuhan yang William berikan di area tubuhnya. Dan yang Olivia sadari entah mengapa sentuhan William terasa berbeda dari sebelumnya. Sentuhannya terasa lebih sensual dari yang biasa William lakukan padanya. Apa mungkin karena efek amnesianya hingga membuat William melepas beberapa kebiasaannya? Entahlah Olivia tidak tahu lagi, yang pasti untuk saat ini Olivia tidak mau berada di posisi ini. Ia harus menjadi pihak yang mendominasi dalam kegiatan ini. Olivia pun bangkit lalu ia tanggalkan pakaian William seraya melumat bibir pria itu. Embusan napas William semakin memburu dan menghangat. “Kau sangat bersemangat hari ini,” ujar William. “Anggap saja sebagai permintaan maafku karena bersikap dingin padamu.” Olivia sentuh dada bidang William dengan lembut, tangannya bermain di a
“Apa yang kamu maksud itu Daniel atau ayahku?”Olivia mendengus puas dalam hatinya, seperti biasa William memang cepat tanggap. Olivia pun mengangguk untuk memberikan jawaban, “Aku tidak ingin menuduh mereka tapi dengar dari ceritamu tentang bagaimana ayahmu memperlakukan ibumu dan bagaimana Daniel semua itu mungkin saja terjadi.”“Ayahku sudah meninggal, jadi semoga saja tuhan menghakiminya dengan lebih keji. Tapi kalau itu Daniel aku akan menghajarnya terlebih dahulu sebelum menjebloskannya ke penjara,” jelas William dengan tenang walaupun jelas sekali kesedihan dan kemarahan terpancar dark bola matanya.Untuk hal kesabaran Olivia sering menemukan bahwa batas kesabaran William sangatlah tinggi. Ia juga selalu berusaha tenang dalam memghadapi sesuatu. Dilihat dari segi apa pun William adalah sosok yang sempurna. Ia tampan, kaya raya, cerdas, penyayang dan bahkan penyabar. Terlihat seperti pria yang baik dan tidak mungkin bisa melenyapkan nyawa seseorang.Hal ini yang membuat Olivia k
Daniel bangkit dari kursinya lalu mendekati Aldo. Tanpa belas kasih Daniel mencekik leher pria itu dan memojokkannya hingga ke dinding ruangan.“Kau lupa apa yang Olivia lakukan pada misi penculikan dan penyerangan terhadap William satu bulan lalu? Jika bukan karena kebodohan kalian misi itu sudah berhasil, dendam kalian tuntas dan aku sudah memegang perusahaan sepenuhnya!” pekik Daniel.Aldo meronta-ronta berusaha melepaskan cekikkan pria gila itu. Alhirnya Daniel pun melepaskannya tetapi berujung dengan menendang perutnya.“Tidak bisakah kalian hanya fokus pada misi kalian? Supaya rencana ini berjalan cepat dan lancar?! Dengar ya kalau kau melakukan kesalahan yang sama atau mempertanyakan perintahku, aku tidak akan segan-segan untuk melaporkanmu atas penyerangan pada William di gedung biru itu.”“Jadi kau berencana untuk menjebak Olivia?” tanya Aldo terbata-bata karena rasa sakit diperutnya.“Semua itu tergantung pada Olivia, kalau dia berencana mengkhianatiku, aku akan menjebaknya
Aldo memukuli tubuh Olivia menggunakan bongkahan kayu yang di temukan pria itu di dekatnya. Olivia mengerang, tubuhnya menggeliat merasakan rasa sakit yang mulai menusuk-nusuk seluruh tubuhnya.Matanya berair menitikkan air mata, tetapi mau tidak mau Olivia harus menahannya. Sekali lagi Aldo memukulkan sebongkah kayu itu pada kaki Olivia yang ternyata tepat pada tulang keringnya.Bukan main rasanya seperti kaki Olivia patah padahal kakinya masih baik-baik saja hanya lebam menimbulkan lebam.Melihat kondisi Olivia, Aldo pun jadi merasa cemas. “Liv apa kau....”“Aku baik-baik saja, terus lakukan setelah itu segera hubungi William.”Aldo menurut dan terus memukuli tubuh Olivia walaupun ia tidak mengingikannya. Setelah terdapat cukup banyak lebam di tubuh Olivia. Aldo pun segera menghubungi William.Setelah William datang pertarungan di antara Aldo dan William pun pecah, Willuam juga bahkan terkelabui dengan akting Olivia serta Aldo dan berpikir bahwa Aldo adalah Daniel. Aldo juga berhasi
“Ada angin apa kau menghubungiku?” tanya Antony yang baru saja tiba di kafe.Pagi ini Olivia menghubungi Antony memintanya untuk bertemu untuk membicarakan sesuatu. Antony bisa memperkirakan mungkin ini soal William karena apalagi kalo bukan tentang itu.“Kalau ini ada duitnya aku ikut saja, karena sepertinya ini rencana di luar kerja sama dengan Daniel.”“Tentu saja ada, orang sepertimu mana mau melakukan sesuatu secara sukarela,” cibir Olivia.“Woah kau... padahal aku dengar dari staff hotel di desa itu, kau dulu wanita yang lugu dan baik hati, sekarang lihatlah dirimu.”Antony benar, Olivia tidak seperti ini dulu, ia selalu baik pada semua orang dan bersikap ramah juga hangat walaupun sedikit gampang marah.Tetapi sekarang, entahlah mungkin rasa kecewa yang Olivia pupuk pada William terlalu besar dan lagi Olivia tidak bisa menjadi wanita lugu seperti sebelumnya jika ingin melakukan hal-hal kotor seperti ini karena dia harus sering-sering berhadapan dengan manusia gila dan menyebalk
Olivia berdiri mematung di ambang pintu, melihat William bersama wanita lain. Olivia yakin seharusnya perasaannya baik-baik saja, ia tidak perlu terluka atau pun cemburu menyaksikan pemandangan itu karena yang ada dalam hatinya hanya tersisa kebencian pada William.Namun entah mengapa hati Olivia malah terasa seperti diperas, begitu pedih dan sesak, bahkan matanya mulai memanas hendak memancarkan air mata. Di dalam ruangan William yang tengah meronta-ronta beradu pandangan dengannya. Pria itu terlihat cemas dan takut begitu melihat Olivia.Tanpa bicara apa-apa Olivia berlari menjauhi ruangan itu seraya menahan kuat air matanya yang tidak bisa diajak kompromi. Oh sungguh Olivia tidak ingin menangisi pria berdarah dingin itu.“Olie....” seru William seraya mengenyahkan Sheila.William bergegas menyusul Olivia dengan kegundahan yang memenuhi hatinya.Olivia terus berlari menuju sudut gedung yang agak sepi untuk bersembunyi dan menenangkan hatinya.“Ini tidak benar Olivia apa yang kamu ra
Selama sisa hari suasana hati William jadi buruk. Ia lebih banyak diam dan termenung, ia bahkan berusaha menghindari Jimmy sebisa mungkin. Namun tentu saja tidak selalu berhasil karena Jimmy adalah asisten pribadinya.Seperti saat ini William mau tidak mau harus berada satu mobil dengan Jimmy karena sebelumnya mereka harus menghadiri rapat penting.Jimmy tentu saja merasakan perubahan sikap William padanya, tapi ia juga tidak ingin banyak bertanya dan membiarkan situasi canggung terus terjadi.“Apa hubunganmu dengan Olivia,” celetuk William tiba-tiba hingga membuat Jimmy menginjak pedal rem secara mendadak.Pria itu terdiam dengan wajah yang tegang seolah sedang menghadapi masalah besar.Sedangkan William tidak punya pilihan lain selain menanyakannya ia pendam pun tidak akan membuat semuanya menjadi jelas dan hanya akan menambah beban pikiran.“Kau diam tapi ekspresimu begitu. Kau tidak mau mengatakannya?” tanya William dingin.Jimmy tahu hari ini pasti akan datang, hari di mana ia ha
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem
“Laba-laba!” jerit Olivia tiba-tiba seraya mengibas angin dengan heboh di sisi wajah William hingga menyenggol tangan William dan menjatuhkan sendok berisi es krim strawberry dari tangannya.Tidak berhenti sampai di situ Olivia juga menyenggol manguk es krim di meja hingga mangkuk itu jatuh ke lantai dan menumpahkan seluruh isinya.Kegaduhan pun tercipta hingga menarik perhatian semua pengunjung restoran juga para pegawai di sana.Tidak bisa, Olivia tidak bisa melakukannya. Perasaan tidak tega masih menjadi pemenang atas perdebatan dengan rasa dendamnya yang ada dalam hatinya.“Maaf aku mengacaukan semuanya.” Olivia menahan air matanya agar tidak tumpah buntut dari ketakutan yang menyelimuti hatinya.Para pelayan pun datang dan membersihkan semua kekacauan, baik William maupun Olivia meminta maaf atas keributan yang terjadi dan William mengganti rugi atas barang-barang yang pecah.Namun set
‘Kau yang mempersulit dirimu sendiri karena tidak mau mengakui perasaanmu....’ begitulah seingat Olivia ucapan William di beranda rumah sakit ini dua tahun lalu. Serupa dengan apa yang dikatakannya hari ini.“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Olivia penuh selidik.“Maaf sepertinya aku berlebihan, aku tidak seharusnya berkata begitu padamu,” balas William, raut wajahnya kembali berubah senyumnya pun terukir semula, “Ayo kita makan siang, kamu belum makan dari semalam.”Apa mungkin ia menanggapinya terlalu berlebihan? Ya bisa jadi William hanya asal ucap saja karena kesal dan lelah, tapi tetap saja ucapannya terdengar janggal. Olivia buru-buru membuang pikirannya dan berjalan mengikuti William menuju restoran dekat rumah sakit.Baru saja Olivia tiba di sana tiba-tiba ada panggilan masuk dari Daniel di ponselnya.“Misi pertama. Kau tau kan kalau William alergi strawberry. Aku ingin kau memesan makana
“Sudahlah aku tidak mau membahasnya malah membuatku sakit kepala.”Olivia hendak beranjak namun Adela langsung mencekalnya, wanita itu terlihat kesal karena bagaimana mungkin Olivia bisa begitu bodoh dan menolak William.“Ok mungkin ini terlihat mustahil buatmu bisa bersatu dengan Pak Will, tapi hey!!” Adela menjentik-jentikkan jarinya tepat di depan wajah Olivia agar wanita itu segera sadar dari kebodohannya. “Kamu lupa kalo Pak Will tidak pernah memandang sesroang dari status sosial mereka? Tidak perlu jauh-jauh deh, lihat saja mantan pacarmu si Jimmy itu. Kalau Pak Will mempedulikan soal status sosial dalam pergaulannya, dia tidak akan mau berteman dekat dengan Jimmy sampai akhirnya membantu Jimmy yang hanya sekedar pelayan kafe kecil menjadi asisten pribadinya, bahkan kamu yang menceritakan itu semua Olivia!!!”“Kamu lupa juga saat Pak Will membantu membayar biaya perawatan ayahnya Jimmy saat mereka baru saling menge